Tuesday, October 27, 2009

Cabut Pasal 32 ayat (1) huruf (c) UU KPK!

oleh Ari Juliano Gema

Sidang pemeriksaan pendahuluan atas Permohonan Uji Materi Pasal 32 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah digelar pada Senin, 26 Oktober 2009 lalu. Pasal 32 ayat (1) huruf (c) UU KPK pada pokoknya mengatur bahwa pimpinan KPK diberhentikan tetap apabila menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana.

Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto mengajukan permohonan agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 32 ayat (1) huruf (c) UU KPK tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945, khususnya mengenai hak konstitusional warga negara untuk mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum. Apa alasannya?

Apabila dibandingkan dengan lembaga atau komisi negara lainnya, kedudukan pimpinan KPK sebagai pejabat negara memang sangat lemah sekali. Pemeriksaan atas dugaan tindak pidana oleh pihak kepolisian terhadap pimpinan KPK tidak memerlukan ijin dari Presiden. Bandingkan dengan perlakuan yang diterima pejabat negara lain, seperti anggota DPR, DPD atau Kepala Daerah.

Selain itu, dalam beberapa undang-undang yang mencantumkan ketentuan mengenai pemberhentian tetap seorang pimpinan lembaga atau komisi negara selain KPK, ditegaskan bahwa mereka diberhentikan tetap apabila dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini bisa dilihat dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, atau UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Bandingkan dengan pimpinan KPK yang dapat diberhentikan tetap hanya karena dikenakan status terdakwa. Padahal orang yang berstatus terdakwa belumlah dapat dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bagaimana mungkin pimpinan KPK yang belum tentu bersalah harus menerima resiko kehilangan jabatannya hanya karena dikenakan status terdakwa?

Hal ini secara jelas memperlihatkan diskriminasi terhadap pimpinan KPK. Diskriminasi ini pada akhirnya melemahkan posisi pimpinan KPK. Hanya dengan menggunakan Pasal 421 KUHP mengenai penyalahgunaan wewenang yang sangat lentur penerapannya (pasal karet), aparat penegak hukum begitu mudahnya mengkriminalisasi kewenangan KPK, dengan tujuan untuk memberhentikannya.

Oleh karena itu, pencabutan Pasal 32 ayat (1) huruf (c) UU KPK mutlak harus dilakukan. Selain melemahkan posisi pimpinan KPK, keberadaan pasal itu pada gilirannya memudahkan intervensi eksekutif apabila terganggu dengan aktivitas KPK. Pimpinan KPK dapat dengan mudah dikriminalisasi untuk kemudian diberhentikan secara tetap meski belum diputus bersalah oleh pengadilan. Pada gilirannya agenda pemberantasan korupsi akan terus berpeluang digembosi.

Labels: , ,

Friday, October 23, 2009

Menyoal Sifat Darurat Perpu No. 4 Tahun 2009

oleh Ari Juliano Gema

Pada saat Presiden SBY menetapkan Perpu No. 4 Tahun 2009 tanggal 21 September 2009 untuk mengisi kekosongan jabatan Pimpinan KPK yang tinggal 2 orang, alasan konstitusionalnya adalah "kegentingan memaksa". Secara umum, siapapun akan dapat memahami bahwa ketika ada ”kegentingan memaksa”, maka seharusnya tercermin dari tindakan yang cepat untuk mengatasi "kegentingan memaksa" tersebut.

Namun, sepertinya penetapan Perpu tersebut sudah kehilangan alasan konstitusionalnya karena alasan sebagai berikut, pertama, menurut Perpu, apabila keanggotaan Pimpinan KPK kurang dari 3 (tiga) orang, maka Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan KPK sejumlah jabatan kosong. Dalam keadaan darurat ini, seharusnya Presiden sesegera mungkin mengangkat 3 orang Plt Pimpinan KPK, tanpa harus membentuk "Tim 5". Dalam Perpu tidak ada ketentuan yang mengharuskan Presiden membentuk "Tim 5" yang bertugas merekomendasikan 3 nama Plt Pimpinan KPK. Waktu yang dibutuhkan "Tim 5" bekerja tentu mengurangi sifat "kegentingan memaksa" tersebut.

Apabila Presiden memang menginginkan proses yang prudent dalam mengangkat Plt Pimpinan KPK, seharusnya proses seleksi dalam UU KPK bisa diterapkan, dimana ada tahap nama-nama calon diumumkan kepada publik untuk menerima masukan sebelum ditetapkan. Pembentukan "Tim 5" menunjukan proses setengah hati Presiden dalam memilih Plt Pimpinan KPK dalam keadaan yang (katanya) genting.

Kedua, seusai "Tim 5" mendapatkan 3 nama calon Plt Pimpinan KPK pada tanggal 1 Oktober 2009, Presiden SBY tidak langsung menetapkan mereka sebagai Plt Pimpinan KPK. Baru pada tanggal 6 Oktober 2009, 3 nama tersebut dilantik oleh Presiden.

Alasannya adalah karena Presiden sedang fokus pemantauan gempa Sumatera. Padahal, Wapres Jusuf Kalla telah turun ke lapangan untuk mengkoordinasikan penanganan bencana gempa Sumatera. Untuk memantaunya, sebenarnya Presiden tinggal menghubungi Wapres, sehingga tidak ada alasan untuk menunda penetapan Plt Pimpinan KPK yang (katanya) genting.

Ketiga, sejak DPR Periode 2009-2014 dilantik pada tanggal 1 Oktober 2009, seharusnya Presiden dapat segera mengajukan Perpu tersebut kepada DPR untuk ditentukan nasibnya. Dengan aturan internal DPR lalu, DPR yang baru dapat segera bersidang untuk menyetujui atau menolak keberlakukan Perpu tersebut.

Apabila memang sifatnya genting atau darurat, maka tidak ada alasan bagi Presiden untuk menunda-nunda pembahasan Perpu dengan DPR yang baru untuk memastikan keberlakuan Perpu tersebut. Semakin lama pembahasan Perpu tersebut ditunda, semakin terang bahwa sifat darurat atau kegentingan memaksa tersebut hanya isapan jempol semata.

Labels: , , ,