Saturday, October 28, 2006

Blame it on Nietzsche!

Melalui tulisan ini perkenankan saya menjelaskan mengapa saya merubah tajuk jurnal underground ini, dari “Fiat justitia ruat coelum!” menjadi “The Last Man’s Standing”.

Pada suatu hari, seorang kawan menanyakan tentang sub-title jurnal ini yang merupakan kutipan dari ucapan Prof. Charles Himawan.

“Apa itu juga filosofi hidup loe?” Tanya kawan itu.

“Bisa dibilang begitu,” jawab saya.

“Berarti loe nggak punya ambisi jadi orang kaya, dong?”

“Kalau ambisi yang loe maksud itu artinya tujuan hidup utama, jelas itu bukan ambisi gue

“Apa loe merasa hidup loe udah cukup?” Tanya kawan itu lagi.

“Cukup itu relatif. Yang pasti gue udah merasa bahagia dengan keadaan gue sekarang ini,” jelas saya.

Kawan itu kelihatan berpikir sejenak sebelum kembali bertanya, ”are you the Last Man?”

Pertanyaan terakhir itu membuat ingatan saya mengembara kembali ke masa-masa kuliah beberapa tahun yang lalu. Saat saya masih sempat melakukan “eksperimen otak”. Ya, uji batas kemampuan otak saya dalam memahami buku-buku karangan filosof ataupun buku-buku yang membahas pemikiran filosof seperti Hegel, Karl Marx, Frederick Engels dan Friedrich Nietzsche.

Salah satu buku yang pernah saya baca adalah buku berjudul Thus Spoke Zarathustra buah karya Friedrich Nietzsche, filosof kelahiran Jerman, yang terbit pertama kali pada tahun 1883. Dari buku itu, saya mengenal tokoh Übermensch, yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai the Overman. Übermensch adalah tokoh ideal ciptaan Nietzsche yang memiliki ambisi untuk berkuasa, tidak pernah puas, selalu ingin lebih dari yang lain, dan mampu menciptakan nilai-nilai untuk dirinya sendiri lepas dari nilai-nilai tradisional yang telah ada. Selain itu, ada lagi tokoh ciptaan Nietzsche yang merupakan kebalikan dari Übermensch, yaitu der letzte Mensch, yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai the Last Man.

Dalam buku itu, tokoh the Last Man “dicibir” oleh Nietzsche sebagai tokoh yang lemah, tidak mau mengambil resiko, cepat puas dengan apa yang sudah dicapainya, dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan hidup. Tokoh the Last Man muncul lagi dalam buku karya Francis Fukuyama, pengamat politik dari Amerika Serikat, yang berjudul The End of History and the Last Man, yang terbit pertama kali pada tahun 1992.


Dalam buku karya Fukuyama itu dijelaskan bahwa setelah runtuhnya negara komunis raksasa Uni Soviet di akhir tahun 1980-an, di dunia ini sudah tidak ada lagi pertarungan ideologi. Kapitalisme dengan demokrasi liberal telah mencapai kemenangannya dan menjadi satu-satunya ideologi yang dipercaya bisa membawa manusia kepada kesejajaran dalam mencapai kemakmuran. Pada saat itulah, sejarah manusia berakhir, karena tidak ada lagi pertarungan ideologi yang dapat dicatat dalam sejarah manusia. Selanjutnya, lahirlah manusia-manusia terakhir (the Last Man), yang tidak lagi peduli pada ideologi dan cenderung apatis dalam pilihan-pilihan politiknya. Oleh karena itu, pandangan terhadap partai politik juga berubah, di mana persoalan ideologi tidak lagi menjadi penting. Yang terpenting adalah upaya kongkrit apa yang bisa dilakukan oleh partai politik untuk kesejahteraan rakyat.

Pertanyaan terakhir dari kawan saya itu mungkin muncul karena dalam buku berjudul Thus Spoke Zarathustra terdapat pernyataan dari the Last Man yang mirip dengan jawaban terakhir saya, yang kurang lebih berbunyi seperti ini:

“We have invented happiness,” says the last men, and they blink.

