Thursday, October 06, 2005

Menyoal Peran Wakil Presiden*
by Ari Juliano Gema


Peran Megawati Sukarno Putri sebagai Wakil Presiden RI saat ini sedang dalam sorotan. Banyak kalangan menilai Megawati tidak berbuat apa-apa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa saat ini, terutama pada saat Presiden Abdurrahman Wahid sedang tidak berada di dalam negeri. Ini membuat sebagian besar masyarakat mempertanyakan bagaimana sesungguhnya kedudukan wakil presiden dalam sistem ketatanegaraan kita, dan bagaimana masyarakat dapat mengetahui bahwa seorang Wakil Presiden telah melaksanakan tugasnya dengan baik?

Kedudukannya Dalam Ketatanegaraan

Dalam UUD 1945 pasal 4 ayat 2 menyebutkan bahwa "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden" dan menurut pasal 6 ayat 2 "Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak". Kemudian pasal 8 menentukan bahwa "Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Dalam Penjelasan UUD 1945 itu sendiri tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai lembaga Wakil Presiden serta bidang tugasnya.

Ketetapan MPR No. VI/1973 juncto Ketetapan MPR No. III/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada pasal 8 ayat 1 dan 2 menggariskan bahwa "Presiden ialah penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara tertinggi dibawah Majelis, yang dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh Wakil Presiden" dan "Hubungan kerja antara Presiden dan Wakil Presiden diatur dan ditentukan oleh Presiden dibantu oleh Wakil Presiden".

Pengaturan dalam UUD 1945 dan TAP MPR ini memperlihatkan beberapa hal. Pertama, keberadaan lembaga Wakil Presiden merupakan amanat dari konstitusi, yang dipilih dan diangkat oleh MPR bersamaan dengan Presiden, namun bidang tugasnya tidak diatur dengan jelas dan tegas oleh konstitusi.

Kedua, UUD 1945 hanya mengatur mengenai kondisi dimana Presiden berhalangan tetap tapi tidak ada pengaturan apabila Presiden berhalangan sementara.

Ketiga, TAP MPR menentukan bahwa Wakil Presiden hanya membantu Presiden dalam fungsinya menjalankan kekuasaan pemerintahan (eksekutif), namun tidak jelas apakah Wakil Presiden harus berinisiatif untuk membantu atau menunggu dimintakan bantuannya oleh Presiden.

Keempat, TAP MPR tidak jelas menentukan bagaimana sebenarnya bentuk pengaturan dari hubungan kerja antara Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dan ditentukan oleh Presiden dibantu oleh Wakil Presiden itu. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.

Praktek Saat Ini

Pada masa pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto pada saat mengumumkan Kabinet Pembangunan II pada tanggal 27 Maret 1973, memberikan tugas kepada Wakil Presidennya untuk memperhatikan secara khusus, menampung masalah-masalah dan mengusahakan pemecahan masalah yang perlu, yang menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat, serta melakukan pengawasan operasional pembangunan dengan bantuan departemen-departemen, dalam hal ini adalah inspektur jenderal departemen-departemen yang bersangkutan. Mekanisme pengawasan ini diwujudkan dengan dibukanya Tromol Pos 5000.

Presiden Abdurrahman Wahid pada pidato sambutannya seusai pengumuman susunan Kabinet Persatuan Nasional pada tanggal 26 Oktober 1999 mengatakan bahwa Wakil Presiden Megawati Sukarno Putri diberikan amanat untuk mengurusi masalah Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup, Irian Jaya, Aceh dan Maluku.

Dari dua peristiwa di atas menunjukan bahwa pengaturan hubungan kerja antara Presiden dan Wakil Presiden, yang memberi peran dan tugas pada Wakil Presiden, hanya dibuat dalam bentuk pidato kepresidenan, yang sama sekali tidak memiliki kekuatan dan kepastian hukum apapun. ini membuat kita tidak dapat memberikan penilaian secara obyektif apakah seorang Wakil Presiden telah melakukan tugasnya dengan baik atau tidak. Padahal apabila ada ketentuan hukum yang mengaturnya lembaga-lembaga negara lainnya serta masyarakat pada umumnya dapat meminta pertanggungjawaban secara hukum, apabila terbukti Wakil Presiden lalai melaksanakan tugasnya.

Melihat kondisi saat ini, terutama pada saat Presiden melakukan kunjungan ke luar negeri tidak membuat Megawati sebagai Wakil Presiden memiliki inisiatif untuk melakukan usaha-usaha mengatasi persoalan-persoalan bangsa yang telah diamanatkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dan masyarakat pada umumnya hanya dapat melakukan kritik terhadap kinerja Megawati tanpa bisa meminta pertanggungjawaban berdasarkan suatu ketentuan hukum tertentu.

Harus Dibuat Pengaturannya

Keadaan ini mendesak untuk segera dilakukannya langkah-langkah sebagai berikut: pertama, apabila sedang mengadakan kunjungan ke luar negeri atau berhalangan untuk sementara waktu, Presiden harus membuat Keputusan Presiden yang berisi penugasan kepada Wakil Presiden untuk melakukan usaha-usaha yang perlu dilakukan dalam kapasitasnya mewakili Presiden sebagai kepala pemerintahan (eksekutif). Hal ini perlu dilakukan agar bisa dilakukan penilaian obyektif terhadap kinerja Wakil Presiden atas pelaksanaan tugas yang diemban berdasarkan Keppres tersebut.

Kedua, Untuk kepastian hukum, perlu dipikirkan untuk mengatur dalam Ketetapan MPR mengenai bentuk produk hukum dari pengaturan hubungan kerja antara Presiden dan Wakil Presiden.

Ketiga, sejalan dengan semangat pembaharuan UUD 1945, kiranya perlu dipikirkan untuk menambahkan suatu klausula dalam pengaturan hubungan kerja antara Presiden dan Wakil Presiden, yaitu apabila Presiden berhalangan sementara, maka tugas-tugas Presiden sebagai kepala pemerintahan dilaksanakan oleh Wakil Presiden berdasarkan suatu ketentuan hukum tertentu, keputusan presiden misalnya.


* Artikel ini ditulis pada tahun 1999, saat penulis bekerja sebagai staf peneliti si CSIS

Revisi Pasal 11 UUD 1945 : Mencari Mekanisme Ideal Pembuatan Perjanjian Dengan Negara Lain*
by Ari Juliano Gema


Polemik mengenai pembukaan hubungan dagang dengan Israel, yang tentunya akan dibuat dalam bentuk perjanjian kerjasama ekonomi antara kedua negara, untuk sementara waktu telah usai. Pada hari Kamis tanggal 18 November 1999, Menteri Luar Negeri RI Alwi Shihab menyatakan bahwa rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel untuk sementara ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Mengenai masalah pembuatan perjanjian kerjasama ekonomi dengan Israel ini kiranya masih menyisakan pertanyaan bagi sebagian besar masyarakat. Apakah pemerintah dapat begitu saja mengadakan atau membatalkan rencana suatu perjanjian dengan negara lain, tanpa memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat? Bagaimana peran lembaga perwakilan rakyat, dalam hal ini DPR, mengenai pembuatan perjanjian dengan negara lain?
Tulisan ini akan membahas mengenai permasalahan diatas, yang pembahasannya tidak terlepas dengan pengaturannya dalam konstitusi, yaitu pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain". Dari pasal tersebut akan dijabarkan mengenai pengertian perjanjian dengan negara lain, pembuatan perjanjian dengan negara lain, peran DPR berdasarkan UUD 1945 serta beberapa usulan sebagai solusi dari permasalahan diatas.
PERJANJIAN DENGAN NEGARA LAIN
Perjanjian dengan negara lain disini dimaksudkan sebagai perjanjian internasional yang oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu (Mochtar Kusumaatmadja, 1976:109). Sedang Oppenheim dalam bukunya International Law (A Treaties) mendefinisikannya sebagai "International treaties are states, creating legal rights and obligations between the Parties". Pada prakteknya perjanjian internasional tidak hanya dilakukan antara dua negara (bilateral) atau lebih dari dua negara (multilateral) saja, tapi juga antara satu negara dengan suatu badan atau organisasi internasional.

