Friday, September 29, 2006

Quo Vadis ‘Penggila’ Buku?*

oleh Ari Juliano Gema


Antusiasme para ‘penggila’ buku (bookaholic) pada acara “Borong Buku Murah” (BBM) yang diselenggarakan oleh Gramedia pada tanggal 26 – 28 September 2006 sangat luar biasa. Meski acara tersebut baru dibuka pada pukul 09.00 WIB, namun pengunjung sudah mulai antri dan berkerumun di gerbang Bentara Budaya Jakarta, tempat diselenggarakan acara tersebut, sejak sekitar pukul 07.00 WIB setiap harinya.

Buku-buku terbitan Kelompok Penerbit Gramedia yang dijual pada acara ini sebenarnya adalah buku-buku lama yang masih ada persediaannya di gudang atau yang sudah tidak laku dijual dengan harga normal, sehingga pihak Gramedia ‘merelakan’ buku-buku itu dijual dengan harga sangat murah, yaitu Rp 2.000,- per buku. Jenisnya pun beragam, dari novel, komik, resep masakan, sampai buku-buku non-fiksi yang bertema sosial, politik, hukum, manajemen, komputer dan psikologi. Oleh karena itulah, selama tiga hari penyelenggaraan, acara ini selalu dipenuhi ribuan pengunjung dengan perilaku ‘barbar’.

Perilaku ‘Barbar’?

Ya, begitulah kenyataannya. Bagaimana tidak ‘barbar’, ketika pertamakali pintu gerbang Bentara Budaya Jakarta dibuka, pengunjung sudah mulai saling sikut dan dorong untuk masuk ke ‘arena’.

Keadaan tidak bertambah baik ketika pengunjung sudah mulai mengerumuni buku-buku yang disusun di atas beberapa meja yang diletakkan dengan jarak yang berdekatan, sehingga menyulitkan bagi pengunjung yang ingin melintas di antara meja-meja tersebut. Buku-buku itu diperebutkan dan dilempar kesana-kemari oleh pengunjung yang berupaya memilih buku dalam suasana hiruk pikuk, berdesakan, saling sikut dan dorong itu. Bahkan ada salah seorang pengunjung yang karena sudah tidak tahan sampai akhirnya harus menginjak-injak tumpukan buku-buku itu agar bisa keluar dari kerumunan pengunjung.

Setelah puas berjibaku dalam “arena perebutan buku”, biasanya orang mulai menepi ke pinggir ‘arena’ dan mulai memilah-milah mana buku yang diambil double atau ternyata ada buku yang tidak diminatinya. Dari kegiatan ini mulai ketahuan pengunjung mana yang benar-benar ingin mengkoleksi buku, mana yang ternyata cuma berniat untuk menjual buku-buku itu kembali. Keberadaan para ‘penjual buku’ itu dengan pola “sapu bersih” yang mereka gunakan terasa sangat mengganggu ‘kenyamanan’ pengunjung yang lain. Para ‘penjual buku’ itu biasanya langsung mengambil bertumpuk-tumpuk buku dalam jumlah besar yang tersusun di atas meja tanpa melihat judul dan jenis bukunya. Hal ini jelas mengurangi kesempatan pengunjung yang lain untuk mendapatkan buku-buku yang diminatinya.

Hal yang juga disayangkan adalah adanya buku-buku yang tergeletak di lantai sebagai sisa hasil memilah-milah dari pengunjung. Buku-buku itu banyak yang terinjak-injak oleh pengunjung yang lewat sehingga kadang merusak kondisinya, padahal mungkin saja buku-buku itu masih diminati oleh pengunjung yang lain.

Harapan Kepada ‘Penggila’ Buku

Pada dasarnya, ada berbagai alasan orang untuk membeli buku, yaitu diantaranya, pertama, karena tertarik dengan sampul buku yang menarik, sehingga akan terlihat bagus kalau dipajang di rak buku. Kedua, karena sekedar ingin membuat rak buku terlihat penuh. Ketiga, karena tertarik dengan topik bukunya. Keempat, karena rekomendasi teman yang pernah membaca buku itu sebelumnya. Kelima, karena penggemar karya penulis tertentu. Keenam, karena berharap dapat dijual kembali.

