Monday, October 27, 2008

Siapa Menjamin Blogger Tidak Bisa Dipenjara?

oleh Ari Juliano Gema

Saya terkejut membaca pernyataan seorang menteri di sebuah surat kabar. Menurutnya, meski ada pemerintah negara lain yang menyeret blogger masuk penjara karena tulisan di blog, namun sepanjang ia menjabat sebagai menteri, maka tidak akan ada blogger yang dipidana.

Menteri itu menjamin tidak akan memenjarakan blogger Indonesia sepanjang tulisan di blog memenuhi kaidah dan aturan berlaku, serta tetap mengacu pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut saya, pernyataan menteri itu sangat membingungkan.

Alasan saya berpendapat seperti itu adalah, pertama, pernyataan bahwa tidak ada blogger yang akan dipidana sepanjang dirinya menjabat sebagai menteri menyiratkan seolah-olah menteri itulah pihak yang menentukan seseorang bisa dipidana atau tidak. Siapapun tahu, pihak yang berhak memutuskan apakah seseorang dikenakan sanksi pidana adalah hakim. Apakah berarti menteri itu akan melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman untuk mencegah agar tidak ada blogger yang dipidana?

Kedua, pernyataan menteri yang menjamin tidak akan memenjarakan blogger itu juga seolah-olah menyiratkan bahwa hanya dirinyalah yang bisa melaporkan seorang blogger kepada penegak hukum agar masuk penjara, padahal orang biasa juga bisa melaporkan seorang blogger kepada penegak hukum agar masuk penjara. Ketiga, setelah memberikan pernyataan yang menjamin blogger tidak akan dipenjara, menteri itu kemudian lepas tangan dengan memberikan embel-embel ”sepanjang tulisan di blog memenuhi kaidah dan aturan berlaku”. Bukankah ini membingungkan?

Saya tidak anti kebebasan berekspresi. Saya hanya ingin agar setiap orang, termasuk blogger, menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara manakala dirinya berinteraksi dengan warga negara lainnya, baik secara offline maupun online.

Disinilah seharusnya pemerintah mengambil peran. Dengan perkembangan jumlah blogger yang cenderung meningkat dari hari ke hari, pemerintah seharusnya lebih berinistiatif untuk memberikan pemahaman kepada para blogger khususnya mengenai aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan aktivitas online, termasuk menulis di blog. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan diseminasi peraturan perundang-undangan yang relevan maupun memfasilitasi forum-forum diskusi yang membahas mengenai hal tersebut dengan cara-cara yang lebih kreatif.

Pemahaman melalui berbagai kegiatan tersebut sangat penting agar para blogger Indonesia tidak terjebak ranjau-ranjau hukum. Bukan sekedar memberikan mimpi-mimpi kepada blogger tentang jaminan kebebasan berekspresi.

Selamat Hari Blogger Nasional!
Maju terus blogger Indonesia!

Labels: , , , , ,

Monday, October 20, 2008

Memperjuangkan Capres Independen

oleh Ari Juliano Gema

Pada prinsipnya, saya mendukung perjuangan rekan-rekan di Mahkamah Konstitusi (MK) agar calon presiden RI tidak harus diusulkan oleh partai atau gabungan partai. Apabila perjuangan ini berhasil, maka setiap warga negara RI dapat mengajukan diri sebagai calon presiden tanpa harus minta dukungan dari partai politik.

Ini bukan perjuangan yang mudah. Perubahan ketiga UUD 1945 sendiri menentukan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Apabila dibaca sekilas, ketentuan konstitusi itu seolah-olah hanya membolehkan calon presiden yang diusulkan oleh partai atau gabungan partai.

Argumentasi Logis

Menurut Taufik Basari, pengacara yang berjuang di MK tersebut, meski terdapat ketentuan tersebut, namun dalam konstitusi sendiri tidak ada ketentuan yang melarang warga negara mengajukan diri sebagai calon presiden tanpa dukungan dari partai atau gabungan partai. Ketentuan dalam konstitusi memang memberikan hak kepada partai untuk mengajukan calon presiden, namun bukan berarti mencabut hak warga negara untuk mengajukan diri tanpa dukungan partai.

Hal ini relevan dengan ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi, khususnya yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Terdapat penegasan juga bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Argumentasi di atas cukup logis. Hal ini diperkuat dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia yang menyatakan bahwa mayoritas rakyat Indonesia (65%) menghendaki adanya calon presiden independen. Sekarang tinggal bagaimana para hakim konstitusi memandang ketentuan dalam konstitusi tersebut. Apabila mereka menggunakan penafsiran yang sempit, saya yakin mereka akan menolak argumentasi di atas. Perjuangan ini sangat membutuhkan keterbukaan pikiran dan hati dari para hakim konstitusi tersebut dalam mempertimbangkan dinamika yang terjadi di masyarakat.