PEMBUATAN PERJANJIAN DENGAN NEGARA LAIN
Dilihat dari prosedurnya, lazimnya perjanjian internasional dibuat melalui tiga tahap, yaitu perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification) (Mochtar Kusumaatmadja, 1976:121). Perundingan biasanya dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Apabila perundingan mencapai kesepakatan, maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan. Perjanjian yang telah ditandatangani itu, selanjutnya memerlukan pengesahan (ratification) dari negara pemberi mandat. Prosedur pengesahan (ratification) itu pada umumnya diatur di dalam konstitusi yang berlaku di tiap-tiap negara.
Prosedur pengesahan sebagai tahap terakhir dari suatu perjanjian internasional berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Ada pengesahan perjanjian internasional yang cukup dilakukan oleh presiden atau kepala negara. Tetapi ada pula negara-negara yang menentukan bahwa pengesahan perjanjian internasional harus melibatkan lembaga perwakilan rakyat.
Ide mengenai keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dalam pengesahan ini erat hubungannya dengan paham kedaulatan rakyat dan paham demokrasi yang dianut oleh tiap-tiap negara (Yusril Ihza Mahendra, 1993:124-125). Mengingat bahwa suatu perjanjian internasional, akan membawa akibat-akibat hukum tertentu, yaitu timbulnya hak dan kewajiban, serta berbagai implikasi di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan sebagainya, maka sudah seharusnya perjanjian itu tidak hanya disahkan oleh pihak eksekutif, tetapi masih memerlukan persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat sebagai perwujudan asas kedaulatan rakyat,

PERAN DPR MENURUT UUD 1945
Sebagaimana diterangkan di atas, pada pasal 11 UUD 1945 menentukan bahwa presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Pengaturan itu sendiri sebenarnya masih belum jelas dan menimbulkan beberapa penafsiran.
Pertama, tidak jelas kapan persetujuan dari DPR itu diperlukan, apakah sebelum perjanjian dengan negara lain itu dibuat, atau persetujuan itu diperlukan pada tahap-tahap tertentu dari proses pembuatan perjanjian internasional, atau persetujuan DPR hanya diperlukan pada tahap pengesahan perjanjian tersebut.
Kedua, tidak jelas dalam bentuk apa persetujuan dari DPR itu harus diberikan, apakah dalam bentuk undang-undang atau bentuk lainnya, sebab dari segi bahasa "persetujuan" tersebut tidak harus dituangkan dalam suatu bentuk yang pasti dan tetap, yang penting adalah adanya persesuaian pendapat, adanya kecocokan dalam langkah dan adanya keselarasan dalam pendirian dan penilaian (AH Saleh Attamimi,1981:292).
Ketiga, tidak jelas apakah DPR yang berinisiatif untuk memberikan persetujuan atau menunggu dimintakan persetujuannya oleh pemerintah.
Berkenaan dengan ketidakjelasan tersebut, Presiden Soekarno pernah mengirimkan surat kepada Ketua DPR (Sementara) tertanggal 22 Agustus 1960, yang mengemukakan pendirian pemerintah terhadap pasal 11 UUD 1945. Disebutkan bahwa menurut "penafsiran" pemerintah, ketentuan pasal 11 "tidak mengandung arti segala perjanjian dengan negara asing", tetapi perjanjian-perjanjian yang "terpenting saja".
Yang dimaksud dengan perjanjian "terpenting" itu menurut "penafsiran" Presiden Soekarno ialah perjanjian-perjanjian "yang mengandung soal-soal politik". Ada tiga kriteria untuk menentukan istilah perjanjian yang bersifat "terpenting", yaitu: (a) perjanjian yang membawa implikasi kepada "haluan politik luar negeri" RI seperti perjanjian persahabatan dengan negara lain, pembentukan aliansi, dan penetapan serta perubahan tapal batas negara; (b) persetujuan-persetujuan yang demikian rupa sifatnya" sehingga diperkirakan dapat "mempengaruhi haluan politik luar negeri" RI, misalnya dalam persetujuan kerjasama ekonomi, teknik, ataupun pinjaman dana dari luar negeri; (c) soal-soal yang menurut UUD atau peraturan perundang-undangan harus diatur dengan undang-undang, seperti soal-soal kewarganegaraan dan kehakiman, seperti ekstradisi.
Menurut surat Presiden Soekarno itu, perjanjian-perjanjian dengan negara lain, di luar materi dari ketiga kriteria di atas, tidak perlu dimintakan persetujuannya kepada DPR. Persetujuan perjanjian-perjanjian itu cukup dilakukan oleh presiden dan setelah itu disampaikan kepada DPR "hanya untuk diketahui". Surat ini dikemudian hari diperkuat dengan Surat Mensesneg No. 202/M.M. Sekneg/8/1975.
Walaupun telah dikemukakan penafsiran pemerintah terhadap pasal 11 UUD 1945 itu, pada prakteknya terdapat inkonsistensi dari pihak pemerintah. Berdasarkan data di lapangan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, tercatat Trade Agreement dengan Korea Utara yang ditandatangani di Jakarta pada tahun 1964, hanya disahkan dengan Keputusan Presiden No. 91 Tahun 1964, padahal agreement tersebut telah memenuhi kriteria yang ditentukan dalam surat presiden tersebut, dalam hal ini persetujuan kerjasama ekonomi, untuk dimintakan persetujuannya kepada DPR. Kemudian Persetujuan Kerjasama bidang Ekonomi dan Kebudayaan dengan Pakistan pada tahun 1965 juga hanya disahkan dengan Keppres No. 307/1965, dan masih banyak contoh lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Akibat inkonsistensi ini dapat dikatakan bahwa surat Presiden kepada Ketua DPR tersebut telah kehilangan "kekuatannya" karena telah dilanggar sendiri oleh pembuatnya.
Dilihat dari sudut hukum tata negara, surat Presiden Soekarno, termasuk Surat Mensesneg yang keluar belakangan, itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Surat Presiden Soekarno itu hanya sebuah visi penafsiran pihak pemerintah terhadap pasal 11 UUD 1945, yang ditujukan kepada "Yang Mulia Ketua DPR" bukan kepada DPR sebagai sebuah lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan presiden (Yusril Ihza Mahendra, 1993:128).
Berdasarkan TAP MPR No. I/MPR/1983 jo. TAP MPR RI No. I/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI pasal 4 point b disebutkan bahwa MPR mempunyai wewenang untuk memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan MPR, yang apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal 3 TAP MPR tersebut dijelaskan bahwa MPR bertugas menetapkan Undang-Undang Dasar, sehingga sudah jelas bahwa secara ketatanegaraan yang mempunyai wewenang untuk menafsirkan UUD 1945, dalam hal ini pasal 11 UUD 1945, adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat.

PRAKTEK PADA DASAWARSA 1990-AN
Praktek pembuatan perjanjian dengan negara lain pada dasawarsa 1990-an apabila dilihat dari data di lapangan menunjukkan bahwa sejak tahun 1980 sampai dengan 1999 tercatat kurang lebih 20 (dua puluh) perjanjian internasional telah disahkan dalam bentuk undang-undang, sedangkan lebih dari 300 (tiga ratus) perjanjian internasional disahkan dengan keputusan presiden (Keppres). Apabila dibandingkan antara perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang dan keputusan presiden, maka akan terlihat bahwa untuk perjanjian internasional yang bersifat bilateral biasanya disahkan dalam bentuk keputusan presiden (Keppres), sedangkan untuk perjanjian internasional yang bersifat multilateral biasanya disahkan dengan undang-undang.
Tetapi pada perkembangannya hal tersebut tidak berjalan secara konsisten, sebagai contoh International Natural Rubber Agreement yang merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral hanya disahkan dengan Keputusan Presiden RI No. 94 Tahun 1996, kemudian juga ASEAN Agreement on Costums (Persetujuan ASEAN Di Bidang Kepabeanan) yang hanya disahkan dengan Keppres RI No. 130/1998. Hal ini juga terjadi pada perjanjian internasional yang bersifat bilateral, sebagai contoh Perjanjian antara RI dan Australia mengenai Zone Kerjasama di Daerah antara Propinsi Timor Timur dan Australia Bagian Utara ternyata disahkan dengan UU No. 1 Tahun 1991.
Untuk menegaskan masalah ini, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Tahun 1999 telah mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, yang mana pada Bab IV mengenai Arah Kebijakan bidang Hukum angka 4 ditegaskan: "Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang". Kemudian pada bidang Politik bagian Hubungan Internasional diterangkan: "Dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat".
Merupakan perkembangan yang menggembirakan dengan keluarnya TAP MPR No. IV/MPR/1999 tersebut untuk lebih menegaskan tentang pembuatan perjanjian dengan negara lain, dan juga TAP MPR tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat dibandingkan dengan Surat Presiden No. 2826/HK/1960 kepada ketua DPRS. Namun begitu, ketentuan dalam TAP MPR tersebut apabila kita cermati ternyata juga masih mengandung beberapa penafsiran.
Pertama, mengenai bidang Hukum, tidak ada kejelasan bagaimana menentukan suatu konvensi internasional sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa sehingga dapat diratifikasi, dan siapa yang berwenang menentukan suatu konvensi internasional sudah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa sehingga dapat diratifikasi.
Kedua, mengenai bidang Politik bagian Hubungan Internasional, tidak jelas dalam bentuk apa persetujuan lembaga perwakilan rakyat diwujudkan.
Ketiga, tidak dijelaskan pada tahap mana harus mendapat persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat, apakah pada saat pemerintah menyatakan niatnya untuk mengadakan perjanjian atau kerjasama dengan negara lain, atau persetujuan itu diharuskan pada tahapan tertentu saja dari prosedur perjanjian internasional, misalnya pada tahap perundingan, penandatanganan, atau pengesahan saja.
Keempat, tidak dijelaskan apa kriteria dari perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak.
Kelima, tidak dijelaskan apakah lembaga perwakilan rakyat harus berinisiatif untuk memberikan persetujuan, atau menunggu dimintakan persetujuannya oleh pemerintah.
Keenam, tidak dijelaskan apakah lembaga perwakilan rakyat punya hak menolak perjanjian dan kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini patut dipertanyakan karena pengertian persetujuan berbeda dengan izin yang bermakna larangan bagi yang tidak memiliki izin, sedang persetujuan hanya bersifat mengesahkan suatu perbuatan atau tindakan yang pada dasarnya tidak dilarang.
Dari paparan diatas, dapat dilihat bahwa pengaturan bagi pembuatan perjanjian dengan negara lain dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 masih kurang memadai sehingga akan menimbulkan kesimpangsiuran pemahaman pada pelaksanaannya nanti.

