Monday, May 19, 2014

Tips Menyampaikan Keluhan bagi Konsumen


oleh Ari Juliano Gema

Seringkali kita mengalami masalah ketika menggunakan jasa atau barang tertentu. Telpon seluler yang tidak ada sinyal, penerbangan yang tertunda, mesin yang sering ngadat, pelayanan yang tidak menyenangkan, dan beragam masalah lainnya. Ketika masalah itu datang, beragam cara pula yang kita lakukan dalam menyampaikan keluhan. Dari sekedar curhat ke teman, sampai mencaci-maki penyedia produk di social media.

Sebenarnya hak setiap orang untuk mengekspresikan keluhannya dalam cara apapun. Tapi perlu juga dipikirkan apakah cara yang dipilih itu efektif mendorong penyedia produk melakukan perbaikan segera. Jangan-jangan justru berujung pada masalah hukum.

Lho, koq bisa berujung pada masalah hukum?

Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat, termasuk mengekspresikan keluhannya. Namun, juga perlu diingat bahwa orang lain juga punya hak yang sama dalam menyampaikan pendapat, termasuk dalam menanggapi keluhan orang lain. Sederhananya, seperti hukum fisika, jika ada aksi, maka ada reaksi.

Jika keluhan disampaikan bercampur dengan luapan emosi yang berlebihan di social media, bukan tidak mungkin ada pihak yang bereaksi keras karena tersinggung dengan keluhan tersebut. Reaksinya bisa beragam. Mungkin saja penyedia produk malah tidak bisa memahami pokok permasalahan dari keluhan tersebut, sehingga tidak melayani keluhan sama sekali. Bahkan mungkin juga ada pihak yang melaporkan kepada polisi karena merasa dicemarkan nama baiknya karena keluhan tersebut.

Merupakan hak setiap orang yang merasa menjadi korban untuk melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. Meski kebenaran laporan pencemaran nama baik tersebut harus dibuktikan di pengadilan, namun setidaknya ada proses pemeriksaan terhadap pihak yang dilaporkan. Tentu hal ini akan sangat merepotkan. Awalnya hanya berniat menyampaikan keluhan, namun karena salah dalam menyampaikan jadinya malah membuang-buang waktu, tenaga, biaya dan pikiran untuk menjalani proses pemeriksaan tersebut. Nggak asyik, khan?       

Oleh karena itu, untuk menghindari reaksi yang tidak diinginkan tersebut dan penyedia produk bisa segera menanggapi keluhan, maka akan lebih baik jika keluhan disampaikan melalui beberapa cara sebagai berikut:

1.          Langsung menyampaikan keluhan melalui nomor telepon atau e-mail yang disediakan khusus untuk konsumen. Dengan begitu, penyedia produk bisa langsung mengetahui masalahnya, sehingga bisa segera diambil tindakan atas keluhan tersebut.

2.                 Apabila nomor telepon sulit dihubungi atau e-mail tidak ditanggapi, keluhan bisa disampaikan melalui akun-akun social media yang dikelola penyedia produk, seperti twitter atau facebook. Sampaikan faktanya saja. Tidak perlu dibubuhi opini atau asumsi, apalagi menyerang secara personal seseorang yang bekerja pada penyedia produk tersebut. Hal ini agar penyedia produk bisa langsung mengidentifikasi masalahnya untuk diambil tindakan segera.

3.                 Apabila penyedia produk tidak memiliki akun social media atau telah disampaikan melalui akun social media tapi tidak mendapat tanggapan juga, maka keluhan bisa disampaikan lewat surat pembaca, baik di media cetak atau media online. Sekali lagi, sampaikan faktanya saja. Tidak perlu dibubuhi opini atau asumsi.

4.             Apabila tiga langkah di atas tidak juga membuahkan tanggapan dari penyedia produk, berarti penyedia produk memang tidak punya keseriusan dan itikad baik untuk menangani keluhan konsumennya. Sudah waktunya meninggalkan produk tersebut.

5.       Apabila terdapat kerugian materil akibat produk yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka sangat disarankan untuk minta pendapat dari pengacara untuk mendapatkan saran dan masukan mengenai upaya hukum apa yang bisa diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut.



Foto: Wikimedia Commons dibawah lisensi CC-BY-SA

*Tulisan telah pernah dimuat di situs www.anakasyik.com

Tuesday, April 01, 2014

Apakah Ada Partai Politik yang Korupsi?



oleh Ari Juliano Gema

Di media sosial tersebar informasi tentang partai-partai politik yang dikatakan paling korup berdasarkan jumlah anggota partai politik (Parpol) yang telah dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi. Data untuk menyusun informasi tersebut katanya diambil dari berbagai sumber seperti KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan NGO.

Akibat informasi tersebut, seorang kawan bilang dia tidak akan menggunakan hak pilihnya pada tanggal 9 April nanti karena baginya semua Parpol sama korupnya, jadi tidak ada alasan bagi dia untuk mempercayakan suaranya kepada Parpol manapun. Saya pun bertanya kepada dia, apakah memang ada Parpol yang korupsi?

Parpol sebagai Korporasi

UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur bahwa yang dimaksud “Setiap Orang” yang menjadi pelaku tindak pidana korupsi adalah orang perseorangan atau termasuk Korporasi. Sedangkan pengertian “Korporasi” dalam UU Tipikor adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Menurut UU No. 2 Tahun 2008 jo. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, pengertian “Partai Politik” adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok WNI secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Dari pengertian tersebut, jelas Parpol memenuhi kriteria sebagai korporasi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.