Usulan Persyaratan

Apabila perjuangan ini berhasil, saya menitipkan kepada para pembuat undang-undang agar memperhatikan benar persyaratan untuk maju sebagai calon presiden tanpa dukungan partai ini. Saya mengusulkan setidaknya dua syarat penting untuk dapat mengajukan diri sebagai calon presiden independen, yaitu, pertama, minimal berpendidikan strata 1 (S1). Dengan demikian pesatnya perkembangan jaman, saya pikir syarat itu tidak mengada-ada.

Kedua, mendapat dukungan, yang dibuktikan dengan tanda tangan dan fotokopi KTP pendukungnya dalam jumlah tertentu, dari minimal 2/3 jumlah provinsi di Indonesia. Ini hampir sama dengan persyaratan bagi partai politik yang berniat menjadi peserta pemilu. Logikanya, karena calon presiden yang didukung partai politik, di atas kertas, sudah pasti memperoleh dukungan di minimal 2/3 jumlah provinsi di Indonesia, maka calon presiden independen juga harus membuktikan hal tersebut.

Bagaimanapun juga persyaratan untuk calon presiden independen tidak boleh lebih berat atau lebih ringan dari calon presiden yang diusung partai politik. Persyaratan harus dibuat sama ketatnya. Dengan demikian, calon presiden yang maju nanti benar-benar calon yang berkualitas dan dapat diharapkan untuk membawa kemajuan bagi bangsa dan negara. Semoga.

Labels: , , , , , , ,

Monday, October 13, 2008

Memperkuat DPD yang Sulit Diperkuat

oleh Ari Juliano Gema

Saat ini, ada upaya untuk memperkuat fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Setelah berbagai kritik atas lemahnya peran DPD, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana memperkuat peran DPD melalui perubahan Undang-Undang mengenai Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk).

Upaya apapun dengan tujuan baik tentu patut kita sambut baik. Namun, mohon maaf kalau saya pesimis upaya itu akan membawa perubahan yang berarti. Mengapa pesimis?

Pembentukan DPD

Dasar pembentukan DPD adalah perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 2001. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Berbeda dengan DPR, penyusun perubahan ketiga UUD 1945 tidak berani menegaskan hal-hal apa saja yang menjadi kewenangan atau hak-hak DPD. Kalau kita simak ketentuan dalam konstitusi, DPD hanya diberikan kata ”dapat”, bukan kata ”berwenang” atau ”berhak”.

Perubahan ketiga UUD 1945 mengatur bahwa DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan kekuasaan pusat dan daerah. Meski DPD juga ikut membahas RUU dalam bidang-bidang tersebut di atas, namun DPD tidak diberi hak untuk ikut dalam pengambilan keputusan pengesahan RUU tersebut.

DPD juga dapat mengawasi pelaksanaan undang-undang mengenai bidang-bidang tersebut, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Selain itu, DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan dan belanja negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

Kuncian Konstitusi

Meski terkesan diberikan banyak peran, menurut saya, peran dan fungsi DPD tidak jauh berbeda dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang telah dihapuskan itu. Peran dan fungsi DPD pada dasarnya hanyalah memberikan usulan, masukan atau pertimbangan kepada DPR. Tidak ada kewajiban bagi DPR untuk mengikuti usulan, masukan atau pertimbangan dari DPD. DPR dapat dengan mudah mengabaikannya begitu saja.

Pengaturan apapun dalam UU Susduk tidak akan mampu memperkuat peran dan fungsi DPD sepanjang tidak ada perubahan ketentuan dalam konstitusi. Apakah DPR punya keberanian memberikan DPD hak untuk ikut dalam pengambilan keputusan pengesahan RUU? Dengan berbagai alasan, saya pikir tidak mungkin. Kalau sudah begini, dalam logika anggota DPD, untuk apa mereka susah-susah memberikan usulan, masukan atau pertimbangan yang berbobot apabila tidak ada jaminan DPR akan menggunakannya.

DPD dibentuk seolah-olah hanya untuk mengakomodasi keinginan tokoh-tokoh daerah atau nasional yang ingin masuk ke dalam lingkaran kekuasaan tanpa melalui partai politik. Tidak dipikirkan lebih jauh mengenai peran dan fungsi yang ideal bagi DPD. Berapa besar anggaran negara yang telah dihabiskan hanya untuk membiayai pemilihan anggota DPD dan membayar penghasilan anggota DPD tanpa dapat mengukur hasil kerjanya. Apakah kinerja DPD dapat begitu saja diukur dari banyaknya usulan, masukan atau pertimbangan yang diberikan kepada DPR? Atau sekedar dilihat dari seringnya mampir di wilayah konstituennya?

Tanpa adanya perubahan konstitusi mengenai peran dan fungsi DPD, maka penyia-nyiaan anggaran negara ini akan terus berlanjut. Uang rakyat akan terus terbuang sia-sia untuk membiayai lembaga yang sudah mandul sejak dilahirkan.

