Monday, December 25, 2006

Mahkamah Konstitusi yang Menjengkelkan

oleh Ari Juliano Gema

Saat ini, saya sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kejengkelan saya terhadap Mahkamah Konstitusi (MK). Sebuah institusi yang dulu diidam-idamkan sebagai benteng penjaga nilai-nilai konstitusi, sekarang malah menjadi salah satu sumber masalah hukum terbesar di Indonesia.

Pembentukan MK

MK lahir berdasarkan amanat Perubahan Ketiga UUD 1945 pada 10 Nopember 2001. Pada Pasal 24C UUD 1945 diatur mengenai wewenang MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam rangka: (i) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (ii) memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (iii) memutus pembubaran partai politik; dan (iv) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

Kemudian, ketentuan lebih lanjut mengenai MK diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Dalam UU MK dijelaskan lebih detil mengenai kewenangan MK berdasarkan UUD 1945 dan hukum acaranya. Pada UU MK juga dijelaskan juga bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh MK adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, yaitu sejak disahkannya perubahan pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.

“Dosa-Dosa” MK

Meski awalnya saya berharap banyak dengan keberadaan lembaga ini, namun ternyata mencermati perkembangan MK melalui beberapa putusannya membuat saya sangat jengkel. Bagaimana tidak jengkel, pertama, meski Pasal 50 UU MK mengatur bahwa undang-undang yang dapat diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, namun MK pernah mengesampingkan ketentuan pasal itu pada saat MK menguji UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam putusan MK No. 004/PUU-I/2003 tanggal 30 Desember 2003. MK beralasan bahwa pengesampingan Pasal 50 UU MK bukan dalam rangka menguji pasal tersebut, melainkan hasil dari menafsirkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945.

Terus terang, saya tidak bisa menerima kalau pengesampingan Pasal 50 UU MK itu dilakukan tanpa ada kejelasan apakah Pasal 50 UU MK itu dibatalkan atau tidak. Apabila MK mengesampingkan Pasal 50 UU MK tanpa membatalkan pasal tersebut apakah ini berarti MK juga dapat begitu saja mengesampingkan pasal-pasal yang lain dalam UU MK tanpa perlu ada mekanisme pembatalan? Untungnya, dalam putusan MK No. 066/PUU-II/2004 pada tanggal 13 April 2005 Pasal 50 UU MK itu akhirnya dibatalkan MK karena bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, MK seringkali memberikan putusan yang melebihi tuntutan atau petitum dari para pemohonnya (ultra petita). Sudah banyak undang-undang yang menjadi “korban” dari putusan MK yang “seenak-udelnya” ini, yaitu antara lain UU Advokat, UU Komisi Yudisial, dan yang terakhir adalah UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah dibatalkan secara keseluruhan. Hal ini jelas telah melanggar doktrin yang berlaku umum bahwa pengadilan hanya memutus sesuai dengan tuntutan atau petitum dari pemohonnya.

Ketiga, pada saat MK menguji UU Komisi Yudisial (KY) selain menjatuhkan putusan yang melebihi petitum, putusan MK juga menyatakan bahwa KY tidak berwenang sama sekali untuk mengawasi dan memeriksa kinerja dan perilaku hakim-hakim MK. Ada apa ini? Apakah MK ingin membangun institusi yang kebal pengawasan?

Keempat, kontroversi kembali terjadi ketika baru-baru ini MK memutuskan bahwa pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berdasarkan Pasal 53 UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan UUD 1945. Masalahnya, dalam putusan itu MK masih memberikan waktu bagi Pengadilan Tipikor untuk tetap berjalan paling lama 3 tahun sampai dibentuknya UU tersendiri tentang Pengadilan Tipikor. Bagaimana mungkin sesuatu yang sudah diputus inkonstitusional namun masih diberikan waktu untuk tetap berjalan? Apakah ini berarti sifat inkonstitusional itu bisa ditangguhkan? Membingungkan sekali!

Tiada Cara Lain

Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi “kesemrawutan” yang ditimbulkan oleh MK ini? Sayangnya tidak ada cara yang mudah. Perubahan UUD 1945 terlalu besar memberikan kekuasaan kepada MK. Ironis sekali memang. Ketika gelombang reformasi menuntut agar dibangun sistem yang menjamin agar kekuasaan lembaga-lembaga Negara dapat terkontrol dan jelas akuntabilitasnya, tiba-tiba tanpa disadari kita membesarkan sebuah lembaga yang tumbuh bagaikan makhluk rekayasa dr. Frankenstein dalam film “Frankenstein”. Ya, makhluk dengan kekuatan besar yang tidak tahu diri.

