Thursday, December 03, 2009

3 Alasan Mengapa Saya Menolak RPP Penyadapan

oleh Ari Juliano Gema


Dalam berbagai pemberitaan, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menyatakan bahwa pemerintah sedang mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah tentang tata cara intersepsi (RPP Penyadapan), yang merupakan turunan dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut Menkominfo, RPP Penyadapan akan selesai paling lambat April 2009. Beberapa pihak menilai, apabila RPP Penyadapan tersebut disahkan maka akan menghambat kerja KPK dalam memberantas korupsi.


Dalam acara di sebuah stasiun TV, Menkominfo menjelaskan masalah RPP Penyadapan, bersama dengan aktivis ICW dan anggota Komisi I DPR. Setelah menyimak penjelasan beliau di acara tersebut, saya semakinyakin bahwa RPP Penyadapan tersebut memang harus ditolak, setidak-tidaknya dengan alasan sebagai berikut:


1. Menkominfo sepertinya tidak memahami hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 10/2004). Menurutnya, sambil menunggu undang-undang (UU) yang mengatur penyadapan disahkan DPR, maka perlu diterbitkan dulu peraturan pemerintah (PP) untuk mengaturnya. Padahal dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 tentang uji materi UU KPK ditentukan bahwa syarat dan tata cara tentang penyadapan harus ditetapkan dengan undang-undang, apakah dalam UU KPK yang diperbaiki atau dalam undang-undang lain. PP yang secara hirarki berada dibawah UU tidak boleh mengatur materi yang seharusnya diatur dalam UU.


2. Berkali-kali Menkominfo menyatakan bahwa RPP Penyadapan dibuat sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), sehingga seolah-olah kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK telah melanggar HAM. Mungkin beliau lupa bahwa menurut UUD ’45 sendiri HAM dapat dibatasi melalui UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan HAM orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Itulah yang menjadi alasan mengapa kewenangan penyadapan oleh KPK sebagaimana diatur dalam UU KPK tidak pernah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.


3. Dalam naskah RPP Penyadapan versi 6 Oktober 2009 yang dirujuk aktivis ICW, ditemukan beberapa ketentuan yang dinilai dapat menghambat kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK, yang salah satunya adalah diperlukannya penetapan Ketua Pengadilan Negeri (KPN) untuk melakukan penyadapan. Ditentukan bahwa penetapan KPN dikeluarkan dalam waktu 3 x 24 jam sesudah permintaan diterima. Proses ini tentu saja dapat menghambat KPK dalam menangani kasus korupsi. Bagaimana seandainya KPK ingin melakukan penyadapan dalam waktu sesegera mungkin agar tidak kehilangan momen? Bagaimana seandainya KPK hendak menyadap pihak-pihak di lingkungan lembaga peradilan itu sendiri? Siapa yang bisa menjamin tidak ada kebocoran informasi atas penetapan KPN tersebut mengingat kenyataan adanya mafia peradilan?


Berdasarkan tiga alasan di atas, saya harap Menkominfo mau berbesar hati menghentikan proses pembuatan RPP Penyadapan dan menunggu saja dibuatnya UU yang mengatur mengenai penyadapan. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 11/Per/M.Kominfo/02/2008 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi yang telah diterbitkan pada periode lalu saya pikir telah cukup memadai untuk mengatur segi teknis penyadapan yang sah, tanpa mengatur hal-hal yang membatasi ketentuan dalam UU diatasnya.

Rata Penuh



Labels: , , , ,