Apa yang Kurang dari Pemikiran de Soto?
oleh Ari Juliano Gema
Pemberian status hukum bagi sektor informal adalah salah satu inti dari pemberdayaan sektor informal. Begitu kira-kira pokok pemikiran Hernando de Soto yang tertuang dalam bukunya The Mistery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else yang terbit pertama kali pada tahun 2000 dan telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.
Menurut mantan Gubernur Bank Sentral Peru ini, sektor informal adalah aktivitas ekonomi yang berada di luar sistem ekonomi yang legal, tak dilindungi hukum, dan rawan terhadap eksploitasi pihak-pihak yang memiliki kekuasaan resmi maupun tidak resmi. Dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, de Soto menegaskan kembali pemikirannya tersebut dihadapan berbagai kalangan mengenai pentingnya formalisasi kepemilikan lahan, rumah dan kegiatan usaha di sektor informal.
Penelitian de Soto
Melalui penelitiannya di Peru sekitar tahun 1980-an, de Soto menemukan bahwa banyak kegiatan usaha di sektor informal ternyata tidak memiliki izin usaha. Beberapa diantaranya sebenarnya telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan status hukum atas lahan, rumah dan kegiatan usaha mereka kepada otoritas yang berwenang. Namun ternyata mereka harus menghadapi sistem birokrasi yang tidak efektif dan efisien sehingga upaya yang mereka lakukan hanya menghabiskan waktu dan biaya saja. Hal ini sangat disayangkan de Soto, karena berdasarkan hasil penelitiannya itu diketahui bahwa 90 persen dari total usaha kecil, 82 persen dari total usaha transportasi di perkotaan, 60 persen dari total bisnis penangkapan ikan, serta 60 persen dari total usaha distribusi dan eceran yang ada di Peru, justru berasal dari sektor informal.
Hasil temuannya itu membuat pemerintah Peru menyadari bahwa ternyata tulang punggung perekonomian Peru adalah sektor informal. Dengan dukungan pemerintah Peru saat itu dan bantuan dana dari USAID, de Soto bersama rekan-rekannya mulai memfasilitasi perolehan status kepemilikan yang sah atas 300.000 usaha sektor informal di Peru, termasuk kepemilikan atas lahan dan rumah mereka. Kemudian, difasilitasi juga perolehan pinjaman dari lembaga pemberi kredit untuk usaha mereka, dengan jaminan kepemilikan mereka yang telah sah itu. Hasilnya, usaha yang tadinya berstatus sebagai sektor informal itu mampu meningkatkan penerimaan pajak oleh pemerintah sebesar 300 juta dollar AS per tahun.
Implementasi di Indonesia
Apabila pemikiran de Soto akan diterapkan di Indonesia, maka prasyarat utamanya adalah pelaku usaha di sektor informal itu harus telah memiliki lahan, rumah ataupun harta benda lainnya yang akan difasilitasi pengurusan keabsahan dokumen kepemilikannya untuk kemudian dijadikan jaminan dalam rangka memperoleh kredit dari bank. Masalahnya, belum tentu semua pelaku usaha sektor informal di Indonesia memiliki lahan dan rumah sendiri, ataupun harta benda lain yang bernilai signifikan. Banyak di antara mereka mungkin hanya menyewa rumah atau lahan untuk usahanya, atau bahkan tinggal di rumah yang tidak permanen di atas tanah milik pihak lain tanpa ijin. Bagaimana de Soto menyikapi hal itu?
Sayang, de Soto kurang mengupas lebih jauh mengenai masalah itu. Untuk itu, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk menyikapi masalah di atas, pertama, pemerintah dapat menerapkan model pembiayaan seperti yang dilakukan oleh Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya di Bangladesh yang memberikan kredit tanpa jaminan untuk orang miskin namun memiliki kemauan untuk memperbaiki nasibnya. Dengan demikian, seorang pelaku usaha di sektor informal tidak harus memiliki lahan dan rumah untuk dijadikan jaminan kredit dari bank.
Kedua, karena secara faktual ada sektor informal di Indonesia yang hanya mengandalkan pengetahuan dan ketrampilan, seperti misalnya pembuat sepatu atau barang kerajinan skala kecil, pembuat perkakas ringan, perancang busana, dan pengembang software individual, pemerintah dapat mensosialisasikan pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) atas hasil karya pelaku usaha tersebut, serta memberikan kemudahan dalam mengurus sertifikat HKI yang relevan untuk hasil karya mereka sebagai bukti kepemilikan yang sah. Hal ini penting, agar pelaku usaha mendapatkan perlindungan Negara dari tindakan pihak lain yang mencoba meniru dan memanfaatkan secara komersil hasil karyanya itu tanpa ijin pelaku usaha yang bersangkutan.
Setelah mendapatkan sertifikat HKI itu, pemerintah harus membantu menjembatani pelaku usaha itu dengan pelaku usaha besar atau investor yang berminat memproduksi hasil karya itu secara massal, agar pelaku usaha itu bisa mendapatkan royalti dari produksi hasil karyanya tersebut. Bukti kepemilikan HKI atas hasil karya pelaku usaha tersebut akan memperkuat posisi tawarnya terhadap pelaku usaha besar atau investor tersebut.
Pemberian status hukum bagi sektor informal adalah salah satu inti dari pemberdayaan sektor informal. Begitu kira-kira pokok pemikiran Hernando de Soto yang tertuang dalam bukunya The Mistery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else yang terbit pertama kali pada tahun 2000 dan telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.