Orang-orang dengan berbagai alasan itulah yang berkumpul di acara BBM itu. Semua orang dengan berbagai alasan itu bercampur baur kepentingannya dan saling bersinggungan satu sama lain. Disokong dengan harga buku yang murah dan kepentingan masing-masing individu itulah sehingga para pengunjung berubah sesaat menjadi sekelompok ‘barbarian’ yang saling ‘menjegal’ untuk mendapatkan buku yang diinginkannya.

Bagaimanapun juga, sebuah buku merupakan suatu karya yang dihasilkan dari olah pikir penulisnya. Tak ada penulis yang ingin bukunya hanya dijadikan pajangan saja. Bukan pula sekedar menjadi barang yang diberi label harga. Setiap penulis pasti ingin agar ide dan gagasan yang disampaikannya di dalam buku dapat diterima oleh pembacanya, dan mungkin juga dapat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku pembacanya.
Buku adalah pengusung peradaban, kata Barbara Tuchman (1989). Tanpa buku, sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, ‘mercu suar’ seperti kata seorang penyair, ‘yang dipancangkan di samudera waktu’. Begitu berharganya sebuah buku, sampai-sampai Thomas Jefferson (1815) pernah berkata: “Saya tidak bisa hidup tanpa buku!”

Oleh karena itu, mudah-mudahan perilaku ‘barbar’ pengunjung acara BBM itu bukan merupakan cerminan dari masyarakat ‘penggila’ buku di Indonesia. Apabila kita secara positif melihat antusiasme pengunjung acara BBM, besar harapan kita suatu saat nanti akan muncul suatu masyarakat yang tidak hanya menjadi ‘penggila’ buku, tapi berkembang juga menjadi masyarakat ‘penggila’ ilmu yang bermanfaat. Sehingga bukan hanya mampu mengumpulkan buku saja, namun juga mampu memahami dan mengamalkan ide dan gagasan di dalam buku yang dibacanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan orang banyak. Semoga.

* Tulisan ini diilhami pengalaman pribadi penulis sebagai pengunjung acara “Borong Buku Murah” yang diselenggarakan oleh Gramedia pada tanggal 26 – 28 September 2006.

Friday, September 22, 2006

Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia dari Kudeta Militer di Thailand?

oleh Ari Juliano Gema


Pertanyaan besar yang selama ini menyelimuti rakyat Thailand akhirnya terjawab sudah. Kelompok militer dibawah komando Jenderal Sonthi Boonyaratglin akhirnya benar-benar melakukan kudeta terhadap kekuasaan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada tanggal 19 September 2006 lalu, setelah dalam beberapa kesempatan Jenderal Shonti menampik isu yang mengatakan bahwa militer akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan PM Thaksin. Kudeta itu terjadi ditengah krisis politik yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan. Lebih dari setahun yang lalu, terbentuk gerakan oposisi besar yang menentang PM Thaksin karena kebijakan populisnya yang menyuburkan praktik korupsi dan nepotisme.

Kudeta militer sebenarnya bukan hal baru di Thailand. Kalau kita melihat kembali catatan sejarah Thailand, diketahui bahwa kudeta militer di Thailand pertama kali terjadi pada tahun 1932 yang dilakukan oleh perwira-perwira Thailand lulusan luar negeri. Kudeta itu berhasil mengakhiri sistem politik Thailand dari Monarki Absolut menjadi Monarki Konstitusional. Sejak kudeta itu, tercatat telah terjadi 17 kali percobaan kudeta sampai kudeta yang terjadi pada tahun 1991, yaitu 15 tahun sebelum kudeta yang terakhir terjadi.