Saya katakan kepada kawan saya, bahwa saya merasa bahagia dengan keadaan saya saat ini bukan karena saya tidak berani mengambil resiko untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik lagi. Namun, kebahagiaan saya adalah semata-mata karena rasa syukur saya kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala rizki yang telah saya dapat di dunia ini. Tapi saya katakan kepada kawan saya bahwa saya tidak peduli apabila Nietzsche, Fukuyama dan pengikut mereka “mencibir” saya sebagai the Last Man.

Bukankah lebih baik menjadi the Last Man, daripada menjadi the Overman namun kemudian segala sifat supernya itu dipakai untuk menindas dan memperbudak manusia lain, sebagaimana dilakukan Hitler, Stalin, Benito Musolini dan pemimpin fasis lainnya?

Bukankah lebih baik memilih partai politik yang memiliki aksi-aksi kongkrit, daripada memilih partai politik yang semata-mata menonjolkan kebaikan ideologinya?

Oleh karena itulah, setelah saya pertimbangan masak-masak, tajuk jurnal ini saya ganti menjadi “The Last Man’s Standing” sebagai pendirian dan tantangan terbuka saya terhadap “cibiran” Nietzsche, Fukuyama dan pengikut mereka atas pemikiran dan pendapat pribadi saya yang tertuang dalam tulisan-tulisan saya di jurnal ini.

Jadi, apabila ada orang yang bertanya mengapa saya mengganti tajuk jurnal ini, maka jawaban saya adalah: Blame it on Nietzsche!


Tabik,
Ari Juliano Gema

Monday, October 23, 2006

Kerinduan


Takbir berkumandang
Beduk bertalu-talu
bersahut-sahutan

Satu bulan berjuang
Berusaha menang
melawan godaan

Bulan penuh rahmat
telah lewat sudah
menyisakan pertanyaan

“Mungkinkah kudapat
merasakan kembali
bulan penuh rahmat itu?”

Takbir berkumandang
Menyisakan pertanyaan
dan kerinduan.


Ciputat, 23 Oktober 2006
Ari Juliano Gema


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita semua untuk bertemu kembali pada bulan Ramadhan berikutnya. Amiiin.

Friday, October 20, 2006

Bolehkah Hakim Menerima Hadiah?

oleh Ari Juliano Gema

Mahkamah Agung Republik Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Pedoman Perilaku Hakim (PPH) yang pertama kali dipublikasikannya pada Juni 2006 lalu tak pelak menuai kontroversi. Salah satu poin di dalam PPH yang menjadi sorotan adalah diperbolehkannya hakim menerima hadiah atau bantuan dari pemerintah daerah.

Menurut Ketua Tim Finalisasi Pedoman Perilaku Hakim, Iskandar Kamil, pada dasarnya PPH tersebut mengadopsi The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang merupakan hasil pertemuan para hakim di Den Haag, 25-26 Nopember 2002. Iskandar Kamil mengatakan bahwa The Bangalore Principles sebagai kode etik hakim dunia memperbolehkan hakim menerima hadiah dalam batas tertentu. Bahkan, menurutnya lagi, di Amerika Serikat pun hakim menerima hadiah yang nilainya dibawah 200 dolar AS.

Aturan Hukum

Apabila kita melihat sumpah atau janji seorang hakim sebelum ia memangku jabatannya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka kita akan dapat membaca bahwa pada pokoknya seorang hakim bersumpah/berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajiban sebagai hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, serta memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945. Cermati kata-kata “menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945” pada sumpah atau janji hakim itu.

Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemberian hadiah kepada hakim adalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi). Dalam Pasal 6 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya diatur bahwa hakim yang menerima suatu pemberian atau janji dari seseorang yang bermaksud mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dapat dikenakan sanksi pidana. Kemudian Pasal 12 huruf (c) UU Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya mengatur pula bahwa hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, juga diancam dengan sanksi pidana.

