Monday, September 15, 2008

Bagaimana Cara Mengeluh yang Benar?

oleh Ari Juliano Gema

Beberapa orang menanyakan kepada saya tentang dua kasus yang saat ini sedang jadi pembicaraan hangat di dunia maya. Dua kasus itu adalah kasus tersebarnya e-mail tentang seorang anggota DPR yang diduga menerima suap dan e-mail tentang dugaan malpraktek yang dilakukan sebuah rumah sakit.

Akibat tersebarnya e-mail itu di berbagai milis, anggota DPR dan rumah sakit yang merasa nama baiknya dirugikan itu masing-masing melakukan upaya hukum terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penyebaran e-mail tersebut. Publik pun gempar. Publik berpikir bahwa e-mail yang tersebar luas itu adalah suatu bentuk keluhan dan kritik publik terhadap anggota DPR dan rumah sakit tersebut. Mereka tidak menyangka adanya ”serangan balik” tersebut.

Aturan Hukum

Saya tidak tertarik menjadi ”hakim” yang memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam dua kasus di atas. Saya lebih tertarik untuk mengulas upaya hukum yang mungkin ditempuh pihak yang melakukan ”serangan balik” tersebut dan bagaimana agar terhindar dari masalah hukum di kemudian hari.

Apabila ”serangan balik” tersebut dilakukan melalui jalur pidana, maka yang mungkin menjadi dasar adalah Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan pasal-pasal tentang penghinaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut UU ITE, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah. E-mail termasuk dalam pengertian informasi elektronik tersebut.

Menurut KUHP, barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, dengan maksud agar diketahui umum, maka disebut pencemaran (nama baik). Apabila pencemaran dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, disebut sebagai pencemaran tertulis.

Apabila yang melakukan pencemaran atau pencemaran tertulis tidak dapat membuktikan apa yang telah dituduhkan itu, dan tuduhan itu bertentangan dengan apa yang diketahuinya, maka disebut fitnah. Dalam KUHP dijelaskan bahwa tidak merupakan pencemaran nama baik, jika perbuatan itu dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Sanksi pidana dalam UU ITE tersebut lebih berat daripada sanksi yang ditetapkan dalam KUHP. Dalam KUHP, sanksi pidana untuk perbuatan fitnah adalah maksimal 4 tahun penjara.

Apabila “serangan balik” dilakukan melalui jalur perdata, maka yang mungkin digunakan adalah ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Pasal ini menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.

Pasal ini sering disebut sebagai “pasal karet”, karena begitu luasnya perbuatan yang mungkin bisa dikenakan ketentuan pasal ini, termasuk pencemaran nama baik. Apabila dapat dibuktikan bahwa terdapat kerugian materil yang diderita suatu pihak akibat pencemaran nama baiknya, maka pihak yang melakukan perbuatan itu wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

Cara Menyampaikan

Penyebaran informasi mengenai seseorang/institusi melalui e-mail tersebut memang rentan dugaan pencemaran nama baik. Kita kadang tidak tahu atau tidak mengenal siapa orang yang mengirimkan e-mail tersebut. Kita juga tidak tahu apakah informasi yang disampaikan oleh orang itu memang benar adanya, dan tidak tercampur dengan emosi pribadi atau kepentingan tertentu.

Menurut saya, apabila ada keluhan mengenai perbuatan yang tidak menyenangkan dari seseorang atau institusi, maka lebih baik disampaikan langsung kepada lembaga yang berwenang atau aparat penegak hukum. Pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan kita cukup mampu memberikan ganjaran atas perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut. Setiap orang yang berprofesi tertentu atau institusi tertentu pasti juga memiliki lembaga yang mengawasinya. Lembaga inilah yang nanti akan menyelesaikan keluhan tersebut serta memberikan ganjaran sesuai dengan kode etik dan standar profesinya.

Kalaupun ingin keluhan ini dapat segera diketahui oleh publik, hubungi saja media massa. Media massa dan wartawannya memiliki kode etik dan serangkaian regulasi yang dapat melindunginya dari tuduhan pencemaran nama baik. Media massa dapat mengangkatnya sebagai berita dengan pemberitaan yang berimbang. Pihak yang mengeluh dan yang mendapat keluhan akan memiliki hak yang sama untuk menjelaskan keluhan tersebut dalam satu kesempatan.

Yang paling penting, jangan lupa untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang mendukung keluhan tersebut. Semakin lengkap dokumen yang dikumpulkan, semakin memperkuat posisi hukum pihak yang mengajukan keluhan. Penting juga mencari saksi-saksi yang mendukung keluhan tersebut. Saksi minimal berjumlah dua orang, dan diusahakan tidak memiliki hubungan perkawinan, hubungan darah atau hubungan kerja dengan pihak yang mengajukan keluhan. Saksi harus benar-benar melihat dan/atau mendengar sendiri peristiwa yang menyebabkan terjadinya keluhan tersebut.

Sekarang tinggal bagaimana seseorang memilih cara untuk menyampaikan keluhannya. Apakah melalui prosedur yang telah ditentukan atau menyebarluaskan begitu saja melalui internet. Yang harus diingat, setiap pilihan mengandung konsekuensinya masing-masing. Berani bicara, berani pula bertanggungjawab.