Kudeta Berulang

Ada persamaan antara kudeta yang terjadi pada tahun 1991 dengan tahun 2006, yaitu sama-sama dilakukan oleh militer terhadap pemerintahan sipil yang (dituduh) korup dan tidak sampai terjadi kudeta berdarah. Namun, ada juga perbedaan mendasar antara kudeta yang terjadi pada tahun 1991 dengan tahun 2006, yaitu kudeta pada tahun 1991 langsung menuai kecaman luas dari dunia internasional, sehingga kelompok militer yang melakukan kudeta itu terpaksa membentuk Dewan Penjaga Perdamaian Nasional (DPPN), untuk kemudian menunjuk pengusaha dan mantan diplomat, Anand Panyarachun, sebagai Penjabat PM sampai pemilihan umum yang akan diadakan kemudian. Bandingkan dengan tanggapan dari dunia internasional yang terkesan wait and see terhadap kudeta yang terjadi tanggal 19 September lalu.

Dari pemilihan umum yang diadakan oleh DPPN tersebut, terpilihlah Narong Wongwan sebagai PM karena kemenangan partai yang dipimpinnya. Namun, Jenderal Suchinda Kraprayoon, sebagai salah satu pemimpin DPPN, tidak dapat menerima kemenangan Narong tersebut. Jenderal Suchinda menuduh Narong terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang, sehingga dengan alasan itu Jenderal Suchinda mengambil alih jabatan PM.

Akibat perbuatan Jenderal Suchinda itu, terjadi demonstrasi besar-besaran yang kemudian berkembang menjadi bentrokan berdarah antara pengunjuk rasa dengan militer pada tanggal 17 – 19 Mei 1992. Tercatat sebanyak 50 pengunjuk rasa tewas, ratusan luka-luka dan lebih dari 250 orang dinyatakan hilang. Bandingkan dengan pengambilalihan kekuasaan PM Thaksin oleh Jenderal Sonthi yang tanpa bentrokan berdarah dan justru mendapat dukungan dari sebagian rakyat Thailand.

Mendengar terjadinya bentrokan berdarah itu, Raja Bhumibol Adulyadej langsung memanggil Jenderal Suchinda untuk memintanya mengundurkan diri, dan meminta Penjabat PM Anand Panyarachun untuk kembali memerintah sampai pemilihan umum yang akan diselenggarakan kemudian. Bandingkan dengan sikap diam Raja Bhumibol saat ini yang seolah-olah merestui kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Sonthi.

Konstitusi Rakyat

Setelah berkali-kali kudeta dan dilanda krisis ekonomi, Raja Bhumibol pada tahun 1997 membentuk Majelis Penyusun Rancangan UUD beranggotakan 99 orang yang dipilih melalui pemilu. Majelis itu berhasil menggalang partisipasi rakyat Thailand dengan mengadakan serangkaian debat publik atas rancangan konstitusi yang disusunnya sebelum rancangan konstitusi tersebut disahkan. Konstitusi yang disebut “Konstitusi Rakyat” ini diyakini membawa perubahan politik yang fundamental bagi Thailand.

Konstitusi ini memasang rambu-rambu yang tegas terhadap perilaku pejabat publik. Untuk perdana menteri dan jajarannya, berlaku larangan mempunyai usaha, saham dan kerjasama di perusahaan tertentu. Ditambah pula dengan larangan menjadi pegawai perusahaan apa saja. Diatur pula ketentuan yang mengharuskan pejabat publik yang baru diangkat harus melaporkan perihal usaha bisnisnya kepada Komisi Nasional Anti-Korupsi (KNAK) dan dalam waktu 30 hari kepemilikan usahanya harus sudah dialihkan ke pihak lain.

Konstitusi ini juga mengatur laporan kekayaan pejabat sampai ke istri/suami dan anak-anaknya. Diatur juga mengenai mekanisme yang memungkinkan pemecatan seorang pejabat publik dengan partisipasi publik. Apabila ada kecurigaan terhadap perilaku pejabat, cukup dikumpulkan 50 ribu tandatangan dan diserahkan kepada Presiden Senat (DPD -- pen.), yang kemudian akan diteruskan kepada KNAK untuk ditindaklanjuti.