Memang benar bahwa untuk dapat mengenakan sanksi pidana kepada hakim tersebut, haruslah dibuktikan terlebih dahulu adanya maksud-maksud tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf (c) UU Tindak Korupsi tersebut. Namun, dapat dibayangkan bagaimana kerepotan seorang hakim apabila ia harus menjalani proses pemeriksaan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah setiap kali ia menerima hadiah. Belum lagi pandangan negatif publik yang terbentuk terhadap dirinya ataupun institusi peradilan di Indonesia, meski belum tentu hakim itu bersalah.

Aparat yang berwenang tentu berhak setiap saat menyelidiki apakah ada maksud tertentu dibalik pemberian hadiah kepada hakim, tanpa memandang besar kecilnya nilai hadiah tersebut. Oleh karena itu, jelas sudah bahwa hadiah yang diterima hakim sesungguhnya dapat memicu terganggunya kinerja hakim dan terpengaruhnya pandangan publik terhadap hakim tersebut ataupun institusinya.

Sebenarnya apabila hakim juga dianggap sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka berdasarkan Pasal 12 huruf (b) dan Pasal 12 huruf (c) UU Tindak Pidana Korupsi, setiap pemberian/hadiah yang diterima oleh hakim akan dianggap suap, tidak peduli berapapun jumlahnya, apabila pemberian/hadiah itu berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Namun, ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila hakim itu melaporkan setiap pemberian/hadiah yang diterimanya kepada Komisi Pemberantas Korupsi.

MA Harus Bersikap

Menimbang hal di atas, sudah seharusnya Mahkamah Agung mempertimbangkan kembali ketentuan dalam PPH yang memperbolehkan hakim menerima hadiah. Mahkamah Agung seharusnya mendorong setiap hakim agar konsisten dengan sumpah atau janji yang diucapkannya untuk “menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945”. Kata-kata dalam sumpah atau janji hakim tersebut tentu harus dimaknai sebagai suatu bentuk perilaku hakim dalam tingkat idealisme tertinggi.

Pada tingkat idealisme ini, seorang hakim tentu tidak akan dan tidak mau melakukan perbuatan yang akan membuat dirinya melanggar atau mendekati pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Demikian juga, apabila diketahuinya bahwa hadiah yang ia terima akan mengganggu kinerja atau mempengaruhi pandangan publik terhadap dirinya maupun institusinya, tentu ia tidak akan menerima hadiah yang diberikan kepadanya, tanpa memandang besar kecilnya nilai hadiah tersebut.

Bagaimanapun juga, sudah seharusnya seorang hakim menunjukkan perilaku yang terhormat, sehingga mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan sebagai tempat mencari keadilan. Saking pentingnya perilaku hakim, filosof Taverne pernah berkata: “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk sekalipun, saya akan menghasilkan putusan yang adil.”


Bahan Bacaan

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, 2005
Henry P. Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Pustaka Sinar Harapan, 2001
H.M. Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ubara Press, 1998
Komisi Hukum Nasional RI, Pembaharuan Kejaksaan: Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa, 2004
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung RI serta Badan Peradilan di Indonesia, 2004

Thursday, October 12, 2006

Langkah Taktis 'Membungkam' Aktivis

oleh Ari Juliano Gema

----------------------------------------------------------------------------------
PERINGATAN: Tulisan ini hanya boleh dibaca oleh pejabat yang sering dibuat “gerah” oleh aktivis yang kritis, termasuk oposan dan lawan politik, terhadap dirinya. Bagi orang-orang yang bercita-cita jadi pejabat juga boleh membacanya. Bagi anda yang tidak termasuk kategori orang-orang di atas harap tidak membaca tulisan ini.
----------------------------------------------------------------------------------

Saat ini, didemo atau dikritik oleh aktivis bagi pejabat mungkin sudah menjadi sarapan sehari-hari. Masalahnya, seringkali pejabat itu salah dalam mengambil langkah untuk “menanggulangi” kegiatan yang dilakukan aktivis tersebut. Cara-cara biadab seperti menteror, menculik, menyiksa bahkan menghilangkan nyawa aktivis yang bersangkutan jelas tidak bisa ditolerir karena alasan sebagai berikut, pertama, sudah jelas cara-cara tersebut melanggar hukum. Jadi kalau ada pejabat yang melakukan cara-cara seperti itu pasti ia berjiwa preman atau manusia barbar zaman batu.

