Monday, February 25, 2008

Tindak Pidana Hak Cipta: Lebih Baik Delik Biasa atau Delik Aduan?

oleh Ari Juliano Gema

Baru-baru ini saya mendengar kabar bahwa akan dilakukan perubahan terhadap beberapa undang-undang di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Hal ini membawa ingatan saya kembali hampir setahun yang lalu saat saya diundang oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai peserta aktif dalam lokakarya yang membahas tentang usulan perubahan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC). Dalam lokakarya itu dibahas perubahan ketentuan dalam UUHC yang diusulkan oleh YLKI dalam rangka meningkatkan keleluasaan untuk melakukan akses terhadap ilmu pengetahuan (access to knowledge) sebagai bagian dari hak konsumen.

Beberapa isu yang dibahas dalam lokakarya yang dihadiri oleh unsur pemerintah, akademisi dan pelaku usaha tersebut antara lain masalah pembatasan hak cipta, first sale doctrine, kepentingan yang wajar, lisensi wajib, hak cipta dalam potret, dan sarana kontrol teknologi. Dalam lokakarya itu, saya terlibat perdebatan seru mengenai apakah perlu mempertahankan tindak pidana hak cipta sebagai delik biasa atau merubahnya menjadi delik aduan.

Tindak Pidana Hak Cipta

Menurut UUHC, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian “mengumumkan atau memperbanyak” adalah termasuk kegiatan menterjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.

Dengan begitu, setiap perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana hak cipta. Saat ini, UUHC mengatur bahwa tindak pidana hak cipta adalah delik biasa. Hal ini sebenarnya sesuai dengan sifat utama dari hukum pidana, yaitu bahwa pelaksanaannya tidak digantungkan pada persetujuan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan oleh suatu tindak pidana, melainkan diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk menentukan apakah dan sampai dimanakah hukum pidana akan dilaksanakan, dengan mempergunakan kepentingan publik sebagai ukuran (Prodjodikoro, 1981). Delik biasa berbeda dengan delik aduan yang pelaksanaan hukum pidananya bergantung pada pengaduan dari pihak yang dirugikan oleh suatu tindak pidana.

Lebih Baik Delik Aduan

Menurut saya, dalam prakteknya tindak pidana hak cipta tidak tepat dimasukkan dalam kategori delik biasa. Oleh karena itu, tindak pidana hak cipta harus diubah dari delik biasa menjadi delik aduan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa saya berpendapat demikian, yaitu, pertama, aparat penegak hukum tidak akan bisa menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta tanpa membandingkan barang hasil pelanggaran hak cipta dengan ciptaan aslinya. Hanya pencipta atau pemegang hak ciptanya-lah yang memegang dan mengetahui dengan pasti ciptaan yang asli tersebut. Oleh karena itu, seharusnya tidak mungkin aparat penegak hukum dapat bergerak sendiri tanpa adanya pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang merasa dirugikan atas tindak pidana tersebut.

Kedua, dalam melakukan proses hukum, aparat penegak hukum tidak mungkin langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan. Oleh karena itu, pasti ada pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang mengetahui dengan pasti bahwa suatu pihak telah melanggar hak ciptanya karena tidak memiliki izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.

Ketiga, dalam praktek yang saya alami, apabila terjadi pelanggaran hak cipta, pihak yang hak ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari pihak yang melanggar hak cipta ketimbang pelanggar hak cipta tersebut dikenakan sanksi pidana penjara atau denda. Oleh karena itu, penyelesaiannya diupayakan secara damai di luar pengadilan. Namun, karena tindak pidana hak cipta adalah delik biasa, seringkali aparat penegak hukum yang mengetahui adanya pelanggaran hak cipta terus melanjutkan proses hukum pidana meski sudah ada kesepakatan damai antara pihak yang dilanggar hak ciptanya dengan pihak yang melanggar hak cipta. Hal ini tentu saja akan menyulitkan posisi para pihak yang telah berdamai tersebut.

Indonesia telah memiliki beberapa undang-undang di bidang HKI, yaitu tentang paten, merek, hak cipta, desain industri, rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu. Kecuali undang-undang tentang hak cipta, undang-undang di bidang HKI lainnya menentukan bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya merupakan delik aduan. Sangat aneh ketika tindak pidana hak cipta diatur berbeda dengan tindak pidana di bidang HKI lainnya. Dengan demikian, seharusnya tindak pidana hak cipta diatur sama dengan tindak pidana di bidang HKI, yaitu merupakan delik aduan.
Bagaimana menurut anda?

Labels: , ,

Friday, February 08, 2008

Apa Salah Melaporkan Dugaan Korupsi?

oleh Ari Juliano Gema

Beberapa hari yang lalu saya membaca berita di sebuah harian nasional yang memberitakan pengaduan lima hakim agung ke Polda Metro Jaya. Mereka mengadukan seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang telah menuduh mereka menerima uang suap senilai Rp 23,45 miliar ketika mereka menangani kasus sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Maluku Utara.