Menurut mantan Gubernur Bank Sentral Peru ini, sektor informal adalah aktivitas ekonomi yang berada di luar sistem ekonomi yang legal, tak dilindungi hukum, dan rawan terhadap eksploitasi pihak-pihak yang memiliki kekuasaan resmi maupun tidak resmi. Dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, de Soto menegaskan kembali pemikirannya tersebut dihadapan berbagai kalangan mengenai pentingnya formalisasi kepemilikan lahan, rumah dan kegiatan usaha di sektor informal.
Penelitian de Soto
Melalui penelitiannya di Peru sekitar tahun 1980-an, de Soto menemukan bahwa banyak kegiatan usaha di sektor informal ternyata tidak memiliki izin usaha. Beberapa diantaranya sebenarnya telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan status hukum atas lahan, rumah dan kegiatan usaha mereka kepada otoritas yang berwenang. Namun ternyata mereka harus menghadapi sistem birokrasi yang tidak efektif dan efisien sehingga upaya yang mereka lakukan hanya menghabiskan waktu dan biaya saja. Hal ini sangat disayangkan de Soto, karena berdasarkan hasil penelitiannya itu diketahui bahwa 90 persen dari total usaha kecil, 82 persen dari total usaha transportasi di perkotaan, 60 persen dari total bisnis penangkapan ikan, serta 60 persen dari total usaha distribusi dan eceran yang ada di Peru, justru berasal dari sektor informal.
Hasil temuannya itu membuat pemerintah Peru menyadari bahwa ternyata tulang punggung perekonomian Peru adalah sektor informal. Dengan dukungan pemerintah Peru saat itu dan bantuan dana dari USAID, de Soto bersama rekan-rekannya mulai memfasilitasi perolehan status kepemilikan yang sah atas 300.000 usaha sektor informal di Peru, termasuk kepemilikan atas lahan dan rumah mereka. Kemudian, difasilitasi juga perolehan pinjaman dari lembaga pemberi kredit untuk usaha mereka, dengan jaminan kepemilikan mereka yang telah sah itu. Hasilnya, usaha yang tadinya berstatus sebagai sektor informal itu mampu meningkatkan penerimaan pajak oleh pemerintah sebesar 300 juta dollar AS per tahun.
Implementasi di Indonesia
Apabila pemikiran de Soto akan diterapkan di Indonesia, maka prasyarat utamanya adalah pelaku usaha di sektor informal itu harus telah memiliki lahan, rumah ataupun harta benda lainnya yang akan difasilitasi pengurusan keabsahan dokumen kepemilikannya untuk kemudian dijadikan jaminan dalam rangka memperoleh kredit dari bank. Masalahnya, belum tentu semua pelaku usaha sektor informal di Indonesia memiliki lahan dan rumah sendiri, ataupun harta benda lain yang bernilai signifikan. Banyak di antara mereka mungkin hanya menyewa rumah atau lahan untuk usahanya, atau bahkan tinggal di rumah yang tidak permanen di atas tanah milik pihak lain tanpa ijin. Bagaimana de Soto menyikapi hal itu?
Sayang, de Soto kurang mengupas lebih jauh mengenai masalah itu. Untuk itu, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk menyikapi masalah di atas, pertama, pemerintah dapat menerapkan model pembiayaan seperti yang dilakukan oleh Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya di Bangladesh yang memberikan kredit tanpa jaminan untuk orang miskin namun memiliki kemauan untuk memperbaiki nasibnya. Dengan demikian, seorang pelaku usaha di sektor informal tidak harus memiliki lahan dan rumah untuk dijadikan jaminan kredit dari bank.
Kedua, karena secara faktual ada sektor informal di Indonesia yang hanya mengandalkan pengetahuan dan ketrampilan, seperti misalnya pembuat sepatu atau barang kerajinan skala kecil, pembuat perkakas ringan, perancang busana, dan pengembang software individual, pemerintah dapat mensosialisasikan pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) atas hasil karya pelaku usaha tersebut, serta memberikan kemudahan dalam mengurus sertifikat HKI yang relevan untuk hasil karya mereka sebagai bukti kepemilikan yang sah. Hal ini penting, agar pelaku usaha mendapatkan perlindungan Negara dari tindakan pihak lain yang mencoba meniru dan memanfaatkan secara komersil hasil karyanya itu tanpa ijin pelaku usaha yang bersangkutan.
Setelah mendapatkan sertifikat HKI itu, pemerintah harus membantu menjembatani pelaku usaha itu dengan pelaku usaha besar atau investor yang berminat memproduksi hasil karya itu secara massal, agar pelaku usaha itu bisa mendapatkan royalti dari produksi hasil karyanya tersebut. Bukti kepemilikan HKI atas hasil karya pelaku usaha tersebut akan memperkuat posisi tawarnya terhadap pelaku usaha besar atau investor tersebut.
2 Comments:
lumayan menambah wawasan saya,
akan lebih baik bila tulisan ini dibuat sebagai paper tapi tentang perbandingan tentang ide de soto dan muhammad yunus, karena saya pikir keduanya sama-sama meningkatkan self value dan percaya dengan sistem pasar, tapi metodologinya beda. kalo papernya jadi saya minta yah di mukit_h@yahoo.co.id
Terima kasih atas komentarnya, Mukit
Sebenarnya ada juga keinginan untuk expand lebih jauh tulisan itu. Namun karena keterbatasan waktu dan ilmu saya, mungkin belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat.
Thanks anyway!
Post a Comment
<< Home