Tuesday, April 29, 2008

Pantau Pemilu 2009, Yuk!

oleh Ari Juliano Gema

Tidak terasa, Pemilu 2009 semakin dekat. KPU mulai sibuk mengurus tahapan pesta demokrasi untuk memilih kembali anggota DPR, DPD dan DPRD itu. Tahapan pemilu yang harus diurus KPU itu adalah:

  1. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
  2. pendaftaran peserta pemilu;
  3. penetapan peserta pemilu;
  4. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
  5. pencalonan anggota DPR/DPD/DPRD;
  6. masa kampanye;
  7. masa tenang;
  8. pemungutan dan penghitungan suara;
  9. penetapan hasil pemilu; dan
  10. pengucapan sumpah/janji anggota DPR/DPD/DPRD.

Tahap pemutakhiran data pemilih telah dimulai sejak tanggal 5 April 2008. Pemungutan suara sendiri dijadwalkan pada tanggal 5 April 2009. Tidak cuma KPU yang sibuk, partai politik pun mulai jumpalitan mempersiapkan diri agar dapat lolos sebagai peserta pemilu.

Pengawasan Pemilu

Dari pengalaman penyelenggaraan pemilu sebelumnya, beberapa tahapan pemilu rentan adanya pelanggaran/kecurangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi itu. Pelanggaran/kecurangan itu misalnya saja memberikan informasi yang menyesatkan mengenai jumlah penduduk di suatu daerah pemilihan tertentu sehingga mempengaruhi penetapan jumlah kursi anggota DPRD di daerah itu, penggunaan fasilitas pemerintah pada masa kampanye, melakukan kampanye di masa tenang, dan memberikan suara lebih dari satu kali di beberapa tempat pemungutan suara.

Menurut UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), lembaga yang diberi kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu itu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Untuk mengawasi Pemilu 2009, Mahkamah Agung telah melantik lima orang anggota Bawaslu pada tanggal 9 April 2008.

Banyak pihak mencemaskan kerja Bawaslu. Tahapan awal pemilu sepertinya akan lolos dari pengawasan Bawaslu, mengingat tahap pemutakhiran data pemilih telah dimulai sejak 5 April 2008. Pada saat awal, Bawaslu mungkin masih akan dipusingkan dengan masalah internal, seperti penyiapan kantor kesekretariatan, rekrutmen personel, penyiapan petunjuk pelaksanaan/teknis pengawasan, mempersiapkan panitia pengawas di daerah dan melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait yang akan menjadi mitra Bawaslu (misal: Depdagri, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan KPU).

Sangat disayangkan apabila ada tahapan pemilu yang tidak dapat diawasi Bawaslu. Padahal menurut UU Pemilu, posisi Bawaslu saat ini lebih kuat dibandingkan dengan posisi Panitia Pengawas Pemilu pada Pemilu 2004. UU Pemilu juga banyak mengatur mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Sekedar informasi, dari pengalaman Pemilu 1999 dan 2004, serta pemilihan presiden 2004, banyak kasus pemilu terjadi justru akibat pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (Sinar Harapan, 22/03/08).

Partisipasi Publik

Melihat kenyataan itu, sudah seharusnya kita cemas. Pemilu 2009 seharusnya melahirkan anggota DPR/DPD/DPRD yang berkualitas. Namun, kalau proses pendaftaran, pencalonan dan kampanye mereka tidak diawasi dengan baik, bagaimana mungkin kita yakin bahwa hasilnya akan berkualitas? Bagaimana bila nanti ada anggota DPR/DPD/DPRD terpilih tiba-tiba muncul di TV sedang digelandang aparat penegak hukum karena diduga melakukan money politics pada saat pemilu?

Untuk itu, masyarakat seharusnya tidak boleh tinggal diam. UU Pemilu memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi sebagai pemantau pemilu. Pemantau pemilu itu dapat berbentuk lembaga swadaya masyarakat pemantau pemilu dalam negeri, badan hukum dalam negeri, lembaga pemantau pemilu luar negeri; dan perwakilan negara sahabat di Indonesia.


Bawaslu tidak akan sanggup mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Indonesia dan di luar negeri. Oleh karena itu, masyarakat yang terorganisir sebagai pemantau pemilu amat sangat diperlukan untuk membantu tugas Bawaslu. Semakin banyak masyarakat yang terlibat sebagai pemantau pemilu, maka akan membuat partai politik dan calon anggota DPR/DPD/DPRD berpikir panjang untuk melakukan pelanggaran/kecurangan dalam Pemilu 2009, membuat penyelenggara pemilu berusaha keras melaksanakan tugasnya dengan baik, dan membuat birokrat sipil/militer berpikir panjang untuk menunjukkan keberpihakannya terhadap partai politik tertentu.