USULAN PEMECAHAN MASALAH
Melihat pada permasalahan yang dipaparkan sebelumnya, kiranya perlu dipikirkan untuk melakukan pembaharuan pada pasal 11 UUD 1945 sejalan dengan semangat pembaharuan konstitusi negara kita, agar dapat mengakomodir perkembangan maupun permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul di masa yang akan datang, sebagaimana juga lazimnya konstitusi negara lain yang secara tegas dan jelas memuat pengaturan mengenai perjanjian dan kerjasama internasional.
Adapun mengenai pembaharuan pasal 11 UUD 1945 ini perlu diperhatikan beberapa hal penting.
Pertama, harus ditegaskan bahwa untuk masuk ke dalam dan keluar dari, serta menandatangani suatu perjanjian atau kerjasama dengan negara lain atau suatu organisasi internasional, dilakukan oleh Presiden hanya dengan kuasa undang-undang. Hal ini perlu ditegaskan agar Presiden tidak berlaku sewenang-wenang untuk melakukan atau membatalkan perjanjian ataupun kerjasama internasional tanpa memperhatikan aspirasi rakyat yang disampaikan melalui lembaga perwakilannya.
Kedua, harus ditegaskan bahwa semua perjanjian dan kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah harus mendapat pengesahan dari lembaga perwakilan rakyat dalam bentuk undang-undang, kecuali jika ditentukan lain dalam undang-undang. Hal ini perlu diatur karena disadari ada perjanjian atau kerjasama internasional yang membawa akibat-akibat hukum serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi rakyat banyak sehingga membutuhkan partisipasi rakyat melalui lembaga perwakilannya untuk mengesahkannya, dan ada juga yang materinya bersifat spesifik atau individual sehingga tidak terlalu dibutuhkan pengesahan dari lembaga perwakilan rakyat.
Ketiga, harus dibuat undang-undang organik mengenai pembuatan perjanjian dan kerjasama internasional, yang setidak-tidaknya memuat pengertian mengenai perjanjian dan kerjasama internasional, kriteria yang tegas mengenai perjanjian dan kerjasama internasional yang harus disahkan dalam bentuk undang-undang, serta hak inisiatif lembaga perwakilan rakyat untuk mengajukan RUU yang menyangkut pembuatan perjanjian dan kerjasama internasional.


KEPUSTAKAAN

Attamimi, Abdoel Hamid Saleh. (1981). "Presiden dengan Persetujuan DPR Membuat Persetujuan dengan Negara Lain". Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Tata Negara Tahun 1980/1981-1981/1982.(Jakarta:BPHN).

Departemen Kehakiman RI. (1975). Himpunan Daftar Perjanjian Internasional. (Jakarta:Depkeh RI).

Kusumaatmadja, Mochtar. (1976). Pengantar Hukum Internasional. (Bandung:Alumni).

Lubis, M. Solly. (1997). Pembahasan UUD 1945 (Bandung:PT.Alumni).

Mahendra, Yusril Ihza. (1993). "Peranan DPR dalam Ratifikasi Perjanjian Internasional". Dinamika Tatanegara Indonesia.(Jakarta:Mizan)

Sekretariat Jenderal MPR RI. (1999). Ketetapan-Ketetapan MPR RI Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. (Jakarta:Setneg RI).

Suryono, Edy. (1984). Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia (Bandung:Remaja Karya).



* Artikel ini ditulis pada tahun 1999, pada saat penulis bekerja sebagai staf peneliti di CSIS

Mencermati Mekanisme Pengangkatan Ketua MA*
by Ari Juliano Gema
Usulan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengangkat Benyamin Mangkudilaga sebagai Ketua Mahkamah Agung menggantikan Sarwata yang akan memasuki masa pensiun, mengandung dua hal penting untuk dicatat. Pertama, seorang Presiden mengusulkan calon pengganti Ketua MA, sebuah lembaga tinggi negara yang sederajat dengannya.
Kedua, Benyamin Mangkudilaga tidak pernah menjadi Hakim Agung, satu syarat untuk dapat diangkat sebagai ketua MA. Pertanyaannya adalah dapatkah seorang Presiden mengusulkan dan mengangkat langsung seorang mantan hakim tinggi, atau orang yang tidak berprofesi hakim agung, sebagai Ketua MA?

UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA
Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pasal 8 menerangkan bahwa “Ketua dan Wakil Ketua MA diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat”, dan “untuk mengisi lowongan jabatan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota MA, diusulkan (DPR--Pen.) masing-masing dua orang calon”. Dari aturan ini, jelas bahwa calon Ketua MA haruslah dua orang Hakim Agung yang diusulkan oleh DPR, bukan oleh Presiden.
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Agung, ditegaskan oleh Pasal 7 Undang-undang ini, yaitu: (1) berijazah sarjana hukum atau sarjana lain dan mempunyai keahlian di bidang hukum; (2) berumur serendah-rendahnya 50 (lima puluh) tahun; (3) berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Tingkat Banding; (4) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Namun pada Pasal 7 ayat 2 membuka kemungkinan mengangkat Hakim Agung tidak melalui jalur karier, dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum. Hal ini memungkinkan orang-orang di luar profesi hakim, seperti advokat, pejabat Lembaga Negara maupun aktivis LSM serta akademisi yang bergerak dan memiliki pengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun, untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung melalui jalur non karier.

Bukan Hak Presiden
Dengan demikian jelas bahwa atas dasar UU Nomor 14/1985, bukan hak Presiden untuk mengusulkan pencalonan ketua MA. DPR lah yang seharusnya mengajukan usulan pencalonan itu. ini harus ditegaskan agar prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan oleh UU tidak dilanggar begitu saja oleh siapapun penguasa di negeri ini, sehingga kesalahan-kesalahan masa lampau dapat dihindari.
Disamping itu, penegasan ini penting untuk mengingatkan kembali rezim ini atas komitmennya pada Rule of Law. Dan prinsip taat asas pada UU dan hukum yang berlaku merupakan syarat utama untuk merealisasikan Rule of Law di Indonesia ini.
Penegasan ini tidak berarti meragukan integritas dan kapabilitas Benyamin Mangkudilaga sebagai orang yang dicalonkan untuk jabatan Ketua MA. Aspirasi masyarakat pun dapat dipastikan akan mendukung pencalonannya itu terutama karena track record Benyamin yang bersih dan mempunyai komitmen untuk menegakan hukum dan keadilan.
Karena itu kalaupun pengusulan Benyamin Mangkudilaga sebagai Ketua MA tidak dapat dibatalkan, yang perlu dilakukan adalah memproses ulang pengusulan tersebut melalui prosedur yang berlaku. Pertama, harus diangkat terlebih dahulu sebagai Hakim Agung yang dilakukan dengan dua kemungkinan: melalui jalur karir, atau jalur non karir. Dalam hal ini apabila Benyamin Mangkudilaga tidak memenuhi syarat pada jalur karier, dapat saja diperhitungkan pengabdiannya di bidang hukum sejak menjadi hakim sampai aktif di Komite Nasional Hak Asasi Manusia.
Kedua, bila Benyamin Mangkudilaga ternyata memenuhi persyaratan untuk menjadi Hakim Agung, DPR harus mengusulkannya kepada Presiden, yang disertai dengan satu orang calon lainnya, untuk diangkat sebagai Ketua MA yang akan ditinggalkan Sarwata. Yang menjadi masalah bahwa calon lain ini, yang diamanatkan oleh undang-undang, seolah-olah hanya formalitas belaka. Karena, hampir dapat dipastikan Presiden akan mengangkat Benyamin Mangkudilaga.