Namun, dengan konstitusi yang lengkap mengatur mengenai perilaku pejabat publik tersebut, ternyata tidak digunakan untuk menjatuhkan PM Thaksin dari jabatannya secara konstitusional meski santer tuduhan mengenai praktik korupsi dan nepotisme yang dilakukan pemerintahan PM Thaksin. Apakah hal ini akibat tidak berfungsinya lembaga negara yang berwenang atau rakyat Thailand sebenarnya tidak peduli dengan ketentuan dalam konstitusinya? Hanya rakyat Thailand yang bisa menjawab.

Pelajaran Bagi Indonesia

Dari kudeta yang terjadi di Thailand tersebut, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diambil oleh pemerintah dan rakyat Indonesia, yaitu, pertama, pemerintahan (sipil) yang korup seringkali menjadi alasan pembenar bagi militer untuk mengambil alih kekuasaan dengan berlindung di balik sentimen negatif rakyat terhadap pemerintahannya. Kedua, tidak berfungsinya lembaga negara secara optimal untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dapat mengakibatkan ketidakpuasan rakyat yang apabila dibiarkan akan semakin membesar dan berujung pada upaya pengambilalihan kekuasaan pemerintah, baik oleh rakyat sendiri atau oleh kaum bersenjata yang mengatasnamakan kepentingan rakyat..

Ketiga, perselisihan politik apapun sebaiknya diselesaikan melalui jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat meminimalisir terjadinya krisis politik dan perpecahan sosial yang berkepanjangan, yang akan melegitimasi militer untuk mengambil alih kekuasaan dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan nasional. Keempat, sebaik apapun suatu peraturan dibuat, tidak akan berarti apa-apa kalau manusia-manusia yang membuatnya tidak sungguh-sungguh mematuhi dan menjalankan peraturan itu dengan benar.

Terlepas dari hal tersebut di atas, pemerintah Indonesia harus bersikap tegas terhadap kudeta militer di Thailand tersebut. Meski pemerintahan PM Thaksin dituduh menyuburkan praktik korupsi dan nepotisme, tindakan kudeta militer tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Di alam demokrasi sekarang ini, seharusnya untuk mengganti pemerintahan adalah melalui kotak suara, tidak dengan ujung senjata.
Eagle flies alone, so high ... and sky is the limit!
(Prof. Riswandha Imawan, 1955 - 2006)

Thursday, September 14, 2006

PP Nomor 2 Tahun 2005 Ditanggapi Berbeda Oleh Konsultan HKI*

Kewajiban bagi konsultan HKI untuk mengajukan minimal 10 kali permohonan bidang HKI setiap tahun merupakan aturan aneh.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Konsultan HKI masih menyisakan persoalan. Salah satu persoalannya terletak pada pasal 10 ayat (2) huruf b PP tersebut. Pasal ini mengharuskan konsultan HKI mengajukan minimal sepuluh kali permohonan di bidang HKI tiap tahunnya dan pengevaluasian kinerja konsultan HKI oleh Dirjen HKI setiap lima tahun sekali. Aturan inilah yang masih ditanggapi berbeda oleh konsultan HKI.

Ari Juliano Gema, advokat yang juga berprofesi sebagai konsultan HKI di kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners, berpendapat seharusnya pasal ini ditiadakan. “Ini hal yang aneh untuk diatur, pada profesi lainnya tidak ada kewajiban untuk itu (mendaftarkan sepuluh kali permohonan dalam setahun; red),” ujarnya.

Ari mencontohkan profesi advokat yang tidak pernah menetapkan ketentuan yang mewajibkan advokat melakukan minimal jumlah persidangan dalam setahunnya, begitu juga dengan profesi lainnya, misalnya akuntan publik.