Labels: , , , , , , ,

Tuesday, September 09, 2008

Ramadhan Tanpa "Banci"

oleh Ari Juliano Gema

Bulan Ramadhan kali ini memang beda. Saya hampir tidak menemukan tayangan pengantar sahur maupun pengantar berbuka di televisi yang menampilkan pemeran laki-laki dengan gaya kebanci-bancian.

Ini berkat peringatan keras dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, yang menerbitkan Siaran Pers KPI No.: 22/K/KPI/VIII/08 tertanggal 30 Agustus 2008 mengenai Permintaan Penghentian Tayangan Kebanci-bancian di Televisi. Siaran pers ini dibuat sebagai hasil diskusi bersama antara KPI, MUI, psikolog dan tokoh pendidikan.

Dalam siaran pers itu, KPI meminta kepada seluruh stasiun televisi untuk tidak menayangkan dan mengeksploitasi program yang berisikan perilaku kebanci-bancian. Menurut pendapat MUI yang dikutip dalam siaran pers itu, laki-laki berperilaku dan berpenampilan seperti wanita (dengan sengaja), demikian juga sebaliknya, hukumnya adalah haram dan dilarang agama Islam.

Ditinjau dari sisi pendidikan, yang dimaksud dengan kebanci-bancian adalah kelainan identitas seksual (gender identity disorder), yang merupakan suatu penyakit yang secara klinis harus diobati. Menjadi salah pada saat kebanci-bancian dipergunakan untuk eksploitasi ekonomi, terlebih ditampilkan pada publik melalui media televisi yang dampaknya dapat mempengaruhi masyarakat untuk membenarkan perilaku kebanci-bancian tersebut.

Sedang apabila ditinjau dari sisi psikologis, tingginya intensitas tayangan kebanci-bancian di televisi dapat mempengaruhi perilaku anak-anak. Ini terjadi karena perilaku kebanci-bancian dapat dianggap sebagai trend yang harus diikuti.

Kewenangan KPI

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), KPI memang diberikan wewenang untuk membuat standar program siaran dan pedoman perilaku penyiaran. KPI juga diberikan wewenang untuk mengawasi pelaksanaan standar program siaran dan pedoman perilaku penyiaran, serta memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atasnya. Larangan menayangkan perilaku kebanci-bancian tersebut termasuk yang diatur dalam standar program siaran.

Namun Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 005/PUU-I/2003, menganulir keterlibatan KPI dalam membuat peraturan pemerintah bersama-sama dengan pemerintah. Apabila pembuatan beberapa peraturan pemerintah yang mengatur penyelenggaraan penyiaran tetap melibatkan KPU, mungkin kewenangan KPI dapat lebih diperkuat.

Akibat putusan MK yang mengebiri keterlibatan KPI tersebut, KPI hanya dapat memberikan teguran tertulis kepada lembaga penyiaran yang melanggar standar program siaran atau pedoman perilaku penyiaran. Menteri Komunikasi dan Informatika yang dapat memberikan sanksi berupa membekukan siaran, tidak memperpanjang izin siaran atau mencabut izin siaran, berdasarkan masukan dari KPI.

Membenahi Penyiaran

Dengan tugas yang diberikan kepada KPI, yaitu menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran, masyarakat pasti menaruh harapan besar pada KPI. Meski kewenangannya untuk membuat peraturan pemerintah bersama-sama dengan pemerintah dipangkas oleh MK, KPI tidak boleh patah arang.

Banyak pekerjaan rumah di bidang penyiaran yang membutuhkan tangan dingin KPI untuk menyelesaikannya. Banyaknya tayangan televisi yang mendorong tumbuhnya budaya konsumerisme, budaya ’ingin cepat terkenal secara instan’, dan tayangan yang membodohi penonton lainnya, perlu segera dibenahi.

Dengan kerjasama yang erat antara KPI dan masyarakat dalam menekan lembaga penyiaran, mudah-mudahan tayangan-tayangan yang tidak cerdas itu dapat segera lenyap dari televisi-televisi keluarga Indonesia. Keampuhan siaran pers di awal bulan Ramadhan itu harus dijadikan pemicu semangat KPI dalam meneruskan perjuangannya untuk melindungi dan memberdayakan publik dalam rangka membangun sistem penyiaran yang sehat di Indonesia.

Labels: , , , , , ,

Monday, September 01, 2008

Sengkon-Karta. Lingah-Pacah. Devid-Kemat. Tunggu Siapa Lagi?

oleh Ari Juliano Gema

Apakah sejarah selalu berulang? Saya tidak bisa menjawab dengan pasti. Yang pasti apabila kita tidak mau belajar dari sejarah, maka kesalahan yang terjadi di masa lalu kemungkinan besar akan berulang kembali di masa sekarang.