DPR Harus Proaktif
Kasus ini memberi pesan bahwa DPR harus proaktif. UU No. 14/1985 memberi DPR wewenang untuk mengusulkan calon-calon Hakim Agung maupun untuk pengisian lowongan jabatan pimpinan MA. Dalam pembaharuan suasana politik sekarang ini mestinya tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk tidak bersikap proaktif. Untuk kepentingan jangka pendek, terutama dalam menyikapi inisiatif Presiden Gus Dur ini, DPR perlu mengkoreksi Presiden. Ini adalah bagian dari peran DPR sebagai lembaga negara untuk mengontrol Presiden.
Untuk kepentingan jangka panjang, DPR perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, membentuk suatu panitia atau tim khusus yang bekerja secara terus menerus untuk memantau kinerja dan promosi Hakim-Hakim Agung di MA. Ini perlu dilakukan untuk mengetahui sedini mungkin siapa saja yang akan segera memasuki masa pensiun atau diberhentikan dari jabatannya untuk segera diusulkan penggantinya.
Kedua, panitia atau tim khusus ini harus aktif memantau dan menangkap aspirasi masyarakat mengenai siapa saja orang-orang yang dianggap memiliki integritas dan kapabilitas, baik dari jalur karir maupun non karir, untuk dapat diusulkan sebagai calon-calon Hakim Agung. Hal ini mutlak dilakukan saat ini agar Hakim-Hakim Agung yang baru dapat segera memperbaiki citra Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir masyarakat untuk menegakkan keadilan, yang selama ini dirasakan tidak pernah ada.
* Artikel ini ditulis pada tahun 1999, pada saat penulis bekerja sebagai staf peneliti di CSIS

Wednesday, October 05, 2005

Lisensi Software: Model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap”
by Ari Juliano Gema


Dalam perjanjian yang berkaitan dengan lisensi software dikenal istilah model perjanjian “shrink-wrap” (shrink-wrap agreement) dan “click-wrap” (click-wrap agreement). Model perjanjian “shrink-wrap” adalah seperangkat ketentuan dan persyaratan (terms & conditions) mengenai penggunaan suatu software, yang berada di dalam bungkus atau kotak pembungkus dari software tersebut, yang dianggap telah mengikat dan disetujui oleh pembeli pada saat pembeli membuka bungkus atau kotak pembungkus dari software tersebut. Biasanya pada bungkus atau kotak pembungkus software tersebut terdapat tulisan yang pada intinya menyebutkan bahwa “dengan membuka kotak/pembungkus software ini, anda akan terikat dengan ketentuan dan persyaratan penggunaan software ini”.


Model perjanjian “click-wrap” merupakan variasi dari model perjanjian “shrink-wrap”. Pada model perjanjian “click-wrap”, software sudah terpasang di komputer dan terms & conditions muncul terlebih dahulu di layar komputer untuk disetujui pengguna sebelum software tersebut dapat digunakan lebih lanjut. Bentuk persetujuan dari pengguna adalah dengan mengarahkan cursor untuk menekan tombol “Saya Setuju” yang biasanya terletak di bagian bawah tampilan seperangkat ketentuan dan persyaratan tersebut.


Keberlakuan Perjanjian di AS


Meskipun masih diperdebatkan mengenai keberlakuan dua model perjanjian tersebut, di Amerika Serikat, keberlakuan model perjanjian tersebut sudah dikuatkan oleh Pengadilan Amerika Serikat sejak tahun 1996. Hal ini berarti bahwa suatu perjanjian untuk mengikat para pihak tidak harus tertera dalam suatu dokumen kertas dan juga tidak harus ditandatangani dengan tinta secara manual, namun dapat dengan hanya menekan tombol “Saya Setuju” pada tampilan di layar komputer atau membuka kotak/bungkus dari suatu produk.


Kasus yang sering menjadi rujukan mengenai model perjanjian tersebut adalah The Gateway Case pada tahun 1997, di mana Gateway sebagai produsen komputer digugat oleh penggunanya ke pengadilan lantaran komputer Gateway yang digunakannya tidak dapat berfungsi dengan baik. Pada terms & conditions komputer Gateway yang terdapat di dalam kotak pembungkus komputer Gateway, disebutkan bahwa apabila ada perselisihan antara pengguna dan Gateway maka harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan kemudian memutuskan untuk menolak gugatan pengguna, dengan pertimbangan bahwa pengguna sudah membuka kotak pembungkus komputer Gateway dan sudah menggunakan komputer tersebut, sehingga pengguna dianggap sudah terikat dengan terms & conditions yang mengatur bahwa segala perselisihan diselesaikan melalui lembaga arbitrase.


Hukum Perjanjian di Indonesia


Pada dasarnya syarat sah suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) adalah sebagai berikut:


1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.


Sepanjang keempat syarat tersebut telah terpenuhi maka menurut pasal 1338 ayat (1) KUHPer disebutkan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.” Dengan penekanan pada kata ‘semua’, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa apa saja, termasuk model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap”, dan berisi apa saja, sepanjang isi perjanjian tidak melanggar kausa halal dan ketentuan undang-undang yang ada.


Selain itu, berdasarkan pasal 1338 ayat (3) KUHPer ditentukan bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Ketentuan ini menghendaki bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara jujur, yakni dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.


Kemudian, karena model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap” pada terms & conditions-nya dicantumkankan beberapa klausula yang tidak dapat dinegosiasi oleh pengguna, maka perlu diperhatikan pula ketentuan pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), khususnya mengenai ketentuan pencantuman klausula baku. Menurut UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.


Kemudian diatur juga bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. UU Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang mencantumkan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dinyatakan batal demi hukum, dan pelaku usaha dan/atau pengurusnya itu dapat dituntut pidana penjara atau pidana denda.


Apabila ada keluhan maupun gugatan terhadap software yang diimpor dari luar negeri, maka yang bertanggung jawab menggantikan pembuat software tersebut menurut UU Perlindungan Konsumen adalah importir software tersebut, apabila software tidak diimpor oleh agen atau perwakilannya di Indonesia.


Permasalahan


Melihat pada ketentuan-ketentuan di atas, maka ada beberapa permasalahan yang mungkin muncul pada model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap” ini, pertama, saat terjadinya kata ‘sepakat’ pada model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap”, mengingat sebenarnya terms & conditions baru berlaku pada saat kotak/bungkus software dibuka atau tombol “Saya Setuju” sudah ditekan, dan bukan pada saat jual beli lisensi software tersebut.


Pada model perjanjian “click-wrap” mungkin bisa diketahui kapan kata ‘sepakat’ itu terjadi, yaitu pada saat tombol “Saya Setuju” pada software yang telah terpasang di komputer sudah ditekan, tentu tanggalnya akan tercatat pada sistem operasi di komputer pengguna. Sedangkan pada model perjanjian “shrink-wrap” agak sulit diketahui kapan terjadi kata ‘sepakat’ dari pengguna, mengingat pada saat kotak/bungkus software dibuka belum tentu pengguna langsung memasangnya di komputer.


Kedua, mengenai keabsahan perjanjian dihubungkan dengan ketentuan UU Perlindungan Konsumen. Pada model perjanjian “click-wrap” mungkin terms & conditions dapat dibaca terlebih dahulu pada tampilan di layar komputer sebelum disetujui oleh pengguna, namun untuk model perjanjian “shrink-wrap”, apabila terms & conditions diletakkan didalam kotak/bungkus software sehingga sulit dilihat oleh pengguna sebelum dibuka, maka pada dasarnya terms & conditions tersebut dapat dianggap batal demi hukum karena letaknya sulit terlihat atau tidak dapat dapat dibaca secara jelas. Lain halnya apabila terms & conditions tersebut letaknya dipermukaan kotak atau pada bungkus software yang transparan sehingga meskipun pengguna belum membukanya, tapi dapat melihatnya dengan mudah dan jelas.