Labels: , , , ,

Sunday, October 05, 2008

Memilih Caleg Dalam Karung?

oleh Ari Juliano Gema

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan Daftar Calon Sementara (DCS) untuk anggota DPR dan DPD. Dari 14.020 calon anggota DPR yang diajukan oleh 38 partai politik kepada KPU, 11.868 diantaranya lolos verifikasi KPU.

UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) mengamanatkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk mengumumkan DCS anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya selama 5 (lima) hari. Atas pengumuman tersebut, masyarakat dapat memberikan masukan dan tanggapan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari sejak DCS diumumkan.

Apabila ada masukan atau tanggapan dari masyarakat, maka KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota meminta klarifikasi kepada partai politik atas masukan atau tanggapan tersebut. Pimpinan partai politik harus memberikan kesempatan kepada calon yang bersangkutan untuk mengklarifikasi masukan atau tanggapan dari masyarakat. Apabila berdasarkan klarifikasi tersebut diketahui bahwa calon sementara tersebut tidak memenuhi syarat, maka KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota memberitahukan dan memberikan kesempatan kepada partai politik untuk mengajukan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan.

Minim Informasi

Saat tulisan ini dibuat, pengumuman DCS baru dilakukan di situs KPU (http://www.kpu.org/). Dari situs itu, saya hanya bisa mengunduh (download) DCS untuk anggota DPD saja, yang hanya berisi foto dan nama beserta gelar akademis dari calon anggota DPD.

Saya jadi berpikir, apabila DCS untuk calon anggota DPR/DPRD juga hanya berisi foto dan nama beserta gelar akademis saja, bagaimana masyarakat punya cukup informasi untuk memberikan masukan atau tanggapannya? Ambil contoh, untuk mengetahui apakah gelar akademis yang dimiliki calon sementara tersebut benar atau tidak, tentu masyarakat butuh informasi mengenai nama perguruan tinggi yang dinyatakan calon sementara sebagai tempat pendidikan dimana gelar akademis tersebut diperoleh. Apabila informasi mengenai latar belakang pendidikan tersebut tidak ada, bagaimana mungkin masyarakat dapat melakukan pemeriksaan silang (cross check) terhadap informasi tersebut?

UU Pemilu sama sekali tidak memberikan aturan yang jelas mengenai informasi apa saja yang harus tercantum dalam pengumuman DCS tersebut. Hal ini membuat KPU tidak memiliki kewajiban untuk mengumumkan informasi yang selengkap-lengkapnya mengenai calon sementara kepada masyarakat. Dalam logika KPU, mengumumkan informasi yang minim sekalipun dianggapnya telah memenuhi UU Pemilu. Akhirnya, pada saat pemungutan suara, masyarakat seperti ”membeli kucing dalam karung”. Masyarakat tidak punya cukup informasi untuk memilih secara rasional.

Usulan Solusi

Minimnya informasi yang diumumkan oleh KPU tersebut, selain karena tidak adanya aturan yang jelas dalam UU Pemilu, mungkin karena KPU tidak punya tenaga dan waktu (atau tidak punya niat?) untuk menyampaikan informasi yang lengkap. Mungkin juga karena keterbatasan dana KPU untuk membayar space di media cetak atau slot di media elektronik untuk memuat informasi yang lengkap.

UU Pemilu memang perlu diperbaiki. Harus ditegaskan adanya kewajiban bagi KPU menyampaikan informasi yang lengkap dalam DCS mengenai calon anggota DPR, DPRD dan DPD. Informasi tersebut minimal harus memuat nama, foto terbaru, latar belakang pendidikan, latar belakang pekerjaan, dan pengalaman organisasi serta aktivitas sosial yang relevan lainnya.

Untuk pemilu sekarang, KPU seharusnya menggunakan kewenangannya menerbitkan peraturan KPU yang mewajibkan setiap partai politik peserta pemilu untuk mengumumkan informasi lengkap mengenai calon anggota DPR/DPRD yang diusulkannya, minimal melalui situs resmi (website) masing-masing partai politik. Semua biaya pengumuman tersebut harus ditanggung oleh partai politik yang bersangkutan. Peraturan ini penting untuk mendorong masyarakat menggunakan hak pilihnya secara rasional.

Tidak ada alasan bagi partai politik untuk merasa keberatan dengan peraturan tersebut. Ketika partai politik berniat ikut pemilu, seharusnya mereka sudah siap untuk memenuhi segala ketentuan yang dipersyaratkan dalam UU Pemilu dan peraturan pelaksanaannya. Tidak usah ikut pemilu kalau mereka tidak mampu memenuhinya. Pemilu bukan ajang coba-coba. Apalagi sekedar unjuk popularitas semata.

Labels: , , , , , , , , ,