Dalam bukunya yang berjudul Membangun Profesi Konsultan HKI, Ari juga menyatakan bahwa pengaturan semacam ini seolah-olah telah menurunkan derajat konsultan HKI dari mitra kerja Dirjen HKI menjadi “agen pemasaran” bagi Dirjen HKI. Ari juga menjelaskan bahwa sebagaimana layaknya profesi yang lain, penggunaan jasa konsultan HKI tidak dapat dipastikan dari tahun ke tahun. Malahan, ia menilai pengaturan ini dapat mendorong terjadinya praktek-praktek yang tidak sehat diantara kalangan konsultan HKI hanya semata-mata untuk memenuhi target minimal permohonan tersebut.

Jika seorang konsultan HKI tidak mampu melakukan minimal sepuluh permohonan kepada Dirjen HKI tiap tahun, tidak serta merta konsultan HKI tersebut diberhentikan dari profesinya seperti yang tertera dalam pasal 11 huruf c PP 2 Tahun 2005. Pasal 11 huruf c menyatakan bahwa konsultan HKI dapat diberhentikan secara hormat karena tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 2 PP Nomor 2 Tahun 2005. Tidak dipenuhinya 10 permohonan dalam setahun hanya menjadi pertimbangan bagi Dirjen HKI untuk mengevaluasi kinerja konsultan HKI.

Ari berpendapat pasal ini sebaiknya dihapuskan saja karena tindakan otoritas yang berwenang dapat saja sewaktu-waktu berubah. Dapat saja pada suatu waktu, otoritas yang berwenang akan sangat strict sekali menjalankan peraturan ini atau dapat juga masih memberikan toleransi terhadap implementasi peraturan ini.

Senada dengan Ari, Suyud Margono, salah satu anggota tim fasilitator pembentukan organisasi profesi konsultan HKI, menyatakan keberatannya terhadap pasal ini. Menurutnya, pengaturan ini terlalu mengintervensi independensi konsultan HKI. “Ini adalah kebijakan yang bersifat intern, maksudnya intern dari asosiasi konsultan HKI sendiri. Memang profesinya tunduk pada perundang-undangan, tapi sebagai suatu profesi harus mandiri untuk mengatur dirinya sendiri,” paparnya. Ia menilai bahwa banyaknya permohonan kepada Dirjen HKI tak terlepas dari rejeki masing-masing konsultan HKI.

Sementara itu, konsultan HKI lainnya, Insan Budi Maulana dan Kenny Winston menyatakan tidak ada permasalahan dengan pengaturan tersebut. Menurut Insan, pengaturan ini ditujukan agar konsultan HKI bisa efektif melakukan tugasnya yaitu memberikan pelayanan pada publik. “Supaya konsultan HKI tidak hanya terdaftar belaka tapi juga aktif melakukan haknya itu,” ucapnya

Insan berpandangan bahwa minimal sepuluh permohonan dalam setahun bukanlah hal yang berat dan selayaknya dipenuhi oleh konsultan HKI. Menurut data yang diperoleh Insan, ada sekitar 30 ribu lebih permohonan merek, 3 ribu permohonan paten dan sekitar 2 ribu permohonan desain industri setiap tahunnya sedangkan konsultan HKI yang tersedia hanya berjumlah sekitar 250 orang.

Insan berpandangan bahwa profesionalisme konsultan HKI harus ditingkatkan. Jika konsultan HKI telah profesional, maka ia dapat memperoleh banyak klien dan begitupula sebaliknya. Namun dalam prakteknya kerapkali ada sikap yang tidak terpuji dalam profesi ini. Oleh karenanya diharapkan dengan akan dibentuknya organisasi profesi konsultan HKI, praktek-praktek yang tidak terpuji tersebut dapat dihilangkan. Rencananya, pendeklarasian organisasi profesi konsultan HKI akan diselenggarakan pada hari Jum’at besok (15/9) pukul 19.00 di gedung YPKI Jakarta.