Satu-satunya cara untuk mengatasi “kesemrawutan” yang ditimbulkan oleh MK itu adalah dengan melakukan perubahan UUD 1945 sekali lagi khusus pada ketentuan mengenai MK. Hal penting yang harus diatur dalam perubahan itu adalah: (i) harus ditegaskan bahwa putusan MK tidak boleh diberikan melebihi tuntutan atau petitum dari pemohonnya; dan (ii) hakim-hakim MK adalah termasuk dalam obyek pengawasan KY.
Apabila memang dirasakan keberadaan MK ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, mungkin para anggota MPR dapat mempertimbangkan untuk membubarkan saja keberadaan MK. Bagaimanapun juga pernah ada pemikiran yang mengemuka pada saat perdebatan mengenai pembentukan MK, yaitu bahwa undang-undang merupakan produk dari kedaulatan rakyat yang dipegang dan dijalankan oleh pemerintah dan DPR, selaku pembentuk undang-undang berdasarkan asas kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, undang-undang tidak bisa dibatalkan oleh putusan satu majelis hakim yang terdiri dari beberapa orang yang tidak pernah mendapatkan mandat dari rakyat.

Monday, December 18, 2006

Perda Bermasalah: Siapa yang Salah?

oleh Ari Juliano Gema

Pemerintah daerah mungkin perlu lebih berhati-hati dalam menerbitkan peraturan daerah (perda). Dalam pernyataannya pada pembukaan Forum Investasi Regional Indonesia yang diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa pemerintah pusat akan membatalkan 804 perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi.

Sebagian kalangan menyambut antusias rencana pembatalan perda-perda bermasalah. Mereka menilai bahwa rencana itu, selain akan meningkatkan investasi dan pelayanan publik, juga akan memaksa elit daerah benar-benar memperhatikan dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam membuat perda. Namun, sebagian kalangan juga mengkhawatirkan bahwa rencana itu akan mengembalikan otoritas pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.

Penyusunan Perda

Terlepas dari polemik rencana pembatalan perda-perda bermasalah itu, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu proses penyusunan perda berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah). Pada dasarnya, perda dibentuk dalam rangka penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat sebenarnya berhak untuk memberikan masukan dalam rangka penyiapan dan pembahasan perda, namun bagaimana mekanisme peran serta masyarakat itu tidak jelas diatur dalam UU Otonomi Daerah.

Apabila rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota telah ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sebagai perda, maka perda itu disampaikan kepada pemerintah pusat setelah perda itu ditetapkan. Pemerintah pusat dapat membatalkan perda itu apabila bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Keputusan pembatalan perda itu ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak perda itu diterima oleh pemerintah pusat. Apabila tidak ada Peraturan Presiden yang membatalkan perda itu dalam jangka waktu 60 hari itu, maka perda itu dinyatakan berlaku.

Paling lama 7 hari sejak keputusan pembatalan perda itu, kepala daerah yang bersangkutan harus memberhentikan pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah itu mengeluarkan perda yang mencabut perda dimaksud. Kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung apabila pemerintah daerah yang bersangkutan keberatan atas keputusan pembatalan itu. Apabila keberatan itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya oleh Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk mengevaluasi rancangan perda propinsi dan peraturan Gubernur yang mengatur tentang APBD, perubahan APBD dan penjabarannnya, sebelum perda dan peraturan Gubernur itu ditetapkan. Apabila berdasarkan hasil evaluasi itu, Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa rancangan perda dan peraturan Gubernur itu bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur dan DPRD harus menyempurnakan rancangan perda itu untuk dievaluasi kembali oleh Menteri Dalam Negeri. Apabila Gubernur dan DPRD tidak menindaklanjuti hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri tersebut dan tetap menetapkan rancangan perda dan peraturan Gubernur itu, maka Menteri Dalam Negeri dapat membatalkannya sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya apabila yang dibatalkan adalah perda tentang APBD.

Kewenangan untuk mengevaluasi rancangan perda kabupaten/kotamadya tentang APBD diberikan kepada Gubernur yang membawahi wilayah kabupaten/kotamadya itu, dengan proses yang sama seperti evaluasi rancangan perda propinsi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Hasil evaluasi atas rancangan perda kabupaten/kotamadya itu akan disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri.

