Thursday, September 10, 2009

Tolak Pembatasan Wewenang KPK!

oleh Ari Juliano Gema


Meski telah ditunggu-tunggu pengesahannya oleh berbagai pihak, namun ternyata pembahasan RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) telah melenceng dari esensinya. RUU yang seharusnya hanya mengatur mengenai pembentukan dan tata cara bersidang di Pengadilan Tipikor, ternyata malah mencoba membatasi wewenang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).


Menurut penjelasan Arbab Paproeka, Ketua Panitia Kerja RUU Pengadilan Tipikor, kewenangan KPK hanya akan sampai tingkat penyidikan. KPK tidak bisa lagi menuntut para koruptor yang ditangani KPK. Semua kewenangan penuntutan dan pembuatan rencana penuntutan akan dilakukan Kejaksaan Agung (Kompas, 10/09/09).


Hal ini jelas sangat aneh. Pembuatan RUU Pengadilan Tipikor didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 19 Desember 2006 yang mempermasalahkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang mengatur pembentukan Pengadilan Tipikor. Pada pokoknya Putusan MK tersebut menyatakan bahwa Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 tahun terhitung sejak putusan diucapkan. Tidak ada Putusan MK yang mempermasalahkan wewenang KPK sebagaimana diatur dalam UU KPK.


Pembatasan wewenang KPK hanya sampai tingkat penyidikan jelas telah menyimpang dari niat awal pembentukan KPK, yaitu untuk menerobos kebuntuan penegakan hukum atas perkara korupsi yang ditangani kejaksaan atau kepolisian. UU KPK telah memberikan wewenang kepada KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan, dengan alasan antara lain proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan atau terdapat hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif.


Dengan demikian, tanpa kewenangan penuntutan perkara korupsi, terbuka peluang adanya kebuntuan dalam penanganan perkara korupsi di tingkat kejaksaan. Penanganan perkara korupsi di tingkat kejaksaan akan lebih mudah diintervensi oleh eksekutif, yudikatif atau legislatif. Kalau sudah begitu, pelaksanaan agenda pemberantasan korupsi akan mengalami masa suram. Apakah hal itu yang diinginkan bangsa Indonesia?


Oleh karena itu, tidak boleh ada kompromi. Tolak pembatasan wewenang KPK untuk melakukan penuntutan perkara korupsi. Titik.



Labels: , , , ,