Pendapat Insan diamini oleh Kenny Winston. Advokat yang baru saja memenangkan gugatan dari Media Indonesia ini menyatakan bahwa pengaturan minimal sepuluh permohonan dalam setahun adalah hal yang wajar dan tidak memberatkan konsultan HKI. Kenny berpendapat bahwasanya tujuan pengaturan ini tidak lain adalah untuk mendorong agar konsultan HKI berperan aktif memberikan konsultasi HKI. “Jadi bukan hanya sekedar memberi ijin, tapi konsultan HKI juga membantu, baik itu kliennya sendiri, UKM ataupun juga pengusaha yang tidak mampu,” katanya.

(CRC)

* Tulisan ini merupakan artikel berita di Hukumonline yang dimuat pada tanggal 14 September 2006 (http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15476&cl=Berita)

Tuesday, September 12, 2006

Konsultan HKI, Penting Nggak Sih?

Gagasan untuk membangun ‘rumah’ bagi konsultan HKI dimunculkan. Siapa sebenarnya yang berwenang membuat kode etik untuk suatu profesi?

Pertanyaan semacam ini pernah menyeruak di celah perseteruan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Untuk mengawasi prilaku hakim dibuutuhkan ukuran-ukuran atau parameter yang jelas. Kode etik hakim merupakan salah satu parameter yang pas. Tetapi, siapa yang akan membuat kode etik itu? Hakim sendiri atau lembaga yang memiliki kewenangan mengawasi?

Bisa jadi, pertanyaan sejenis bisa diajukan untuk profesi-profesi lain seperti akuntan, notaris, advokat, dan –seperti digagas dalam buku ini – konsultan hak kekayaan intelektual (HKI).

Buku ini hadir dengan satu misi: mengagas pentingnya para konsultan HKI membangun rumah bersama yang ideal. Rekomendasinya tegas, yakni mempersiapkan pembentukan organisasi profesi Konsultan HKI (hal. 57).

Profesi lain umumnya memang sudah memiliki rumah yang diidam-idamkan. Advokat punya PERADI dan akuntan bernaung di bawah IAI. Demikian pula notaris. Lalu, kemana Konsultan HKI? Inilah yang ingin coba dipaparkan penulis melalui sejumlah argumen.

Konsultan HKI sudah lama punya tiang pancang untuk berdiri. Sekitar lima belas tahun lalu, Pemerintah sudah mengakui Konsultan HKI lewat PP No. 33 Tahun 1991. Revisi perundang-undangan hak kekayaan intelektual juga turut mempengaruhi payung hukum buat Konsultan. Terakhir, keberadaan Konsultan HKI dikukuhkan lewat Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2005.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MEMBANGUN
PROFESI KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
LANGKAH MENUJU PROFESIONALISME
DAN KEMANDIRIAN PROFESI

Penulis: Ari Juliano Gema
Penerbit: Hukumonline.com dan Assegaf Hamzah & Partners
Terbit : Agustus 2006
Halaman: 152, termasuk lampiran

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Peraturan ini sudah meletakkan dasar-dasar bagi segenap anggota Konsultan HKI untuk membangun rumah bersama. Ada hak, ada kewajiban, sistem evaluasi, dan kemungkinan mengeluarkan anggota yang nakal dari rumah bersama tersebut. Yang lebih penting sekarang adalah menyamakan persepsi, langkah dan tekad segenap Konsultan HKI untuk tinggal di rumah bersama. Rumah itulah yang kelak menjadi organisasi profesi bagi Konsultan HKI.

Bagi penulis, rumah bersama sebagai organisasi profesi itu sangat penting diwujudkan. Paling tidak ada tiga alasan yang dikemukakan. Pertama, jika para Konsultan HKI bersatu dalam suatu wadah, posisi tawarnya lebih kuat dalam pengambilan kebijakan di bidang hak kekayaan intelektual. Kedua, bersatunya Konsultan akan memudahkan mereka mengelola dan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada. Ketiga, organisasi yang solid yang didukung kode etik yang konsisten akan memberikan pedoman bagi siapapun untuk menilai kapabilitas dan profesionalisme Konsultan HKI (hal. 27-28).