Ketiga, masalah pembuktian di pengadilan. Pada pembuktian dalam acara perdata, mungkin bisa saja terms & conditions pada model perjanjian “shrink-wrap” dijadikan sebagai bukti tulisan sebagaimana dimaksud pada pasal 1866 KUHPerd dan pasal 164 HIR, namun mungkin kekuatan pembuktiannya tidak sama dengan akta yang ditandatangani secara manual, baik akta di bawah tangan maupun akta yang dibuat dihadapan notaris. Apalagi pada model perjanjian “click-wrap”, terms & conditions-nya yang hanya ada pada tampilan di komputer atau berbentuk data elektronik, tentu akan mengundang perdebatan lebih lanjut.


Pada pembuktian dalam acara pidana, mungkin bisa saja terms & conditions pada model perjanjian “shrink-wrap” dijadikan sebagai alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud pada pasal 184 jo. pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni sebagai surat/dokumen yang ada, namun pada model perjanjian “click-wrap”, terms & contidition-nya yang hanya ada pada tampilan di komputer tentu akan menjadi perdebatan lebih lanjut. Mengenai data elektronik, perlu diperhatikan bahwa menurut HIR dan KUHAP, data elektronik merupakan informasi tambahan yang perlu diperkuat dengan keterangan ahli di pengadilan. Bahkan, HIR sama sekali tidak mengenal data elektronik


Keempat, mengenai status pengguna. Pada UU Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan konsumen adalah konsumen akhir, yaitu pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sehingga apabila pengguna membeli lisensi software sebagai bagian dari proses suatu produksi yang akan dilakukannya (konsumen antara), maka pada dasarnya ketentuan-ketentuan pada UU Perlindungan Konsumen tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan antara penyedia software dan penggunanya. Sehingga bagi pengguna yang berstatus konsumen antara, hanya berlaku ketentuan pada Buku Ketiga KUHPer tentang Perikatan, serta hal-hal lain yang menjadi kesepakatan antara penyedia software dan pengguna.


Penutup


Model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap” pada perjanjian lisensi software mungkin terlihat mudah dan ringkas dalam penerapannya, namun sebenarnya mengandung banyak implikasi hukum yang perlu diperhatikan, sebab menyangkut hak-hak konsumen yang harus dilindungi dari produk yang tidak berkualitas serta tindakan sepihak pelaku usaha yang hanya memikirkan keuntungannya sendiri.

Tuesday, October 04, 2005

Cybercrime: sebuah Fenomena di Dunia Maya
by Ari Juliano Gema
Sejalan dengan kemajuan teknologi informatika yang demikian pesat, melahirkan internet sebagai sebuah fenomena dalam kehidupan umat manusia. Internet, yang didefinisikan oleh The U.S. Supreme Court sebagai: "international network of interconnected computers" (Reno v. ACLU, 1997), telah menghadirkan kemudahan-kemudahan bagi setiap orang bukan saja sekedar untuk berkomunikasi tapi juga melakukan transaksi bisnis kapan saja dan di mana saja. Saat ini berbagai cara untuk dapat berinteraksi di "dunia maya" ini telah banyak dikembangkan. Salah satu contoh adalah lahirnya teknologi wireless application protocol (WAP) yang memungkinkan telepon genggam mengakses internet, membayar rekening bank, sampai dengan memesan tiket pesawat.
Beberapa waktu lalu, sebuah perusahaan penyedia jasa akses internet di Indonesia, berencana untuk mengembangkan televisi digital virtual studio untuk wilayah Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya (Bisnis Indonesia, 07/07/2000). Televisi digital yang rencananya akan menyajikan informasi terkini di bidang keuangan, bisnis, teknologi informasi dan pasar modal selama 24 jam ini menggunakan jaringan internet dan satelit sebagai media operasionalnya.
Pada perkembangannya, ternyata penggunaan internet tersebut membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti-sosial dan perilaku kejahatan yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi. Sebagaimana sebuah teori mengatakan: "crime is a product of society its self", yang secara sederhana dapat diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang melahirkan suatu kejahatan. Semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat, semakin canggih pula kejahatan yang mungkin terjadi dalam masyarakat itu.

Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini sering disebut sebagai cybercrime. Walaupun jenis kejahatan ini belum terlalu banyak diketahui secara umum, namun The Federal Bureau of Investigation (FBI) dalam laporannya mengatakan bahwa tindak kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai cybercrime telah meningkat empat kali lipat sejak tiga tahun belakangan ini (Indonesian Observer, 26/06/2000), di mana pada tahun 1998 saja telah tercatat lebih dari 480 kasus cybercrime terjadi di Amerika Serikat ( http://emergency.com/cybrcm98.htm). Hal ini membuat lebih dari 2/3 warga Amerika Serikat memiliki perhatian serius terhadap perkembangan cybercrime, sebagaimana hasil polling yang dilakukan EDI, suatu perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang TI (Indonesian Observer, 26/06/2000).
Apakah Cybercrime itu?
Dalam beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan sebagai computer crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai:"…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution". Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data". Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer (1989) mengartikan: "kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal".

Dari beberapa pengertian di atas, computer crime dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai komputer sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Secara ringkas computer crime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih (Wisnubroto, 1999).
Internet sebagai hasil rekayasa teknologi bukan hanya menggunakan kecanggihan teknologi komputer tapi juga melibatkan teknologi telekomunikasi di dalam pengoperasiannya. Apalagi pada saat internet sudah memasuki generasi kedua, perangkat komputer konvensional akan tergantikan oleh peralatan lain yang juga memiliki kemampuan mengakses internet. Untuk itu, ada upaya untuk memperluas pengertian computer agar dapat melingkupi segala kejahatan di internet dengan peralatan apapun, seperti pengertian computer dalam The Proposed West Virginia Computer Crimes Act, yaitu: "an electronic, magnetic, optical, electrochemical, or other high speed data processing device performing logical, arithmetic, or storage functions, and includes any data storage facility or communications facility directly related to or operating in conjunction with such device, but such term does not include an automated typewriter or type-setter, a portable hand-held calculator, or other similar device" (http://www.cybercrimes.net/). Namun begitu, tetap saja pada prakteknya pemahaman publik akan pengertian computer adalah perangkat komputer konvensional (PC, Notebook, Laptop) yang biasa terlihat.
Berdasarkan beberapa literatur serta prakteknya, cybercrime memiliki karakter yang khas dibandingkan kejahatan konvensional, yaitu antara lain:

1. Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi di ruang/wilayah maya (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi hukum negara mana yang berlaku terhadapnya;

2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang bisa terhubung dengan jaringan telekomunikasi dan/atau internet;

3. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materil maupun immateril (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional;

4. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya; dan

5. Perbuatan tersebut seringkali dilakukan secara transnasional/melintasi batas negara.

Beberapa Bentuk Cybercrime
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis utama komputer dan jaringan telekomunikasi ini dalam beberapa literatur dan prakteknya dikelompokan dalam beberapa bentuk, antara lain:
1. Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukan hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet/intranet.
Kita tentu tidak lupa ketika masalah Timor Timur sedang hangat-hangatnya dibicarakan di tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh hacker (Kompas, 11/08/1999). Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil menembus masuk ke dalam database berisi data para pengguna jasa America Online (AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang e-commerce, yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs Federal Bureau of Investigation (FBI) juga tidak luput dari serangan para hacker, yang mengakibatkan tidak berfungsinya situs ini dalam beberapa waktu lamanya (http://www.fbi.org.
2. Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya adalah pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah, dan sebagainya.
3. Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi "salah ketik" yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.
4. Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data-data pentingnya tersimpan dalam suatu sistem yang computerized.
5. Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase tersebut, tentunya dengan bayaran tertentu. Kejahatan ini sering disebut sebagai cyber-terrorism.
6. Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.
7. Infringements of Privacy
Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.
Perang Melawan Cybercrime
Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran penting dalam kejahatan tersebut.
Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya ( http://www.cybercrimes.net), yang menurut Prof. Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net) dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
1. Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut;

2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime;

4. Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi; dan

5. Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.

E-Sign Act: Keberlakuan dan Hambatannya

by Ari Juliano Gema


Pada tanggal 30 Juni 2000, Presiden Clinton telah menandatangani the Electronic Signatures in Global and National Commerce Act (E-Sign Act), yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 2000. Keberlakuan E-Sign Act ini sangat besar pengaruhnya bagi negara-negara lain, karena selain berlaku terhadap transaksi yang terjadi antar negara bagian di Amerika Serikat, juga berlaku untuk transaksi dengan negara lain (foreign trading). Bukan hal yang mustahil apabila Amerika Serikat menggunakan kekuatan ekonomi dan teknologi yang dimilikinya untuk “memaksakan” keberlakuan undang-undang tersebut.