Kedua, cara-cara itu akan mengundang kecaman dan tekanan negatif dari publik di dalam maupun luar negeri. Jangan pernah menyepelekan hal ini, karena sudah banyak rezim pemerintahan yang jatuh karena tekanan dari dalam maupun luar negeri. Ketiga, cara-cara seperti itu justru akan semakin memperkuat keberanian dan semangat perlawanan dari kawan-kawan aktivis itu. Ingat, aktivis kadang memiliki jaringan aktivis yang berperilaku seperti aliran air, yang kalau dibendung maka aliran air akan berkumpul dan semakin kuat tekanannya untuk mendobrak atau melampaui bendungan tersebut untuk tetap mengalir sampai ketujuannya.

Langkah Taktis

Agar seorang pejabat dapat menanggulangi kegiatan aktivis yang membuat “gerah” itu, tanpa menggunakan cara-cara biadab, kiranya perlu dipahami dulu hal-hal dasar yang dapat membuat seorang manusia melupakan idealismenya. Sudah sering kita dengar bahwa ada tiga hal yang dapat melemahkan idealisme seseorang, yaitu harta, tahta dan wanita. Apabila seorang pejabat dapat memberikan satu saja dari tiga hal itu, maka bisa jadi aktivis tersebut tidak akan bersuara kritis lagi kepada pejabat tersebut. Model-model pemberian tiga hal tersebut akan diuraikan di bawah ini.

1. Harta

Kalau pejabat memberikan uang dalam jumlah besar secara langsung kepada seorang aktivis tentu sangat kentara sekali upaya “membungkam” aktivis tersebut. Oleh karena itu, pemberian materi sebenarnya dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu antara lain dengan mengundang aktivis itu sebagai narasumber dalam forum diskusi, seminar atau simposium dengan memberikannya honorarium yang tinggi, serta fasilitas akomodasi dan transportasi kelas satu. Semakin sering aktivis itu diundang ke forum seperti itu, semakin jarang ia bersuara kritis di luar forum.

Bisa juga dengan memberikan beasiswa atau merekomendasikan pihak-pihak di luar negeri agar aktivis itu dapat diberi kesempatan belajar di luar negeri. Pernah ada seorang aktivis yang sering ikut demonstrasi menentang tindakan Pemerintah AS menyerbu Irak dan Afghanistan. Ketika ia mendapat beasiswa untuk belajar di AS, ia sama sekali tidak pernah melakukan demonstrasi menentang tindakan Pemerintah AS di sana, padahal bukankah kantornya Mr. George Bush dapat lebih mudah didatangi?

Apabila aktivis itu tergabung dalam suatu organisasi, bisa juga pejabat itu memberikan donasi yang besar untuk organisasinya, agar organisasi itu merasa berhutang budi. Mungkin saja pejabat itu dapat diangkat sebagai Dewan Penasehat atau Dewan Penyantun di organisasi tersebut, sehingga dapat “mengontrol” tindakan aktivis itu.

2. Tahta

Pejabat dapat menawarkan jabatan penasehat, staf ahli atau tenaga ahli kepada aktivis yang sering mengkritiknya. Bisa juga dengan membuat komisi-komisi atau tim-tim yang (seolah-olah) independen yang akan diisi dengan aktivis-aktivis kritis itu. Dengan melibatkan aktivis kritis dalam lingkaran birokrasinya, maka di satu sisi pejabat tersebut mendapat legitimasi kuat karena (seolah-olah) didukung oleh aktivis kritis, di sisi lain aktivis tersebut mungkin tidak akan bersuara kritis lagi terhadap pejabat tersebut di luar karena sama saja dengan mengkritik dirinya sendiri.