Proses penetapan rancangan perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah juga harus melalui proses evaluasi yang sama dengan proses penetapan rancangan perda tentang APBD. Namun, untuk rancangan perda yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, sedangkan untuk rancangan perda yang berkaitan dengan tata ruang daerah harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang.

Siapa yang Salah?

Setelah mengetahui proses penyusunan perda, kita bisa melihat siapa saja sebenarnya pihak-pihak yang mungkin turut bertanggung jawab “melahirkan” perda yang dianggap bermasalah itu. Pertama, masyarakat dapat dianggap turut bertanggung jawab apabila masyarakat tidak menggunakan haknya untuk memberikan masukan dalam hal mengingatkan kepala daerah dan DPRD agar perda yang disusun tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Namun, hal ini sebenarnya dapat dimaklumi mengingat masyarakat mungkin tidak paham bagaimana menggunakan haknya karena ketidakjelasan mekanisme peran serta masyarakat itu di dalam UU Otonomi Daerah dan peraturan pelaksanaannya.

Kedua, kepala daerah dan DPRD yang bersangkutan juga bertanggung jawab apabila mereka memang memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Namun, bisa juga kepala daerah dan DPRD itu tidak mengetahui atau mengetahui tapi tidak mengerti mengenai peraturan yang harus dirujuknya dalam menyusun perda.

Ketiga, pemerintah pusat juga tidak bisa lepas tangan karena mungkin saja Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan atau menteri yang membidangi urusan tata ruang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dalam mengevaluasi rancangan perda yang diajukan kepada mereka sehingga ketika perda itu ditetapkan ternyata pada pelaksanaannya dianggap perda bermasalah. Mungkin juga parameter yang digunakan pemerintah pusat dalam menilai suatu perda tidak sesuai dengan keadaan aktual dari daerah yang bersangkutan. Kurangnya sosialisasi yang intensif oleh pemerintah pusat kepada seluruh pemerintah daerah di Indonesia mengenai keberadaan peraturan perundang-undangan yang harus dirujuk mereka dalam menyusun perda juga dapat menjadi penyebab lahirnya perda bermasalah.

Disamping itu, tidak memadainya dana perimbangan yang didapat dari pemerintah pusat untuk mengoptimalkan pembangunan di daerah dapat mendorong pemerintah daerah untuk mencari tambahan pendapatan dengan menerbitkan perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang beberapa diantaranya kemudian dianggap sebagai perda bermasalah. Dorongan itu dapat lebih kuat lagi apabila ternyata proses pencairan dana perimbangan dari kas umum Negara sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Kesulitan ini bisa jadi karena pemerintah daerah tidak dapat memenuhi persyaratan untuk pencairan dana perimbangan itu, atau bisa juga karena birokrasi yang menangani pencairan dana itu sengaja mempersulit prosesnya untuk “memaksa” pemerintah daerah memberikan “uang pelicin” agar proses pencairan dana itu dapat lebih mudah.

Keempat, peraturan yang lebih tinggi dari perda mungkin saja tidak peka dengan isu otonomi daerah. Peraturan di tingkat pusat itu mungkin dibuat sebelum masalah otonomi daerah menjadi perhatian utama atau dibuat hanya untuk mempermudah implementasi investasi di daerah namun tidak memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang di masing-masing daerah, sehingga apabila peraturan itu diikuti justru tidak dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Meminimalisir Perda Bermasalah

Setelah melihat pihak-pihak yang mungkin turut bertanggung jawab “melahirkan” perda bermasalah, ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meminimalisir terbitnya perda-perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi, yaitu pertama, pemerintah pusat harus menetapkan peraturan pelaksana UU Otonomi Daerah yang khusus mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam memberikan masukan untuk penyiapan atau pembahasan perda. Masyarakat juga harus diberi hak untuk memberikan masukan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan atau menteri yang membidangi urusan tata ruang dalam mengevaluasi rancangan perda yang diajukan kepada mereka. Peraturan itu juga harus mengatur secara tegas kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhi hak masyarakat itu.