Atas dasar ketiga argumen di atas, penulis mencoba merancang sebuah organisasi profesi yang ideal. Termasuk fungsi, alat-alat kelengkapan, dan kode etik. Disinilah penulis terjebak pada idealisme profesi. Bagi penulis, keberadaan organisasi bisa difungsikan sebagai wadah mensosialisasikan pemahaman masyarakat terhadap HKI. Masyarakat berposisi sebagai objek. Sebaliknya, organisasi itu harus difungsikan untuk melindungi serta memperjuangkan kepentingan profesi Konsultan HKI (hal. 29). Seolah-olah melindungi anggota Konsultan HKI jauh lebih penting daripada memperjuangkan hak-hak masyarakat di bidang kekayaan intelektual.

Penulis memang berangkat dari suatu pandangan bahwa Konsultan HKI adalah ’mitra kerja’ bagi Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Atas dasar itu pula, penulis mengkritik aturan dalam PP No. 2 Tahun 2005 yang mewajibkan Konsultan HKI mengajukan minimal 10 permohonan di bidang hak kekayaan intelektual setiap tahun. Kewajiban ini adalah dalam konteks evaluasi kinerja Konsultan oleh Ditjen HKI. Penulis juga mengkritik belum lengkapnya aturan main jika para Konsultan ribut di dalam rumah bersama tersebut. Apakah seseorang yang sudah dikeluarkan lewat jendela, masih bisa masuk melalui pintu?

Inilah yang menjadi pekerjaan bersama bagi Konsultan HKI. Penulis yakin bahwa pekerjaan itu bisa diselesaikan jika mereka mau hidup bersama di dalam rumah besar. Sekaranglah saatnya karena Konsultan HKI tidak mungkin menunggu godot turun dari langit.

Bila belum terlalu paham dasar-dasar Konsultan HKI penulis melampirkan PP No. 2 Tahun 2005 dalam buku bersampul putih ini. Bahkan dilengkapi pula daftar Konsultan HKI angkatan pertama yang berjumlah 255 orang. Bagaimana dengan Anda? Siapa tahu Anda pun ternyata setuju dengan gagasan penulis.... (Mys)
* Tulisan ini adalah resensi buku "Membangun Profesi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual" yang dimuat di situs Hukumonline pada tanggal 11 September 2006 (http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15457&cl=Resensi)

Wednesday, September 06, 2006

Kasus Lumpur Panas Sidoarjo: Kejahatan Individu atau Kejahatan Korporasi?

oleh Ari Juliano Gema

Dalam kertas posisi WALHI terhadap kasus lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, WALHI menyimpulkan bahwa telah terjadi kejahatan korporasi yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Untuk itu, WALHI mendesak kepada pihak yang berwenang untuk mengupayakan agar PT Lapindo Brantas mempertanggungjawabkan tindakannya di depan pengadilan atas lumpur panas dan kebocoran gas yang telah merugikan masyarakat dan lingkungan hidup yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo.

Dari hal tersebut di atas, maka timbul pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan kejahatan korporasi itu? Apakah sistem hukum Indonesia mengenal adanya kejahatan korporasi? Apakah kasus lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo tersebut dapat dianggap sebagai akibat dari kejahatan korporasi?
Korporasi dan Kejahatan Korporasi

Meski dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini tidak dikenal istilah “korporasi”, namun demikian istilah “korporasi” dalam ranah hukum pidana di Indonesia sebenarnya telah dicoba untuk diperkenalkan oleh para ahli hukum pidana dalam Rancangan KUHP pada tahun 1987/1988 (BPHN: 1987), yang mana korporasi diartikan sebagai “kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik merupakan badan hukum atau pun bukan”. Pengertian ini ternyata telah diadopsi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini untuk menjelaskan pihak yang menjadi pelaku tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan tersebut, seperti dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut di atas, secara ringkas dapat diambil kesimpulan bahwa kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pengertian ini memberikan perbedaan yang tegas terhadap kejahatan yang dilakukan oleh manusia atau individu.