Bisa juga menawarkan jabatan konsultan ataupun direksi dan komisaris di BUMN yang berada di bawah pengawasannya. Mungkin juga dengan menawari aktivis itu jabatan duta besar di negara sahabat, sebagaimana sering diterapkan oleh rezim Orde Baru.

3. Wanita/Jodoh

Sebagaimana dilakukan oleh raja-raja di Indonesia dahulu, apabila seorang raja merasa mendapat ancaman dari kerajaan lain, dan apabila berdasarkan pertimbangannya ia tidak mampu mengalahkan kerajaan tersebut dengan jalan perang terbuka, maka biasanya ia akan menawarkan anak atau kerabat istana untuk dijodohkan dengan raja, anak raja atau kerabat raja saingannya itu. Dengan jalan itu, dua kerajaan itu tidak perlu takut akan terjadi perang terbuka di antara mereka, karena pada dasarnya mereka terikat dalam hubungan perkawinan.

Pejabat juga dapat membuat situasi dan kondisi sedemikian rupa sehingga aktivis atau keluarga aktivis itu dapat terikat dalam hubungan perkawinan dengan keluarga dari pejabat yang bersangkutan. Sehingga apabila ada perbedaan pendapat antara pejabat dan aktivis tersebut, hal itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dan tidak perlu jadi konsumsi publik.

Penutup

Apabila ada aktivis yang tidak mau menerima tiga hal tersebut di atas karena benar-benar ingin mempertahankan idealismenya, maka pejabat tersebut tidak perlu berkecil hati. Bahkan pejabat tersebut harus bersyukur kepada Tuhan YME, karena saat ini sudah sangat langka manusia yang idealis di negeri ini. Disamping pejabat tersebut tidak perlu bersusah payah menawarkan atau memberikan tiga hal di atas, juga pejabat tersebut bisa yakin akan ketulusan segala kritikan atau tindakan aktivis itu.

Bagaimanapun juga, seorang pejabat haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan konstruktif. Aktivis yang idealis itu harus diperlakukan sebagai “mitra kerja” dengan kebersamaan dalam rangka meluruskan hal-hal buruk yang mungkin terjadi dari kebijakan yang diambil pejabat tersebut, untuk menuju perbaikan dan kemajuan bangsa dan negara.

Selamat mencoba!

Tuesday, October 03, 2006

Masalah Legalitas Pemilihan Langsung Gubernur DKI


Masalah Legalitas Pemilihan Langsung Gubernur DKI Jakarta*

oleh Ari Juliano Gema


Meski pemilihan kepala daerah DKI Jakarta baru akan berlangsung pada bulan Oktober 2007, namun gonjang-ganjingnya sudah mulai dirasakan saat ini. Salah satu isu yang berkembang saat ini adalah masalah legalitas pemilihan Gubernur DKI Jakarta secara langsung. Berbeda dengan pemerintahan daerah yang lain, DKI Jakarta memiliki undang-undang tersendiri yang tertuang dalam UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta (UU No. 34/1999).
Masalahnya, UU No. 34/1999 ini masih mengatur pemilihan kepala daerah dengan sistem perwakilan, belum pemilihan secara langsung. Padahal pemerintahan daerah yang lain telah mengacu pada ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004), yang mengatur bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Peran DPR

Saat ini, DPR mulai mengambil ancang-ancang untuk melakukan revisi terhadap UU No.34/1999 tersebut agar pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan ketentuan UU No. 32/2004. Namun demikian, upaya untuk melakukan revisi terhadap UU No. 34/1999 tersebut bukanlah merupakan hal yang mudah setidak-tidaknya karena alasan sebagai berikut, pertama, tunggakan RUU yang mendesak untuk dibahas oleh DPR saat ini masih demikian banyaknya, sehingga pembahasan revisi UU No. 34/1999 mungkin masih akan menunggu giliran.