Pada tahun 1980-an, pernah ada kasus ”Sengkon-Karta”. Kasus ini menyangkut nasib anak manusia bernama Sengkon dan Karta yang telah divonis bersalah karena melakukan pembunuhan terhadap pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Namun, kemudian ada seseorang bernama Gunel yang membuat pengakuan bahwa Sengkon dan Karta bukanlah pembunuh yang sesungguhnya, karena Gunel-lah yang melakukan pembunuhan itu.

Pada tahun 1990-an, pernah ada kasus ”Lingah-Pacah”. Kasus ini menyangkut nasib anak manusia bernama Lingah, Pancah dan Sumir yang telah divonis bersalah karena melakukan pembunuhan terhadap Pamor di Dusun Pangkalan Pakit, Kabupaten Ketapang. Namun, kemudian ada seseorang bernama Asun yang membuat pengakuan bahwa Lingah, Pancah dan Sumir bukanlah pembunuh Pamor yang sebenarnya, karena Asun-lah yang melakukan pembunuhan terhadap Pamor.

Pada tahun 2008, ada kasus ”Devid-Kemat”. Kasus ini menyangkut nasib anak manusia bernama Devid dan Kemat yang telah divonis bersalah karena melakukan pembunuhan terhadap Asrori di Jombang, Jawa Timur. Namun, kemudian berdasarkan test DNA diketahui bahwa Asrori adalah salah satu dari sekian banyak korban Very Idam Heryansyah alias Ryan. Hal ini membuat publik mempertanyakan putusan bersalah terhadap Devid dan Kemat tersebut.

Hak Tersangka atau Terdakwa

Untuk kasus “Devid-Kemat” memang masih menjadi perdebatan. Pihak kepolisian masih mencoba menyelidiki apakah ada kesalahan prosedur dalam penyelidikan kasus pembunuhan Asrori sehingga menyebabkan Pengadilan Negeri Jombang menjatuhkan vonis bersalah kepada Devid dan Kemat, masing-masing selama 12 tahun dan 17 tahun.

Saya tidak tertarik untuk terlalu jauh mencampuri penyelidikan polisi tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah informasi dari berbagai literatur yang saya baca berkenaan dengan tiga kasus di atas. Ternyata ada beberapa kesamaan yang melatarbelakangi tiga kasus tersebut, yaitu, pertama, orang-orang yang divonis bersalah tersebut adalah orang-orang dari kalangan yang tidak mampu dan buta hukum.

Kedua, mereka tidak didampingi penasehat hukum pada proses pemeriksaan di kepolisian. Ketiga, mereka diduga mengalami intimidasi dalam berbagai bentuk pada proses pemeriksaan tersebut agar mau mengakui kejahatan yang tidak mereka lakukan.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum selama, dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Dalam hal tersangka atau terdakwa: (i) melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih; atau (ii) bagi mereka yang tidak mampu secara materil yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, maka pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Atas penunjukan tersebut, penasehat hukum memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Seandainya saja ketentuan dalam KUHAP tersebut benar-benar dijalankan, maka mungkin dapat diminimalisir terjadinya tiga kasus tersebut dan kasus-kasus serupa lainnya yang saat ini mungkin belum terdeteksi oleh media massa. Tentu saja pelaksanaan ketentuan dalam KUHAP tersebut hanya dapat berhasil apabila ada kerjasama yang baik diantara catur wangsa penegak hukum, yaitu hakim, polisi, jaksa dan advokat.

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa, hakim, polisi dan jaksa harus menganggap advokat sebagai mitra kerja mereka, dan bukan musuh yang harus dijauhi atau bahkan diperangi. Hakim, polisi dan jaksa harus menyadari bahwa advokat adalah salah satu pilar pendukung sistem peradilan pidana.

Bantuan Hukum

Dalam memutuskan suatu perkara, hakim tentu harus memiliki informasi yang seimbang dari pihak polisi dan jaksa sebagai pihak yang ingin memberikan hukuman yang optimal kepada tersangka atau terdakwa, dan dari pihak tersangka atau terdakwa yang menginginkan hukuman seringan-ringannya. Tanpa pengetahuan hukum yang memadai, akan sulit bagi tersangka atau terdakwa untuk memperjuangkan sendiri keinginannya tersebut. Untuk itulah kehadiran advokat diperlukan dalam rangka membantu tersangka atau terdakwa memperjuangkan hak-hak dan keinginannya. Demikianlah seharusnya sistem peradilan pidana bekerja. Tanpa kehadiran advokat, maka sistem peradilan pidana akan pincang.

Sepanjang memenuhi ketentuan dalam KUHAP tersebut, hakim, polisi dan jaksa tidak boleh ragu menunjuk advokat untuk mendampingi tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan. Meski saat ini sedang diperjuangkan RUU Bantuan Hukum yang pada pokoknya mengatur mekanisme bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu, organisasi advokat tetap harus membuat mekanisme yang mengatur agar kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu sebagaimana diamanatkan dalam UU Advokat dapat diselaraskan dengan ketentuan dalam KUHAP tersebut. Hal ini harus segera dilakukan. Jangan menunggu sampai ada lagi pihak-pihak yang menjadi korban sistem peradilan pidana yang pincang.

Labels: , , , , , , , , ,