E-Sign Act yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kegiatan e-commerce ini, menjamin kontrak-kontrak, dokumen-dokumen serta tanda tangan yang berbentuk elektronis memiliki status dan akibat hukum yang sama dengan kontrak-kontrak, dokumen-dokumen serta tanda tangan konvensional. Oleh sebab itu, E-Sign Act melarang penyangkalan maupun pembatalan terhadap keabsahan, pelaksanaan atau akibat hukum dari suatu kontrak atau dokumen lainnya hanya karena dibuat dalam format elektronis, serta digunakannya electronic signature dalam format tersebut.

Electronic signature dalam E-Sign Act didefinisikan sebagai: “an electronic sound, symbol, or process, attached to or logically associated with a contract or other record and executed or adopted by a person with the intent to sign the record.” Sedangkan electronic record didefinisikan sebagai: “a contract or other record created, generated, sent, communicated, received, or stored by electronic means.” Dari pengertian tersebut, terlihat bahwa electronic signature dapat mencakup berbagai jenis aplikasi teknologi, termasuk penggunaan password, smart cards, sound code serta biometrics (contoh: teknologi pengenalan sidik jari atau penginderaan retina mata).

Ruang Lingkup E-Sign Act

E-Sign Act berlaku terhadap transaksi perdagangan antar negara bagian di Amerika Serikat maupun transaksi perdagangan luar negeri, di mana E-Sign Act berlaku terhadap segala jenis transaksi yang berkaitan dengan kegiatan usaha, hubungan produsen-konsumen, atau hubungan dagang antara dua orang atau lebih.

Apabila suatu undang-undang maupun ketentuan hukum lainnya menentukan bahwa suatu tanda tangan atau dokumen harus dibuat dihadapan notaris atau dibuat di bawah sumpah, E-Sign Act memperbolehkan notaris atau pejabat yang berwenang melakukan tugasnya secara elektronis, sepanjang memenuhi ketentuan hukum yang berlaku. Untuk kepentingan tersebut, E-Sign Act menghilangkan segala persyaratan mengenai penggunaan materai, segel, stempel, cap, atau benda sejenis lainnya agar proses pengesahan suatu tanda tangan atau dokumen dapat dilakukan secara elektronis.

Keabsahan dan pelaksanaan suatu kontrak dalam format elektronis tetap tunduk pada hukum kontrak yang berlaku, sehingga apabila suatu kontrak ditentukan harus dibuat dalam bentuk tertulis, maka kontrak elektronis tersebut harus dapat disimpan atau dicetak dalam bentuk tertulis pada saat kontrak tersebut disepakati atau ditandatangani. Kontrak elektronis tersebut baru dapat dilaksanakan hanya apabila telah memenuhi keabsahan berdasarkan hukum kontrak yang berlaku.

Suatu electronic signature dianggap sah hanya apabila digunakan oleh orang yang berwenang untuk menggunakannya untuk menandatangani atau mengesahkan suatu kontrak. Jadi setiap orang atau badan usaha yang menerima penggunaan electronic signature memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tanda tangan tersebut memang benar-benar dibuat oleh pihak yang berwenang.

Apabila peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan bahwa suatu kontrak atau dokumen harus disimpan untuk suatu jangka waktu tertentu, maka hal ini berlaku juga untuk dokumen elektronis, dengan ketentuan bahwa dokumen elektronis yang disimpan tersebut (i) merefleksikan secara akurat keterangan yang terdapat dalam kontrak atau dokumen tersebut, dan (ii) dokumen elektronis tersebut tetap dapat diakses oleh setiap orang yang berwenang. Dokumen elektronis yang berkaitan dengan suatu transaksi juga harus memenuhi ketentuan hukum yang berlaku mengenai penyimpanan atau penyediaan dokumen tersebut dalam bentuk aslinya.

Hal-hal yang Dikecualikan

E-Sign Act tidak berlaku pada beberapa hal yang berkenaan dengan undang-undang maupun ketentuan hukum sebagaimana disebutkan di bawah ini, yaitu:

· Undang-undang ataupun ketentuan hukum lainnya yang mengatur mengenai pembuatan atau pelaksanaan surat wasiat serta ketentuan tambahannya
· Undang-undang ataupun ketentuan hukum lainnya yang mengatur mengenai adopsi, perceraian atau hal-hal yang berkenaan dengan hukum keluarga;
· The Uniform Comercial Code (Kitab Undang-undang Hukum Dagang Amerika Serikat), selain dari Bab 1-107, 1-206, serta Pasal 2 dan 2a;
· Putusan pengadilan atau dokumen-dokumen resmi pengadilan lainnya;
· Pemberitahuan mengenai pembatalan jasa pemanfaatan fasilitas, kesehatan atau asuransi jiwa; dan pemberitahuan yang berhubungan dengan kelalaian, pengembalian kepemilikan, penyitaan, serta pengusiran terhadap penghuni bangunan;
· Kontrak, persetujuan atau dokumen-dokumen yang melibatkan badan pemerintah/negara, jika badan tersebut tidak bertindak selaku pihak dalam suatu transaksi perdagangan antar negara bagian;
· Pemberitahuan mengenai penarikan kembali produk atau bahan-bahan yang cacat dari suatu produk, yang beresiko membahayakan kesehatan ataupun keamanan; dan
· Semua dokumen yang dibutuhkan untuk mengiringi setiap pengangkutan atau penanganan bahan-bahan berbahaya, pestisida, atau bahan-bahan beracun lainnya.

E-Sign Act juga menugaskan kepada Securities and Exchange Commision (Badan Pelaksana Pasar Modal Amerika Serikat) untuk membuat peraturan yang mengesampingkan ketentuan dalam E-Sign Act mengenai dokumen-dokumen yang diperlukan dalam rangka pengumuman, penerbitan literatur penjualan, ataupun informasi lainnya mengenai surat-surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahaan investasi terdaftar.

Suatu badan federal atau negara bagian di Amerika Serikat, dalam kondisi tertentu, dapat melepaskan diri dari beberapa kewajiban yang berkenaan dengan penyimpanan secara elektronis dari suatu dokumen. Sebagai contoh, suatu badan pembuat regulasi federal atau negara bagian dapat mewajibkan penyimpanan suatu dokumen dalam bentuk tercetak atau kertas jika: (1) ada kepentingan pemerintah yang mendesak berkaitan dengan penegakan hukum atau keamanan nasional untuk menentukan sejumlah persyaratan; dan (2) menentukan sejumlah persyaratan tersebut adalah penting untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Pemerintah Amerika Serikat juga dapat mengesampingkan persyaratan-persyaratan yang disetujui berkaitan dengan dokumen-dokumen yang diatur dalam E-Sign Act, jika pengesampingan tersebut penting untuk mengurangi beban yang substantif pada kegiatan e-commerce dan tidak akan meningkatkan resiko materil yang merugikan konsumen.

Perlakuan Khusus terhadap Konsumen

Dalam hubungan produsen-konsumen, agar penggunaan tanda tangan dan dokumen elektronis tidak merugikan kepentingan konsumen, E-Sign Act mengatur ketentuan khusus yang mengharuskan penyedia dokumen elektronis (provider) membuat atau menyediakan dokumen konvensional untuk konsumen. Dokumen elektronis yang disediakan tersebut harus dapat dibaca kembali, disimpan, dan dicetak oleh konsumen, dengan hardware dan software yang dipersyaratkan oleh provider.

E-Sign Act mengatur bahwa konsumen harus mengemukakan persetujuannya untuk menggunakan dokumen elektronis. Sebagai syarat persetujuannya tersebut, konsumen harus menyetujui atau menegaskan persetujuannya secara elektronis dengan perbuatan yang selayaknya menunjukkan bahwa konsumen dapat mengakses dokumen dalam bentuk elektronis yang digunakan oleh provider.

Pelaku usaha diharuskan mengikuti prosedur operasi yang telah ditentukan, sebelum mulai menyediakan dokumen dalam bentuk elektronis untuk konsumen. Prosedur tersebut harus memberikan informasi yang tegas dan jelas mengenai hal-hal sebagai berikut:

· Pernyataan yang berkenaan dengan hak konsumen untuk mendapatkan dokumen dalam bentuk kertas ataupun bentuk non-elektronis lainnya;
· Pernyataan yang berkenaan dengan hak konsumen untuk menarik persetujuannya terhadap penggunaan dokumen elektronis dan setiap kondisi serta konsekuensi yang mungkin terjadi sebagai akibat penarikan persetujuan tersebut;
· Pernyataan yang menginformasikan konsumen dimana persetujuan berlaku (a) hanya untuk transaksi tertentu yang menimbulkan kewajiban untuk menyediakan dokumen elektronis, atau (b) untuk memperkenalkan kategori-kategori dari dokumen elektronis yang dapat disediakan sebagai bagian dari hubungan para pihak;
· Deskripsi mengenai prosedur yang harus diikuti oleh konsumen dalam rangka (a) persetujuan penarikan, atau (b) pembaharuan informasi yang dibutuhkan untuk menghubungi konsumen secara elektronis;
· Pernyataan yang menginformasikan bahwa konsumen, atas permintaannya, dapat memperoleh salinan kertas dari dokumen elektronis, dengan biaya yang dibebankan kepada konsumen atas salinan tersebut; dan
· Pernyataan yang menjelaskan spesifikasi dari hardware dan software yang harus digunakan konsumen untuk mengakses dan menyimpan dokumen elektronis tersebut.