Kedua, bukan tidak mungkin revisi yang seharusnya hanya ditujukan agar pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta dapat dilakukan secara langsung, kemudian malah melebar kepada hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pemilihan kepala daerah tersebut. Hal ini tentu akan memperlambat pembahasan revisi UU No. 34/99 tersebut. Oleh karena itu, sangat wajar kiranya apabila ada pernyataan dari beberapa anggota DPR di media massa yang menyangsikan pembahasan revisi UU No. 34/1999 tersebut dapat diselesaikan sebelum proses pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta dimulai.

Langkah Hukum

Menyikapi permasalahan di atas, pada dasarnya ada beberapa langkah hukum yang tersedia untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pertama, agar proses pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta dapat diselenggarakan sesuai jadwal, pemerintah dapat segera menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang merevisi UU No. 34/1999 tersebut agar pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta dapat dilakukan secara langsung. Namun, mengingat UUD 1945 menentukan bahwa Perpu hanya dapat ditetapkan oleh pemerintah apabila terdapat hal ihwal kegentingan yang memaksa, langkah ini mungkin akan menimbulkan perdebatan mengenai apakah terselenggaranya pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta secara langsung merupakan suatu kegentingan yang memaksa.

Kedua, tetap melaksanakan pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta secara langsung dengan mendasarkan pada ketentuan dalam UU No. 32/2004. Langkah ini berlandaskan pada doktrin hukum “lex posteriori derogat legi fori” yang mengandung arti apabila undang-undang yang baru bertentangan dengan undang-undang yang lama mengenai suatu materi yang sama, maka yang berlaku adalah undang-undang yang baru.

Dalam ketentuan penutup pada UU No. 32/2004 sendiri telah diterangkan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan UU No. 32/2004 dinyatakan tetap berlaku, atau dengan kata lain bahwa semua peraturan perundang-undangan yang sudah diganti dan bertentangan dengan UU No. 32/2004 tersebut menjadi tidak berlaku. Kata-kata “sudah diganti dan bertentangan” merupakan dua unsur yang membuat suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak berlaku dengan diberlakukannya UU No. 32/2004 ini.

Namun, langkah ini mungkin akan menimbulkan perdebatan, karena meski ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah dalam UU No. 34/1999 bertentangan dengan ketentuan dalam UU No. 32/2004, namun tidak ada ketentuan yang secara tegas menyebutkan bahwa eksistensi UU No. 34/1999 digantikan oleh keberlakuan UU No. 32/2004. Oleh karena itu, seharusnya UU No. 34/1999 tidak dapat dikesampingkan begitu saja karena sudah jelas tidak terpenuhi salah satu unsur yang membuat ketentuan dalam UU No. 34/1999 tidak berlaku.

Ketiga, perwakilan warga DKI Jakarta mengajukan permohonan uji materi UU No. 34/1999 kepada Mahkamah Konstitusi. Argumen dasar dari pengajuan uji materi tersebut adalah bahwa beberapa pasal mengenai pemilihan kepala daerah dalam UU No. 34/1999 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis.

Apabila pasal-pasal yang menghambat pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut jadi dihapuskan, maka berlakulah ketentuan dalam UU No. 32/2004 dan peraturan pelaksanaannya untuk mengisi kekosongan peraturan mengenai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta. Peraturan pelaksanaan UU No. 32/2004 itu antara lain PP No. 6 Tahun 2005 juncto PP No. 17 Tahun 2005 yang mengatur lebih lanjut mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung.

Langkah hukum yang ketiga ini pada dasarnya lebih aman dibandingkan dengan dua langkah hukum sebelumnya, sepanjang Mahkamah Konstitusi memutuskan sesuai dengan yang dimohonkan. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menghapus pasal-pasal lain diluar yang dimohonkan dan ternyata ada pihak-pihak yang berkepentingan dengan keberadaan pasal-pasal tersebut, maka sudah barang tentu akan menimbulkan polemik juga.

* Tulisan ini pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia tanggal 15 September 2006