Labels: , ,

Monday, April 21, 2008

Kalau Takut Dijebak, Jangan Korupsi, Dong!

oleh Ari Juliano Gema

Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, pernyataan Presiden SBY pada Konvensi Hukum Nasional beberapa waktu lalu menuai polemik. Pada saat itu, Presiden SBY menyampaikan ”peringatan” kepada aparat penegak hukum agar terus mensosialisasikan peraturan perundang-undangan untuk mengurangi tindak kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat. ”Kalau ada warga negara yang berbuat kesalahan atau melanggar hukum karena tidak tahu, maka kita ikut bersalah. Dan yang lebih jelek lagi, jangan sampai menjebak, padahal kita bisa mengingatkan. Saya tekankan betul ini kepada KPK dan Kejagung”, begitu kata beliau (Kominfo-Newsroom, 15/04/08).

Banyak pihak menanggapi pernyataan tersebut. Menurut mereka, sulit rasanya melepaskan anggapan bahwa ”peringatan” tersebut adalah sebagai reaksi atas tertangkap tangannya seorang anggota DPR RI oleh KPK atas dugaan penyuapan. Karena hal itu, sampai-sampai Menteri Negara/Sekretaris Negara RI Hatta Rajasa perlu meluruskan pernyataan Presiden SBY tersebut. Ia menyatakan bahwa Presiden SBY sebenarnya mendukung sepenuhnya upaya pemberantasan korupsi oleh KPK dengan segala kewenangannya (Kompas, 19/04/08).

Senjata KPK

Ketika dibentuk, KPK dilengkapi dengan berbagai ”senjata” untuk memborbardir para pelaku korupsi. ”Senjata” yang diberikan kepada KPK menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta perubahannya (UU No. 31/1999) dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), antara lain sebagai berikut:

  1. KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan apabila misalnya KPK melihat terdapat hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif;
  2. KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
  3. KPK berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Sebenarnya, menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), untuk membuka, memeriksa dan menyita surat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Namun, untuk mempercepat proses penyidikan, UU No. 31/1999 memberikan hak istimewa tersebut;
  4. Sebelum informasi/dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 31/1999 telah mengakui perluasan alat bukti yang sah dalam bentuk informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, serta setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau disimpan secara elektronik, berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna; dan
  5. Beberapa tindak pidana yang diatur dalam UU No. 31/1999 menganut sistem pembuktian terbalik. Berbeda dengan sistem yang dianut KUHAP, sistem ini memberikan beban pembuktian kepada terdakwa, dimana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, terdakwa yang harus bersusah payah membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas tuntutan dugaan korupsi dari jaksa penuntut umum.

Kewenangan sebagaimana disebut di atas terbukti efektif, karena KPK lebih leluasa untuk mendapatkan bukti permulaan yang cukup sebelum menangkap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dalam melakukan penangkapan tersebut, KPK tidak mungkin bertindak sembarangan, apalagi berniat menjebak, karena hal itu pasti akan merusak kredibilitas KPK.

Mencegah Korupsi

Apabila Presiden SBY bermaksud mengatakan supaya KPK mengingatkan atau mencegah agar orang tidak melakukan tindak pidana korupsi daripada menjebaknya, maka sebenarnya KPK telah banyak melakukan tugasnya dalam mencegah korupsi sebagaimana dimaksud dalam UU KPK, yaitu antara lain menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi, merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, serta melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum.

Kalau ada pejabat yang ditangkap oleh KPK ketika sedang melakukan perbuatan yang diduga kuat merupakan tindak pidana korupsi, hal itu jelas kesalahan pejabat itu sendiri. Dengan kampanye antikorupsi yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak secara nasional, seharusnya pejabat tersebut sudah tahu perbuatan apa saja yang dianggap sebagai tindak pidana korupsi serta konsekuensinya. Jadi, kalau takut dijebak, jangan korupsi, dong!

Labels: , , , ,

Tuesday, April 15, 2008

Slank, Penghinaan dan Peran Musisi

oleh Ari Juliano Gema

Seru juga membaca serangkaian berita yang membahas tentang ”Slank vs. DPR RI”. Lagu berjudul ”Gosip Jalanan” ciptaan Slank, yang liriknya menceritakan gosip-gosip yang beredar di masyarakat tentang praktek mafia di pengadilan, pemilu, ’senayan’ dan berbagai aspek kehidupan lainnya itu, menuai kekesalan sejumlah anggota dewan yang terhormat. Pasalnya, menurut beberapa anggota DPR RI tersebut, lagu itu telah melecehkan kehormatan DPR RI.

Untuk itu, Badan Kehormatan (BK) DPR RI pernah membahas rencana untuk melakukan upaya hukum terhadap Slank. Untungnya, rencana itu tidak jadi dilaksanakan. Menurut BK DPR RI, evaluasi terhadap lirik lagu itu diserahkan kepada masyarakat untuk menyikapinya (Republika, 09/04/08).

Penghinaan atau Kritik?