Jadi sebenarnya Parpol sebagai korporasi bisa diseret ke Pengadilan Tipikor jika dapat dibuktikan bahwa ada suatu korupsi yang dilakukan berdasarkan kebijakan resmi Parpol tersebut. Namun, hingga tulisan ini dibuat, saya belum pernah mendengar pihak Kepolisian, Kejaksaan atau KPK mengusut Parpol sebagai tersangka korupsi. Saya juga tidak pernah mendengar ada putusan Pengadilan Tipikor yang menjatuhkan sanksi pidana kepada Parpol.

Anggota Parpol bukan Parpol   

Jika selama ini banyak anggota Parpol yang telah dijatuhi sanksi pidana karena korupsi, Pengadilan Tipikor memvonis mereka sebagai orang perseorangan, bukan mewakili Parpolnya. Jika mereka melakukan korupsi karena diperintahkan oleh Parpol, tentu menjadi tugas aparat Kepolisian, Kejaksaan atau KPK untuk mencari bukti adanya kebijakan resmi atau perintah dari Parpol kepada anggotanya untuk melakukan korupsi. Jika tidak dapat dibuktikan ada kebijakan resmi atau perintah dari Parpol, artinya anggota Parpol tersebut melakukan korupsi atas dasar niatnya sendiri.

Oleh karena itu, secara hukum, tidak ada Parpol yang korupsi, sehingga istilah “Parpol yang paling korup” yang digembar-gemborkan di media sosial itu sebenarnya tidak relevan. Lebih tidak relevan lagi jika istilah “Parpol yang paling korup” itu dijadikan isu untuk menghantam lawan politik dalam pemilu.

Jadi, jangan ikut-ikutan membodohi masyarakat dengan isu "Parpol yang paling korup". Tidak adil bagi calon anggota legislatif yang bersih, mempunyai kapasitas dan kapabilitas memadai, serta tidak pernah korupsi, jika tidak dipilih oleh masyarakat lantaran Parpolnya dianggap "Parpol yang paling korup". Kalaupun banyak anggota Parpolnya yang telah dipidana karena korupsi, anggap saja ada program "detoksifikasi" besar-besaran terhadap Parpol tersebut agar bisa menjadi Parpol yang sehat.


Sunday, December 22, 2013

Pendaftaran HKI, Pemborosan atau Investasi?


oleh Ari Juliano Gema

Saya sering bertemu dengan orang-orang yang sudah paham tentang pentingnya melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) atas karyanya atau produk usahanya tapi masih belum juga melakukan pendaftaran HKI. Banyak alasan yang dikemukakan mereka, antara lain belum punya waktu untuk mengurus pendaftarannya atau belum ada biaya yang dianggarkan untuk pendaftaran HKI.

Kalau alasannya belum ada waktu, sebenarnya hal itu bisa diselesaikan dengan menunjuk konsultan HKI untuk mengurus pendaftaran HKI mewakili dirinya. Konsultan HKI akan membantu memilih pendaftaran jenis HKI yang tepat, mengurus persiapan dokumen-dokumen yang diperlukan dan berhubungan langsung dengan Direktorat Jenderal HKI dalam rangka pengurusan pendaftaran HKI tersebut.

Sedangkan kalau alasannya belum ada biaya karena menganggap pendaftaran HKI hanya buang-buang uang saja, mungkin perlu dipertimbangkan kembali alokasi anggaran dalam menjalankan usaha. Umumnya, anggaran diprioritaskan untuk membeli alat produksi dan bahan baku. Namun, jarang yang berpikir keuntungan yang didapat jika menganggarkan biaya pendaftaran HKI sebagai prioritas juga.    

Banyak yang tidak tahu kalau biaya pendaftaran atau perolehan HKI dapat dicatat di kolom aktiva tetap tak berwujud dalam laporan keuangan. Menurut Standar Akuntasi Keuangan, aktiva tetap tak berwujud adalah aktiva tidak lancar dan tidak berbentuk yang memberikan hak keekonomian dan hukum kepada pemiliknya dan dalam laporan keuangan tidak dicakup secara terpisah dalam klasifikasi aktiva yang lain.

Aktiva tetap tak berwujud ini tidak dapat diraba, atau tidak ada wujud fisik dan tingkat kepastian terhadap manfaat masa yang akan datang sangat tinggi. Aktiva ini dinilai pada harga perolehannya yaitu meliputi semua biaya yang terjadi dalam rangka memperoleh aktiva tersebut, seperti misalnya biaya jasa konsultan HKI, biaya pendaftaran HKI, biaya perancangan dan pengeluaran-pengeluaran lain yang langsung berhubungan dengan perolehan HKI tersebut.  

Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan untuk pendaftaran HKI tersebut pada dasarnya bukanlah pengeluaran semata, namun merupakan investasi bagi pelaku usaha. Hal ini karena selain menambah jumlah aktiva dalam laporan keuangan, juga berpotensi menghasilkan pemasukan jika dikemudian hari mendapatkan royalti dari hasil melisensikan atau mewaralabakan HKI tersebut kepada pihak lain, atau ketika HKI dialihkan kepada pihak lain dengan nilai yang lebih besar dari nilai perolehannya.

International Licensing Industry Merchandisers’ Association (LIMA), sebuah organisasi perdagangan untuk industri lisensi seluruh dunia, pernah merilis hasil surveinya mengenai royalti yang terkumpul dari lisensi HKI pada tahun 2012 yang berasal dari industri hiburan, fashion dan olahraga di kawasan Amerika Utara, yaitu sebesar USD 5,454 Milyar. Bisa dibayangkan betapa menguntungkan jika pelaku usaha mampu mengkomersilkan HKI yang dimilikinya.

Jadi, masih menganggap pendaftaran HKI itu pemborosan?


sumber foto: corporatelaw.jdsupra.com