Menurut para hakim agung itu, tuduhan itu bermula dari laporan sebuah LSM ke Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Dalam laporan itu disebutkan bahwa lima hakim agung yang menangani perkara Pilkada Maluku Utara diduga menerima uang dari pihak tertentu. Atas dasar laporan itulah kemudian lima hakim agung itu melaporkan seorang aktivis pada LSM tersebut yang diduga membuat laporan ke KPK. Lima hakim agung itu melaporkan aktivis tersebut dengan dugaan pencemaran nama baik, melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan memfitnah mereka.

Peran Serta Masyarakat

”Memangnya salah melaporkan dugaan korupsi?” Tanya seorang kawan kepada saya berkaitan dengan berita di atas. ”Tergantung,” jawab saya. Koq tergantung?

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Anti Korupsi) telah diatur mengenai peran serta masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Wujud dari peran serta masyarakat yang diatur dalam UU Anti Korupsi tersebut adalah:

(a) hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
(b) hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
(c) hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
(d) hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari; dan
(e) hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: ( i) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), (b) dan (c) di atas; atau (ii) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam UU Anti Korupsi ditegaskan bahwa hak-hak di atas harus dilakukan secara bertanggung jawab sesuai dengan asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat tersebut kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PP No. 71/2000).

Menurut PP No. 71/2000, informasi, saran atau pendapat dari masyarakat mengenai adanya dugaan korupsi harus disampaikan kepada penegak hukum secara tertulis dan disertai: (a) data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan organisasi masyarakat, atau pimpinan LSM dengan melampirkan foto kopi KTP atau identitas diri lain; dan (b) keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan. Setiap informasi, saran atau pendapat tersebut harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum.

Dalam PP No. 71/2000 ditegaskan pula bahwa masyarakat yang melaporkan dugaan korupsi tersebut berhak memperoleh perlindungan hukum, baik mengenai status hukum maupun rasa aman. Perlindungan mengenai status hukum tidak diberikan apabila dari hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat cukup bukti yang memperlihatkan keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan. Perlindungan hukum juga tidak diberikan apabila terhadap pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain.

Tergantung Caranya

Kalau kita melihat informasi di atas, sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan korupsi kepada penegak hukum. Namun, cara-cara yang dipergunakan seharusnya tetap memperhatikan ketentuan dalam UU Anti Korupsi dan PP No. 71/2000 tersebut.

Sebagai contoh, seringkali seseorang melaporkan adanya dugaan korupsi kepada penegak hukum dengan disertai publikasi kepada pers ataupun khalayak umum sebelum penegak hukum melakukan gelar perkara. Menurut saya, hal itu bukanlah tindakan yang bijaksana. Setidak-tidaknya ada dua alasan mengapa saya berpendapat demikian, pertama, merupakan tugas penegak hukum untuk melakukan gelar perkara atau publikasi kepada khalayak umum berkenaan dengan adanya dugaan korupsi yang dilaporkan tersebut. Penegak hukum tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu sebelum melakukan gelar perkara tersebut. Apabila si pelapor melakukan publikasi kepada khalayak umum, mungkin saja hal itu akan mengganggu proses penyelidikan atau penyidikan atas dugaan korupsi tersebut. Pihak-pihak yang dilaporkan mungkin akan segera menghilangkan bukti-bukti yang relevan atau segera melarikan diri ke luar negeri sebelum penegak hukum sempat melakukan tindakan pencegahan.

Kedua, tindakan pelapor yang melakukan publikasi kepada pers atau khalayak umum atas adanya dugaan korupsi tersebut dapat mendorong terjadinya trial by press terhadap pihak-pihak yang dilaporkan. Bagaimanapun juga asas praduga tak bersalah seharusnya tetap dihormati. Mungkin tidak masalah kalau dugaan korupsi tersebut terbukti benar di pengadilan. Bagaimana kalau ternyata dugaan korupsi tersebut tidak terbukti namun sudah terbentuk opini publik bahwa pihak-pihak yang dilaporkan tersebut dianggap telah melakukan korupsi.

Saya dapat memahami tindakan lima hakim agung tersebut apabila ternyata aktivis LSM tersebut memang telah melakukan publikasi kepada khalayak umum berkenaan dengan dugaan suap terhadap lima hakim agung tersebut. Aktivis LSM tersebut juga tidak perlu gentar dengan adanya laporan kepada polisi tersebut kalau memang dia memiliki bukti-bukti kuat mengenai dugaan suap terhadap lima hakim agung tersebut. Intinya, kalau kita ingin menegakkan hukum maka cara-cara yang digunakan seharusnya juga sesuai dengan asas-asas dan ketentuan hukum yang berlaku.