Kalau saja DPR RI menindaklanjuti rencana mereka untuk melakukan upaya hukum terhadap Slank, saya yakin pasti salah satu upaya mereka adalah mengadukan Slank kepada pihak kepolisian dengan menggunakan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap lembaga negara, yang ancaman hukumannya maksimal satu tahun enam bulan penjara. Pasal ini pernah juga dipergunakan terhadap grup musik Ed-Eddy & Residivis karena lirik lagu ciptaannya yang berjudul ”Anjing” dianggap menghina lembaga kepolisian. Padahal penggunaan kata ”anjing” dalam lagu yang menceritakan tentang gaya polisi yang sedang menyamar itu adalah sekedar ungkapan keterkejutan saja (Gatra, 18/10/06).

Terus terang, saya heran dengan reaksi yang ditunjukkan oleh para pejabat kita sekarang terhadap kritikan/sindiran yang ditunjukkan oleh para musisi kita. Dulu, pada saat rezim orde baru masih berkibar, tidak pernah kita dengar kabar bahwa penyanyi seperti Iwan Fals, yang sering melantunkan lagu-lagu berisi kritikan/sindiran terhadap perilaku para pejabat, ditangkap polisi karena lagu-lagu ciptaannya itu. Kalau konsernya dibatalkan oleh aparat kepolisian mungkin sering, tapi Iwan Fals tidak pernah diadukan ke polisi dengan dasar penghinaan terhadap lembaga negara!

Mungkin memang ada masalah perbedaan ukuran etika yang digunakan oleh para pejabat dan para musisi dalam memandang kritikan/sindiran yang disampaikan melalui lagu tersebut. Tapi, apakah itu berarti pejabat sekarang lebih ”sensi” dibandingkan dengan pejabat masa orde baru?

Pentingnya Peran Musisi

Diakui atau tidak, musisi juga bisa menjadi salah satu motor penggerak perbaikan nasib bangsa ini. Hal ini telah ditunjukkan dengan berbagai aktivitas yang dilakukan mereka seperti para musisi yang melantunkan lagu-lagu rohani, para musisi yang mendukung Program Siaga Bencana yang diluncurkan oleh LIPI, serta kampanye anti korupsi yang dilakukan oleh Slank dengan meluncurkan album yang berisi kumpulan lagu anti korupsi di KPK.

Meskipun langkah Slank itu sempat mendapat ganjalan, tapi seharusnya hal itu tidak membuat langkah para musisi menjadi terhenti. Langkah para musisi yang tidak sekedar cari makan atau ketenaran tersebut layak mendapat dukungan dari masyarakat. Dengan begitu, kita bisa menunjukkan bahwa siapapun bisa mengambil inisiatif untuk melakukan perbaikan nasib bangsa, sehingga tidak perlu sakit hati menunggu inisiatif pemerintah yang kadang tidak kunjung ada.

Labels: , , ,

Monday, April 07, 2008

Apakah Dokumen Elektronik Dapat Menjadi Alat Bukti yang Sah?

oleh Ari Juliano Gema

Sejak disahkan oleh rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Maret 2008 lalu, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mulai ramai diperbincangkan orang. Setelah pusing tujuh keliling membaca naskah UU ITE yang mulai digodog oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI sejak Maret 2003 ini, saya tertarik untuk menyoroti masalah keabsahan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam proses peradilan.

Alat Bukti yang Sah

Menurut UU ITE, yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan pengertian informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, dan informasi elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah menurut UU ITE.

Persyaratan Khusus

Tapi, tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

  1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
  2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
  3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
  4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
  5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Dalam bayangan saya, persyaratan minimum di atas dapat menjadi bahan perdebatan hebat di pengadilan apabila salah satu pihak mengajukan informasi elektronik/dokumen elektronik sebagai alat bukti. Sebagai contoh, dapat saja muncul pertanyaan apakah suatu pihak telah melakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa suatu sistem elektronik telah dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik tersebut. Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk itu, meski ukuran ”upaya yang patut” itu sendiri belum tentu disepakati oleh semua pihak.

Disamping itu, ada beberapa jenis dokumen yang tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila dibuat dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut:

  1. surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
  2. surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Dalam penjelasan UU ITE, hanya disebutkan bahwa yang surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis itu meliputi namun tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana dan administrasi negara. Dari penjelasan tersebut dapat muncul beberapa pertanyaan, yaitu apakah yang dimaksud dengan ”surat yang berharga”? Bagaimana dengan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara di pengadilan militer dan pengadilan agama?

UU ITE memang mengamanatkan adanya sejumlah peraturan pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan yang ada dalam UU ITE tersebut. Mudah-mudahan saja beberapa peraturan pemerintah yang akan terbit tersebut benar-benar dapat membuat lebih jelas ketentuan dalam UU ITE, sehingga UU ITE dapat lebih mudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Labels: , ,