Kedua, berkenaan dengan peran serta masyarakat itu, pemerintah pusat dan daerah harus menyelenggarakan suatu sistem informasi terpadu yang memungkinkan dipublikasikannya secara luas rancangan perda dan perda yang telah berlaku, agar masyarakat dapat dengan mudah memberi masukan atas suatu rancangan perda dan memantau pelaksanaan perda yang telah berlaku. Ketiga, pemerintah pusat harus mengevaluasi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang berhubungan dengan otonomi daerah untuk melihat sejauh mana peraturan itu peka terhadap perkembangan situasi dan kondisi di daerah. Apabila memang suatu daerah karena ciri khasnya serta perkembangan situasi dan kondisinya perlu diatur secara khusus atau dikecualikan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka pemerintah pusat harus dapat mengakomodasi hal tersebut. Untuk itu, parameter yang digunakan pemerintah pusat untuk menilai apakah suatu perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi juga harus dievaluasi.

Keempat, dalam menentukan dana perimbangan untuk suatu pemerintah daerah, pemerintah pusat harus benar-benar memahami kebutuhan aktual dari pemerintah daerah tersebut dengan melakukan dialog atau konsultasi intensif dengan pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan bahwa dana perimbangan yang diberikan adalah wajar dan memadai bagi pemerintah daerah itu untuk melakukan pembangunan daerah secara optimal, sehingga pemerintah daerah itu tidak terdorong menerbitkan perda untuk menambah pendapatan daerahnya dengan melakukan pungutan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Kelima, pemerintah pusat harus mengawasi benar kinerja aparat birokrasinya, khususnya yang memiliki bidang tugas berhubungan dengan pelayanan kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat harus memastikan bahwa aparat birokrasinya akan memberikan pelayanan yang maksimal kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.

Keenam, sosialisasi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari perda kepada pemerintah daerah mutlak untuk dilakukan oleh pemerintah pusat secara intensif. Terlalu naif apabila mengharapkan semua pemerintah daerah telah tahu dan dapat mengerti sendiri peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang harus dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun perdanya, mengingat lokasi dan kemampuan menyerap informasi dari masing-masing pemerintah daerah berbeda-beda.

Intinya, dalam menangani perda bermasalah, hendaknya pemerintah pusat juga melakukan introspeksi diri dan tidak selalu menimpakan kesalahan kepada pemerintah daerah semata. Jangan hanya demi mengundang investasi asing sebesar-besarnya, pemerintah pusat bertindak gegabah membatalkan suatu perda tanpa mempertimbangkan perkembangan situasi dan kondisi aktual dari daerah yang bersangkutan.

Wednesday, December 13, 2006

Apakah Sekarang Kita Sudah Bebas Menghina Presiden?

oleh Ari Juliano Gema

Begitu kira-kira pertanyaan seorang kawan kepada saya berkaitan dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006. Sejak dibacakannya putusan MK tersebut pada tanggal 7 Desember 2006 lalu, maka Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan pasal-pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karena itu pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Sebagai informasi, dalam Pasal 134 KUHP dijelaskan bahwa penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara maksimal 6 tahun. Dijelaskan lagi oleh Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP bahwa penghinaan tersebut adalah termasuk segala perbuatan baik secara lisan atau tulisan, maupun melalui gambar, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, meskipun tidak bermaksud mencemarkan nama baik, di depan umum maupun tidak di depan umum tapi diketahui oleh orang lain.

Penghinaan Terhadap Kepala Negara

Dengan cakupan yang sedemikian luas, pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara tersebut sudah banyak menelan korban dari kalangan aktivis, oposan maupun pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah. Pada masa pemerintahan Presiden SBY, ada dua kasus yang cukup menarik berkenaan dengan penggunaan pasal-pasal tersebut, yaitu kasus yang menimpa Herman Saksono dan Eggi Sudjana. Pada kasus pertama, Herman Saksono, blogger asal Yogyakarta, harus berurusan dengan polisi lantaran dituding menghina kepala negara. Herman merekayasa foto penyanyi Mayangsari yang berpose bersama Bambang Trihatmodjo, lalu menggantinya dengan wajah Presiden SBY plus sejumlah figur beken lainnya. Ia lalu menampilkan foto hasil rekayasa itu di blog yang dikelolanya.

