Wednesday, December 13, 2006

Apakah Sekarang Kita Sudah Bebas Menghina Presiden?

oleh Ari Juliano Gema

Begitu kira-kira pertanyaan seorang kawan kepada saya berkaitan dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006. Sejak dibacakannya putusan MK tersebut pada tanggal 7 Desember 2006 lalu, maka Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan pasal-pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karena itu pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Sebagai informasi, dalam Pasal 134 KUHP dijelaskan bahwa penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara maksimal 6 tahun. Dijelaskan lagi oleh Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP bahwa penghinaan tersebut adalah termasuk segala perbuatan baik secara lisan atau tulisan, maupun melalui gambar, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, meskipun tidak bermaksud mencemarkan nama baik, di depan umum maupun tidak di depan umum tapi diketahui oleh orang lain.

Penghinaan Terhadap Kepala Negara

Dengan cakupan yang sedemikian luas, pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara tersebut sudah banyak menelan korban dari kalangan aktivis, oposan maupun pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah. Pada masa pemerintahan Presiden SBY, ada dua kasus yang cukup menarik berkenaan dengan penggunaan pasal-pasal tersebut, yaitu kasus yang menimpa Herman Saksono dan Eggi Sudjana. Pada kasus pertama, Herman Saksono, blogger asal Yogyakarta, harus berurusan dengan polisi lantaran dituding menghina kepala negara. Herman merekayasa foto penyanyi Mayangsari yang berpose bersama Bambang Trihatmodjo, lalu menggantinya dengan wajah Presiden SBY plus sejumlah figur beken lainnya. Ia lalu menampilkan foto hasil rekayasa itu di blog yang dikelolanya.

Akibat perbuatannya itu, Herman harus menjalani pemeriksaan berjam-jam di kantor polisi. Presiden SBY sendiri tidak berkeinginan memperpanjang masalah ini. Presiden SBY hanya berpesan bahwa kalau memang perbuatan itu tidak bermaksud untuk menghina, maka Herman cukup dipanggil dan dinasehati saja. Rupanya pesan SBY itu berpengaruh terhadap proses pemeriksaan Herman. Setelah Herman bersedia menghapus foto hasil rekayasa yang terpasang di blog-nya tersebut, pemeriksaan polisi pun berhenti dengan sendirinya.

Eggi Sudjana dianggap melakukan tindakan penghinaan kepada Presiden lantaran Eggi menemui Ketua KPK Taufiqurachman Ruki untuk mengklarifikasi mengenai adanya rumors pemberian hadiah beberapa unit mobil oleh seorang pengusaha kepada Presiden SBY dan orang-orang di lingkungan istana kepresidenan. Masalah muncul ketika Eggi kemudian menyampaikan rumors tersebut secara terbuka kepada wartawan. Setelah menjalani proses pemeriksaan di kepolisian, kasus Eggi pun kemudian disidangkan dalam perkara pidana berkenaan dengan penghinaan dengan sengaja kepada Presiden berdasarkan Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP.

Karena merasa hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 28F UUD 1945 dilanggar, yaitu berkenaan dengan hak untuk menyampaikan dan memperoleh informasi, maka Eggi mengajukan permohonan kepada MK untuk menyatakan tidak berlakunya Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP karena bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan Eggi itulah, MK kemudian menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Aturan ‘Menghina’ Presiden

Apakah dengan tidak berlakunya Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP maka setiap orang jadi bebas ‘menghina’ Presiden? Nanti dulu. Para aktivis, oposan dan pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah sepertinya masih harus tetap waspada.

Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP itu berada dalam bab mengenai kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pada bab itu, masih ada satu pasal yang lolos dari hantaman palu godam MK, yaitu Pasal 131 KUHP yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap perbuatan penyerangan terhadap diri Presiden atau Wakil Presiden dapat diancam dengan pidana penjara maksimal 8 tahun. Meskipun saya sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penyerangan itu adalah penyerangan secara fisik, namun ada juga ahli hukum yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penyerangan itu adalah termasuk juga penyerangan secara non-fisik terhadap kehormatan dan martabat Presiden atau Wakil Presiden. Adanya ahli hukum yang berpendapat demikian dapat dijadikan dasar oleh aparat penegak hukum untuk memproses setiap bentuk kritik yang dinilai menyerang kehormatan dan martabat kepala negara.

Disamping itu, masih ada Pasal 316 KUHP yang pada pokoknya mengatur penyerangan kehormatan atau nama baik seorang pejabat yang sedang bertugas atau karena sedang menjalankan tugasnya yang sah. Pasal ini dapat dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum untuk memproses setiap bentuk kritik yang dinilai menyerang kehormatan atau nama baik Presiden atau Wakil Presiden, dengan asumsi bahwa pengertian pejabat adalah juga termasuk jabatan Presiden atau Wakil Presiden.

Saya tidak bermaksud menakut-nakuti pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa perjuangan untuk menegakkan kebebasan berpendapat di negeri ini belum selesai sepenuhnya. Mungkin kita masih harus berharap adanya sikap kenegarawanan dari para pejabat negara dalam menanggapi kritik yang ditujukan terhadap mereka, sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Presiden SBY dalam menanggapi kasus Herman Saksono.