Apabila provider mengubah persyaratan hardware dan software yang digunakan konsumen untuk berkomunikasi secara elektronis dengan provider dan hal ini menimbulkan resiko konsumen tidak dapat lagi mengakses dokumen yang disediakan provider secara elektronis, maka provider harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

· Memberikan penjelasan yang mendetail kepada konsumen mengenai perubahan hardware dan software yang harus digunakan;
· Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menarik persetujuannya dari penggunaan dokumen elektronis tanpa dibebani biaya dan persyaratan apapun, jika belum dijelaskan sejak awal mengenai hal ini;
· Mendapatkan persetujuan, atau penegasan persetujuan, dari konsumen, baik secara elektronis, maupun dengan perbuatan yang selayaknya menunjukkan bahwa konsumen bisa mengakses informasi dalam bentuk elektronis;

Ketidakmampuan provider dalam memenuhi prosedur di atas dapat diperlakukan sebagai penarikan persetujuan atas pilihan konsumen.

Hambatan yang Mungkin Timbul

Karena E-Sign Act berlaku untuk transaksi dalam dan luar negeri, maka E-Sign Act menugaskan Menteri Perdagangan Amerika Serikat untuk mempromosikan pemberlakuan E-Sign Act agar mendapat dukungan di tingkat nasional maupun internasional. Menteri Perdagangan juga ditugaskan untuk mengadakan penyelidikan secara berkala mengenai hambatan serta pengaruh pemberlakuan E-Sign Act di dalam maupun di luar negeri.

Mengkaji ketentuan-ketentuan dalam E-Sign Act dan praktek transaksi bisnis yang berlaku pada umumnya, penulis berpendapat ada beberapa hambatan yang mungkin timbul berkenaan dengan pemberlakuan E-Sign Act tersebut, yaitu:

· Hambatan Teknologi

Penggunaan electronic signature dan electronic document sangat tergantung pada kemampuan setiap negara dalam mengadopsi teknologi yang digunakan untuk penerapan E-Sign Act. Apabila suatu perusahaan Amerika Serikat akan mengadakan transaksi elektronis dengan perusahaan negara lain, tentunya kedua belah pihak akan menyepakati dulu format electronic signature dan electronic document seperti apa yang akan mereka gunakan dalam transaksi tersebut. Bisa jadi perusahaan Amerika Serikat tersebut mengajukan suatu format electronic signature dan electronic document yang biasa mereka gunakan dan terbukti aman, namun ternyata perusahaan negara lain tersebut belum sanggup mengadopsi teknologi yang digunakan untuk format tersebut.

Selain itu, penerapan teknologi juga tergantung pada nilai dari transaksi tersebut, sehingga semakin besar nilai suatu transaksi, semakin besar pula kebutuhan untuk mengaplikasikan prosedur dan teknologi canggih yang dapat menjamin keamanan transaksi tersebut (contoh: digital certificate yang menggunakan public key encryption sebagai bentuk lebih canggih dari sekedar password). Hal ini akan menyulitkan negara yang belum mampu mengadopsi teknologi dan prosedur yang menjamin keamanan transaksi elektronis untuk mendapatkan keuntungan yang signifikan dari transaksi tersebut.

Luasnya cakupan aplikasi teknologi yang dapat digunakan sebagai electronic signature juga dapat menimbulkan masalah. Tanpa standar aplikasi teknologi yang menjamin kemudahan bertransaksi, transaksi elektronis tidak akan menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi para pihak. Demikian pula, tanpa standar aplikasi teknologi yang menjamin keamanan bertransaksi, transaksi elektronis akan berlangsung di luar kendali para pihak yang berwenang melakukan transaksi.

· Hambatan Hukum

Belum semua negara di dunia yang memiliki undang-undang atau ketentuan hukum yang mengatur mengenai transaksi elektronis. Meskipun the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) telah mengeluarkan Model Law on Electronic Commerce sejak tahun 1996, namun baru sedikit negara di dunia yang telah mengadopsinya. Amerika Serikat baru mengundangkan Uniform Electronic Transaction Act (UETA), yang mengkodifikasi undang-undang negara-negara bagiannya mengenai hal tersebut, pada tanggal 9 November 1999, yang kemudian disusul dengan diundangkannya E-Sign Act sebagai salah satu tindak lanjut pemberlakuan UETA.

Ada beberapa hal yang akan menjadi “batu sandungan” bagi pemberlakuan E-Sign Act apabila melibatkan pihak dari negara lain yang mampu secara teknologi namun ternyata belum memiliki undang-undang atau peraturan mengenai transaksi elektronis, yaitu antara lain, adanya kontrak atau dokumen-dokumen tertentu yang masih membutuhkan notaris atau pejabat yang berwenang untuk pengesahannya, masalah hukum negara mana yang akan dipakai apabila terjadi sengketa, masalah keabsahan electronic signature dan electronic document untuk pembuktian di pengadilan, belum adanya standar baku untuk penggunaan electronic signature dan electronic document yang aman dan terpercaya, dan sebagainya.

· Hambatan Kultural

Belum semua orang di dunia ini yang terbiasa bertransaksi secara on-line. Penelitian menunjukkan lebih dari 50 % warga Amerika Serikat belum pernah bertransaksi melalui internet, dan lebih dari 2/3 warga Amerika Serikat meragukan keamanan bertransaksi melalui internet, sebagaimana hasil polling yang dilakukan EDI, suatu perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang TI (Indonesian Observer, 26/06/2000).

Bagi sebagian orang, melakukan transaksi jual-beli ataupun transaksi lainnya bukan sekedar suatu mekanisme memindahkan kepemilikan suatu benda/barang dari satu pihak kepada pihak lainnya, namun juga memiliki segi-segi kemanusiaan, seperti menjalin silaturahmi, refreshing atau sebagai bagian dari strategi humas. Hal ini berbeda dengan sifat transaksi elektronis, yang meskipun menawarkan cara cepat dengan biaya ringan dalam bertransaksi namun sangat individualistik.

Indonesia Harus Bersikap

Meskipun beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura dan Australia, telah memiliki undang-undang mengenai transaksi elektronis di negara mereka, namun Pemerintah RI sampai saat ini belum mengambil sikap tegas apakah transaksi elektronis perlu diatur dalam suatu undang-undang khusus atau tidak? Apakah electronic signature dan electronic document memiliki keabsahan dan keberlakuan yang sama dengan tanda tangan dan dokumen konvensional? Apakah semua transaksi dapat dilakukan secara on-line? Apakah electronic signature dan electronic document dapat dijadikan bukti di pengadilan? Apakah perlu dibuat standar aplikasi teknologi dan prosedur untuk menjamin keamanan bertransaksi secara on-line? Apakah regulasi mengenai transaksi elektronis akan diberikan kepada para pelaku usaha untuk mengaturnya sendiri?

Transaksi elektronis mungkin akan mengurangi beban waktu dan biaya, namun bukan berarti mengurangi resiko keamanan dan kerugian yang sangat besar apabila tidak ada kepastian hukum yang mengatur mengenai transaksi secara on-line tersebut. Oleh sebab itu Pemerintah RI harus mengambil sikap tegas sebelum Indonesia kembali menjadi obyek penderita dalam fora perdagangan internasional.