Akibat perbuatannya itu, Herman harus menjalani pemeriksaan berjam-jam di kantor polisi. Presiden SBY sendiri tidak berkeinginan memperpanjang masalah ini. Presiden SBY hanya berpesan bahwa kalau memang perbuatan itu tidak bermaksud untuk menghina, maka Herman cukup dipanggil dan dinasehati saja. Rupanya pesan SBY itu berpengaruh terhadap proses pemeriksaan Herman. Setelah Herman bersedia menghapus foto hasil rekayasa yang terpasang di blog-nya tersebut, pemeriksaan polisi pun berhenti dengan sendirinya.

Eggi Sudjana dianggap melakukan tindakan penghinaan kepada Presiden lantaran Eggi menemui Ketua KPK Taufiqurachman Ruki untuk mengklarifikasi mengenai adanya rumors pemberian hadiah beberapa unit mobil oleh seorang pengusaha kepada Presiden SBY dan orang-orang di lingkungan istana kepresidenan. Masalah muncul ketika Eggi kemudian menyampaikan rumors tersebut secara terbuka kepada wartawan. Setelah menjalani proses pemeriksaan di kepolisian, kasus Eggi pun kemudian disidangkan dalam perkara pidana berkenaan dengan penghinaan dengan sengaja kepada Presiden berdasarkan Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP.

Karena merasa hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 28F UUD 1945 dilanggar, yaitu berkenaan dengan hak untuk menyampaikan dan memperoleh informasi, maka Eggi mengajukan permohonan kepada MK untuk menyatakan tidak berlakunya Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP karena bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan Eggi itulah, MK kemudian menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Aturan ‘Menghina’ Presiden

Apakah dengan tidak berlakunya Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP maka setiap orang jadi bebas ‘menghina’ Presiden? Nanti dulu. Para aktivis, oposan dan pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah sepertinya masih harus tetap waspada.

Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP itu berada dalam bab mengenai kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pada bab itu, masih ada satu pasal yang lolos dari hantaman palu godam MK, yaitu Pasal 131 KUHP yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap perbuatan penyerangan terhadap diri Presiden atau Wakil Presiden dapat diancam dengan pidana penjara maksimal 8 tahun. Meskipun saya sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penyerangan itu adalah penyerangan secara fisik, namun ada juga ahli hukum yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penyerangan itu adalah termasuk juga penyerangan secara non-fisik terhadap kehormatan dan martabat Presiden atau Wakil Presiden. Adanya ahli hukum yang berpendapat demikian dapat dijadikan dasar oleh aparat penegak hukum untuk memproses setiap bentuk kritik yang dinilai menyerang kehormatan dan martabat kepala negara.

Disamping itu, masih ada Pasal 316 KUHP yang pada pokoknya mengatur penyerangan kehormatan atau nama baik seorang pejabat yang sedang bertugas atau karena sedang menjalankan tugasnya yang sah. Pasal ini dapat dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum untuk memproses setiap bentuk kritik yang dinilai menyerang kehormatan atau nama baik Presiden atau Wakil Presiden, dengan asumsi bahwa pengertian pejabat adalah juga termasuk jabatan Presiden atau Wakil Presiden.

Saya tidak bermaksud menakut-nakuti pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa perjuangan untuk menegakkan kebebasan berpendapat di negeri ini belum selesai sepenuhnya. Mungkin kita masih harus berharap adanya sikap kenegarawanan dari para pejabat negara dalam menanggapi kritik yang ditujukan terhadap mereka, sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Presiden SBY dalam menanggapi kasus Herman Saksono.

Monday, December 04, 2006

Ratu Felisha, Tindak Pidana dan Peran Negara

oleh Ari Juliano Gema

Masih ingat berita heboh tentang artis film/sinetron Ratu Felisha? Untuk menyegarkan ingatan, saya akan sedikit menguraikan kronologi kasus itu. Menurut berita di media massa, pada 20 Nopember 2006, Ratu Felisha, yang akrab disapa Feli, terlibat adu mulut dengan penyanyi Andhien dan pacarnya, Andhika, di sebuah mal di kawasan Senayan, Jakarta. Adu mulut tersebut membuat emosi Feli memuncak, hingga akhirnya Feli memukul kepala Andhika dengan hak sepatunya sampai kepala Andhika berdarah.

Akibat kejadian itu, Andhika mengadukan Feli atas dugaan penganiayaan ke Mapolres Jakarta Pusat. Atas pengaduan itu, pada 30 Nopember 2006, Feli diperiksa di Mapolres Jakarta Pusat selama kurang lebih 9 Jam. Kemudian, pada 1 Desember 2006, Feli resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolres Jakarta Pusat untuk menjalani pemeriksaan intensif. Berdasarkan keterangan Andhika, Feli sebenarnya sudah mengajukan permohonan maaf kepada Andhika, dan Andhika sendiri sudah memaafkannya. Untuk itu, Andhika dan Feli sedang mengupayakan suatu perdamaian di antara mereka.

