Tuesday, June 07, 2011

Peti Mati, Perbuatan Tidak Menyenangkan dan Perlindungan Konsumen

oleh Ari Juliano Gema

Ada yang tidak tahu tentang kisah “peti mati” yang menghebohkan itu? Pada tanggal 6 Juni 2011 pagi, Jakarta dikejutkan dengan kabar adanya sejumlah peti mati ukuran untuk anak-anak yang dikirimkan, antara lain, kepada para pemimpin redaksi dari berbagai media, pimpinan dan karyawan perusahaan periklanan, pimpinan perusahaan consumer good dan tokoh-tokoh publik. Keseluruhan peti mati itu diperkirakan berjumlah 100 buah.

Awalnya, masyarakat menyangka hal itu adalah upaya teror kepada sejumlah media dan tokoh masyarakat. Namun, ternyata belakangan diketahui bahwa pengiriman sejumlah peti mati itu adalah dalam rangka promosi peluncuran buku dan juga peluncuran sebuah perusahaan marketing.

Perbuatan Tidak Menyenangkan

Saya tidak kenal siapa yang punya ide mengirimkan sejumlah peti mati tersebut, namun saya bisa membayangkan kehebohan yang terjadi saat orang-orang menerima peti mati tersebut. Sudah merupakan pengetahuan umum kalau peti mati itu melambangkan kematian, sehingga jika seseorang menerima peti mati dari orang yang tidak dikenal tanpa ada alasan yang jelas tentu orang yang menerima itu akan berasumsi bahwa ada yang mengancam keselamatan jiwanya/keluarganya atau ada yang mengharapkannya cepat meninggal. Apalagi saat ini masih dalam suasana teror bom dan maraknya berita penculikan anak-anak.

Pemimpin redaksi tentu mengira hal itu sebagai sebuah ancaman terhadap kerja jurnalistiknya. Mungkin saja ada pihak yang tidak suka dengan pemberitaan di suatu media massa, sehingga merasa perlu memberi peringatan lewat pengiriman peti mati tersebut agar media massa tersebut tidak lagi melanjutkan pemberitaannya tersebut.

Ibu bekerja yang menerima peti mati tersebut di kantornya tentu khawatir bahwa hal tersebut adalah ancaman terkait dengan anak-anaknya. Mungkin saja peti mati itu adalah ancaman untuk menyerahkan uang tebusan guna menebus anaknya yang telah diculik.

Adanya keadaan yang tidak menyenangkan dan dugaan adanya paksaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itulah yang membuat pengirim peti mati itu diproses oleh kepolisian dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan. Adapun ketentuan hukum yang menjadi dasarnya adalah Pasal 335 ayat (1) KUHP, yaitu barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain, dapat diancam saksi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Perlindungan Konsumen

Meski telah diketahui bahwa motif sesungguhnya dari pengiriman peti mati tersebut adalah untuk mempromosikan peluncuran buku dan perusahaan marketing, bukan berarti pengirimnya tidak terkena jerat hukum lagi. Meski tidak ada unsur paksaan, namun jika ternyata promosi buku dengan mengirimkan peti mati tersebut menimbulkan gangguan fisik atau psikis terhadap penerimanya, maka pengirimnya bisa dituduh melanggar Pasal 15 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), yang mengatur bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Mungkin saja ada orang yang menjadi ketakutan atau trauma berkepanjangan akibat melihat peti mati tersebut. Mungkin juga akibat melihat peti mati tersebut seseorang yang punya penyakit jantung mengalami serangan jantung karena sangat terkejut. Orang-orang yang mengalami gangguan fisik atau psikis tersebut bisa saja melaporkan pengirim peti mati kepada polisi berdasarkan Pasal 15 UU Perlindungan Konsumen tersebut. Pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat diancam pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda maksimal Rp 2 milyar.

Penutup

Dari beberapa berita seputar peti mati tersebut di sejumlah media, diketahui bahwa pengiriman peti mati tersebut menimbulkan kekhawatiran adanya teror bom, perasaan terintimidasi, hingga pemecatan terhadap satpam gedung yang menerima peti mati tersebut. Selain melaporkan kepada polisi, bagi seseorang yang menderita kerugian materi akibat pengiriman peti mati tersebut, pada dasarnya dapat juga menggugat pengirimnya secara perdata untuk menuntut ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPer.

Hal ini menjadi pelajaran berharga. Kreatifitas memang perlu, namun seharusnya tetap memperhatikan rambu-rambu etika, hukum dan hak asasi manusia. Jika kerja kreatif sampai menimbulkan kerugian bagi orang lain, hasilnya tentu tidak berarti apa-apa lagi.


Labels: , , , , , ,