Pada dasarnya, kejahatan korporasi telah dikenal dalam sistem hukum Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang (UU Drt. No. 17/1951) (Sjahdeini, 2006: 130). Dalam Pasal 11 ayat (1) UU Drt. No. 17/1951 telah diatur ketentuan sebagai berikut: “Bilamana suatu perbuatan yang boleh dihukum berdasarkan undang-undang ini, dilakukan oleh suatu badan hukum, maka tuntutan itu dilakukan dan hukuman dijatuhkan terhadap badan-badan hukum itu atau terhadap orang-orang termaksud dalam ayat (2) pasal ini, atau terhadap kedua-duanya”. Dengan demikian, UU Drt. No. 17/1951 dan berbagai undang-undang khusus lainnya di luar KUHP yang mengatur mengenai korporasi sebagai pelaku tindak pidana, telah memperluas atau menambah subyek tindak pidana dari semula hanya terbatas kepada manusia menjadi memasukkan pula korporasi sebagai subyek tindak pidana (Muladi dan Priyatno, 1981: 30).

Dalam UU No. 23/1997 sendiri telah ditentukan bahwa apabila tindak pidana terhadap lingkungan hidup dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan pidana, sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana ditentukan dalam UU No. 23/1997 dijatuhkan baik terhadap korporasi maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu. Lebih lanjut ditentukan bahwa apabila tindak pidana terhadap lingkungan hidup tersebut dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiganya.

Selain sanksi pidana sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU No. 23/1997, pelaku tindak pidana terhadap lingkungan hidup, termasuk korporasi, dapat pula dikenakan tindakan tata tertib. Adapun tindakan tata tertib sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU No. 23/1997 adalah: (i) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; (ii) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; (iii) perbaikan akibat tindak pidana; (iv) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; (v) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (vi) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Menentukan Pelaku Tindak Pidana

Menurut Prof. Sutan Remy Sjahdeini (2006: 57), suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila sekalipun perbuatan korporasi dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan kepengurusan atau kegiatan korporasi, namun perbuatan itu dilakukan dengan maksud memberikan manfaat, terutama berupa keuntungan finansial atau pun menghindarkan/mengurangi kerugian finansial bagi korporasi yang bersangkutan.

Dalam UU No. 23/1997 sendiri telah ditentukan bahwa tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi apabila tindak pidana terhadap lingkungan hidup dilakukan oleh atau atas nama korporasi. Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh Prof. Sutan Remy Sjahdeini dan ketentuan dalam UU No. 23/1997 tersebut pada dasarnya dapat dijadikan pertimbangan bagi aparat penegak hukum dalam menentukan pelaku tindak pidana dalam kasus lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo tersebut, dengan tetap memperhatikan bukti-bukti yang terdapat di lapangan.

Di lain pihak, aparat penegak hukum juga harus mempertimbangkan dampak keputusannya terhadap stakeholders dari korporasi yang bersangkutan apabila kasus lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo diputuskan sebagai akibat kejahatan korporasi. Para pegawai, pemegang saham, kreditor dan investor yang tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan atau perbuatan korporasi tersebut tentu akan turut dirugikan apabila korporasi dijatuhi sanksi pidana dan/atau tindakan tata tertib sebagaimana ditentukan dalam UU No. 23/1997 tersebut.

Namun demikian, hal tersebut tidak boleh membuat aparat penegak hukum menjadi bimbang dan ragu. Aparat penegak hukum harus berani mengambil sikap berdasarkan pertimbangan yang matang, karena bagaimanapun juga hukum harus tetap ditegakkan dengan upaya maksimal untuk memberikan keadilan bagi semua pihak.