Tindak Pidana

Menurut informasi dari media massa, Feli dijadikan tersangka berdasarkan ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada pokoknya mengatur bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan, dan apabila mengakibat luka-luka berat pada si korban maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun. Namun apabila penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian maka menurut Pasal 352 ayat (1) KUHP si pelaku hanya diancam dengan pidana penjara maksimal 3 bulan.

Kalau Andhika sudah memaafkan Feli, bukankah berarti masalahnya sudah selesai? Tunggu dulu. Masalah yang mana dulu, nih? Kalau masalah di antara Andhika dan Feli mungkin sudah selesai, tapi masalah Feli dengan Negara Republik Indonesia belum tentu selesai. Lho, apa hubungannya dengan Negara Republik Indonesia, sih?

Jelas ada hubungannya, dong. Negara Republik Indonesia memiliki hukum pidana yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut kepentingan publik. Oleh karena itu, menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro (1981), penegakan hukum pidana pada hakikatnya tidak tergantung dari kehendak seorang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan terserah kepada Negara sebagai representasi dari kepentingan publik. Dengan begitu Negara berwenang mengambil alih konflik yang terjadi antara pelanggar hukum pidana dengan korbannya, menjadi konflik antara pelanggar dengan Negara atau kepentingan publik. Negara kemudian menjadi satu-satunya pihak yang menjadi korban dari suatu kejahatan, walaupun dalam kenyataannya ada orang secara individu atau kolektif menderita dan dirugikan karena kejahatan itu (Mudzakkir: 2001).

Meski pada dasarnya proses hukum pidana tidak dapat dihentikan oleh si korban, namun memang ada pengecualian untuk beberapa tindak pidana yang dapat dihentikan proses pemeriksaannya apabila korban atau pihak yang mengadukan suatu tindak pidana menarik kembali pengaduan yang telah diajukan sebelumnya. Beberapa tindak pidana yang disebut sebagai delik aduan itu antara lain tindak pidana yang berhubungan dengan perzinahan (Pasal 284 KUHP), membawa lari perempuan (Pasal 332 KUHP), membuka rahasia (Pasal 322 KUHP), mengancam dengan penghinaan atau dengan membuka rahasia agar mendapat barang (pasal 369 KUHP), serta macam-macam penghinaan (Pasal 310 KUHP dan seterusnya), kecuali penghinaan terhadap seorang penguasa selama atau tentang melakukan jabatan.

Dengan demikian, karena penganiayaan tidak termasuk delik aduan, maka meskipun Andhika telah memaafkan Feli, dan Andhika kemudian menarik pengaduan yang diajukannya, proses hukum yang sedang dijalani Feli tidak dapat dihentikan begitu saja. Aparat kepolisian sebagai alat Negara hanya dapat menghentikan proses hukum terhadap Feli apabila: (i) tidak terdapat cukup bukti; (ii) peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana; atau (iii) penyidikan dihentikan demi hukum. Apabila proses hukum dihentikan, maka aparat kepolisian akan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, atau yang lebih dikenal sebagai SP3.

Pembelajaran

Merujuk hal di atas, kiranya perlu disadari bahwa Negara punya kewajiban untuk memastikan adanya keadilan bagi pelaku tindak pidana, korban dan kepentingan publik melalui suatu sistem peradilan pidana (criminal justice system). Hal ini untuk mencegah jangan sampai ada tindak pidana yang diselesaikan di luar sistem peradilan pidana yang justru akan berdampak buruk bagi kepentingan publik. Dijalankannya proses hukum pidana secara konsisten adalah untuk memberikan contoh bagi publik agar tidak melakukan tindak pidana yang sama dan memberikan pelajaran kepada pelaku tindak pidana agar tidak mengulang perbuatannya lagi dikemudian hari.

Dengan adanya kasus Ratu Felisha ini, mudah-mudahan kita dapat belajar, bahwa nasehat kuno “pikir dulu sebelum bertindak” kiranya tetap relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai perasaan menyesal baru datang belakangan, karena bagaimanapun juga sesal kemudian tiada berguna.