Sunday, April 25, 2010

4 Kejanggalan dalam Putusan Praperadilan SKPP Bibit-Chandra

oleh Ari Juliano Gema

Saya baru selesai membaca putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang memutuskan tidak sahnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas nama Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah itu. Menurut saya, putusan yang dibuat oleh hakim Nugraha Setiaji (catat!) itu setidaknya mengandung empat kejanggalan, yaitu:

Pertama, permohonan praperadilan diajukan oleh Anggodo Widjojo yang mengaku sebagai saksi korban. Padahal, surat pelarangan bepergian ke luar negeri yang diterbitkan oleh KPK adalah untuk Anggoro Widjojo, Putranefo A. Prayugo, Anggono Widjojo dan David Angkawijaya. Bahkan dalam surat permohonan praperadilan itu diketahui bahwa semua uang yang katanya akan diberikan untuk pimpinan KPK adalah berasal dari Anggoro Widjojo. Anggodo hanya bertindak sebagai perantara antara Anggoro Widjojo dan Ary Muladi yang katanya akan menyampaikan uang tersebut kepada pimpinan KPK. Bagaimana mungkin Anggodo merasa dirinya sebagai korban?

Kedua, yang menjadi termohon dalam surat permohonan praperadilan untuk pembatalan SKPP itu adalah Kejaksaan Agung cq. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Termohon I) dan Kapolri cq. Kepala Bareskrim Mabes Polri (Termohon II). Padahal, SKPP diterbitkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Jadi, sudah tidak ada urusan dengan Kapolri atau Kabareskrim Mabes Polri. Jelas permohonan itu salah orang alias error in persona.

Ketiga, ada 2 (dua) SKPP dengan 2 (dua) nomor surat yang berbeda masing-masing untuk Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, bagaimana mungkin bisa diajukan dalam 1 (satu) permohonan praperadilan?

Keempat, OC Kaligis diajukan dan diterima sebagai saksi ahli dalam permohonan praperadilan tersebut. Seorang saksi ahli tentu diharapkan independensinya dalam memberikan pendapat sesuai dengan keahliannya. OC Kaligis bersama dengan komunitas advokat sebelumnya juga pernah mengajukan permohonan praperadilan untuk pembatalan SKPP Bibit-Chandra, namun ditolak oleh hakim karena kedudukan hukum mereka tidak jelas. Mengingat hal itu, bagaimana mungkin hakim menerima OC Kaligis sebagai saksi ahli yang independen, tanpa mewaspadai niat balas dendamnya?

Berdasarkan beberapa kejanggalan di atas, seharusnya hakim Nugraha Setiaji menolak permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo tersebut. Semoga hakim banding dapat melihat dan mempertimbangkan beberapa kejanggalan tersebut untuk dengan tegas membatalkan putusan praperadilan di PN Jakarta Selatan tersebut.




Labels: , , , , , ,