Kerahasiaan Informasi di Internet
by Ari Juliano Gema

Beberapa waktu lalu di Amerika Serikat terjadi polemik mengenai pengawasan terhadap kegiatan di internet. Polemik ini bermula dari dipublikasikannya suatu sistem penyadap e-mail milik Federal Bureau of Investigation (FBI) yang dinamakan “Carnivore” (http://www.fbi.org)/. Sistem ini dipasang pada server milik sebuah Internet Service Provider (ISP), untuk kemudian memonitor e-mail yang melalui server tersebut sehingga dapat diketahui apabila ada pesan-pesan yang berhubungan dengan suatu rencana kejahatan dari seseorang yang dicurigai. Sebagai upaya melegitimasi hal tersebut, Gedung Putih meminta kepada Kongres untuk merevisi ketentuan mengenai on-line privacy, agar prosedur bagi pemerintah untuk menyadap informasi melalui suatu sistem komunikasi, termasuk e-mail dan web browsing, dipermudah (http://www.zdtv.com)/.
Melangkah lebih jauh dari Amerika Serikat, baru-baru ini Pemerintah Inggris telah mengeluarkan suatu peraturan yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memonitor dan membaca pesan-pesan e-mail maupun informasi melalui sistem komunikasi lainnya yang dilakukan antar perusahaan, antar organisasi, maupun antar individu (http://www.nytimes.com)/. Peraturan tersebut, yang dikenal dengan nama Regulation of Investigatory Powers Bill, merupakan perluasan dari peraturan yang ada pada tahun 1985, yang memberikan kewenangan pemerintah untuk memonitor komunikasi yang dilakukan melalui saluran telepon, termasuk e-mail, web sites, pager dan telepon selular.
Kebijakan dari dua pemerintahan tersebut mendapat tentangan keras dari para pembela hak-hak sipil seperti The American Civil Liberties Union (ACLU) dan Amnesty International (AI). Menurut AI peraturan tersebut bertentangan dengan Konvensi HAM Eropa serta Konvensi HAM Internasional lainnya, mengenai hak atas kerahasiaan pribadi serta hak atas kebebasan berekspresi. Sebagai organisasi yang memperjuangkan HAM, AI bekerja berdasarkan kepercayaan atas kerahasiaan informasi yang diberikan oleh pihak yang mungkin menjadi korban pelanggaran HAM oleh salah satu negara di atas, sehingga dengan diberlakukannya peraturan tersebut AI tidak dapat lagi menjamin kerahasiaan informasi pihak-pihak yang berhubungan dengannya.
Kepentingan Negara Lain
Internet adalah sebuah dunia maya yang melintasi batas negara, sehingga peraturan negara manapun yang mengatur mengenai lalu lintas informasi di internet akan berdampak secara luas, bukan hanya pada negara tersebut tapi juga banyak negara di dunia yang telah terkoneksi dengan internet. Apabila peraturan yang memberi kewenangan pada Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris tersebut benar-benar diterapkan, maka kepentingan negara-negara lain atas kerahasiaan informasi, termasuk Indonesia, akan turut terpengaruh. Di satu sisi tindakan preventif yang dilakukan berdasarkan peraturan tersebut mungkin efektif untuk mencegah cybercrime, namun di sisi lain siapa yang bisa menjamin bahwa kewenangan tersebut tidak disalahgunakan untuk mengumpulkan informasi rahasia milik negara lain melalui jaringan internet.
Regulasi di Indonesia
Menurut PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, internet dimasukan ke dalam jenis jasa multimedia, yang didefinisikan sebagai penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaturan mengenai internet termasuk di dalam rejim hukum telekomunikasi.
Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang baru mulai berlaku tanggal 8 September 2000, mengatur beberapa hal yang berkenaan dengan kerahasiaan informasi, antara lain Pasal 22 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi (a) akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau (b) akses ke jasa telekomunikasi; dan atau (c) akses ke jaringan telekomunikasi khusus. Bagi pelanggar ketentuan tersebut diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 600 juta. Kemudian Pasal 40 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut diancam pidana penjara maksimal 15 tahun penjara.
UU Telekomunikasi juga mengatur kewajiban penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya (Pasal 42 ayat 1). Bagi penyelenggara yang melanggar kewajiban tersebut diancam pidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 200 juta. Namun begitu, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merekam informasi tersebut, serta dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk keperluan proses peradilan pidana atas permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian RI untuk tindak pidana tertentu, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 tahun ke atas, seumur hidup atau mati. Permintaan dapat juga diajukan oleh penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, seperti misalnya tindak pidana yang sesuai dengan UU Psikotropika, UU Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur secara khusus mengenai kerahasiaan informasi. Pada Pasal 32 UU HAM menyatakan bahwa kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronika tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masalah Penegakan Hukum
Melihat secara cermat ketentuan-ketentuan dalam UU Telekomunikasi tersebut, ada beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan, pertama, mengapa untuk kepentingan proses peradilan pidana, suatu informasi di jaringan telekomunikasi dapat direkam atau diperiksa hanya atas permintaan tertulis dari Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI atau penyidik yang diamanatkan suatu undang-undang tertentu? Padahal menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 47 ayat 1 ditegaskan bahwa untuk membuka, memeriksa dan menyita surat yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, seorang penyidik harus mendapat izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri, jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. Ketimpangan yang terlihat di atas jelas harus mendapat perhatian serius, sebab bagaimanapun juga Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI, termasuk dalam hal ini penyidik yang berstatus pegawai negeri, adalah “bagian” dari eksekutif/pemerintah. Tidak menutup kemungkinan kewenangan dari UU Telekomunikasi tersebut dapat dengan mudah disalahgunakan pemerintah untuk “memata-matai” lawan-lawan politiknya.
Kedua, apakah rekaman informasi dari internet dapat dikategorikan sebagai alat bukti di pengadilan? Internet sebagai suatu media elektronik multirupa dapat berisi tulisan, gambar dan suara dalam satu tampilan sekaligus, sedangkan alat bukti yang sah menurut KUHAP adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Hal ini perlu mendapat perhatian, jangan sampai tindakan yang melanggar privacy tersebut tidak berarti apa-apa pada saat dibawa ke pengadilan.
Ketiga, bagaimana jika pelanggaran kerahasiaan informasi milik orang Indonesia dilakukan dari luar wilayah Indonesia? Di internet, sebagai suatu jaringan lintas batas negara, sangat terbuka peluang terjadinya hal tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur keberlakuan ketentuan hukum pidana Indonesia terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga asing di luar wilayah Indonesia. Sayangnya pengaturan tersebut sangat terbatas, sebagaimana diatur pada Pasal 4 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, yang di luar wilayah Indonesia telah melakukan: (1) kejahatan terhadap keamanan negara RI, seperti misalnya pemberontakan, makar, usaha membunuh Kepala Negara, menghina ataupun menyerang secara fisik Kepala Negara; (2) pemalsuan mata uang Indonesia, atau pemalsuan segel atau merk yang dikeluarkan pemerintah Indonesia; dan (3) pemalsuan surat-surat utang atas beban Indonesia atau daerahnya. Pasal 8 KUHP memperluas ketentuan tersebut sampai mengenai kejahatan pelayaran, yang termuat dalam titel XXIX Buku II KUHP, dan pelanggaran pelayaran, yang termuat dalam titel IX Buku III KUHP. UU Telekomunikasi sendiri tidak mengatur secara khusus mengenai pelanggaran kerahasiaan informasi yang dilakukan dari luar wilayah Indonesia.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi pun tidak memasukkan tindak pidana di bidang telekomunikasi, khususnya pelanggaran terhadap kerahasian informasi, sebagai salah satu kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan. Begitu pula dalam beberapa perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara lain, tindak pidana tersebut juga tidak dimasukkan dalam daftar kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan. Padahal bocornya suatu informasi yang dirahasiakan bukan mustahil akan menimbulkan kerugian besar, baik dari segi moril maupun materil.Keempat, apakah aparat kepolisian dan penyidik yang dimaksud oleh UU memiliki keahlian dan sarana yang memadai untuk menangani pelanggaran kerahasiaan informasi di internet? Kepolisian RI memang telah memiliki suatu seksi khusus untuk menangani kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan komputer, yaitu Forensik Komputer (http://www.polri.mil.id/), namun apakah seksi khusus tersebut juga dipersiapkan untuk menangani kejahatan di internet (cybercrime), mengingat persoalan yang dihadapi tidak sesederhana penanganan kejahatan komputer biasa.
Penutup
Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sebagai salah satu bentuk hak asasi manusia. Tindakan pencegahan maupun penyidikan suatu kejahatan dengan menyadap informasi di internet harus dilakukan sesuai koridor hukum yang berlaku, dengan tetap memperhatikan rasa keadilan masyarakat, sehingga informasi yang didapat tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.Kepolisian RI juga harus proaktif untuk mengadakan kerjasama dengan negara lain dalam meningkatkan pengetahuan dan keahlian anggotanya dalam menangani kejahatan di internet. Apabila belum ada regulasi global, maka yang harus dilakukan dalam menangani kejahatan di internet adalah kerjasama internasional melalui perjanjian ekstradisi maupun mutual legal assistance yang menempatkan tindak pidana di bidang telekomunikasi, khususnya internet, sebagai prioritas utama.


... disini kuberdiskusi dengan alam yang lirih (Situ Gunung, 2005) Posted by Picasa


Rajawali

Sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah seekor rajawali
menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit.
Dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti


Eagle flies alone, so high ... and sky is the limit!