Bolehkah Hakim Menerima Hadiah?
oleh Ari Juliano Gema
Mahkamah Agung Republik Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Pedoman Perilaku Hakim (PPH) yang pertama kali dipublikasikannya pada Juni 2006 lalu tak pelak menuai kontroversi. Salah satu poin di dalam PPH yang menjadi sorotan adalah diperbolehkannya hakim menerima hadiah atau bantuan dari pemerintah daerah.
Menurut Ketua Tim Finalisasi Pedoman Perilaku Hakim, Iskandar Kamil, pada dasarnya PPH tersebut mengadopsi The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang merupakan hasil pertemuan para hakim di Den Haag, 25-26 Nopember 2002. Iskandar Kamil mengatakan bahwa The Bangalore Principles sebagai kode etik hakim dunia memperbolehkan hakim menerima hadiah dalam batas tertentu. Bahkan, menurutnya lagi, di Amerika Serikat pun hakim menerima hadiah yang nilainya dibawah 200 dolar AS.
Aturan Hukum
Apabila kita melihat sumpah atau janji seorang hakim sebelum ia memangku jabatannya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka kita akan dapat membaca bahwa pada pokoknya seorang hakim bersumpah/berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajiban sebagai hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, serta memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945. Cermati kata-kata “menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945” pada sumpah atau janji hakim itu.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemberian hadiah kepada hakim adalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi). Dalam Pasal 6 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya diatur bahwa hakim yang menerima suatu pemberian atau janji dari seseorang yang bermaksud mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dapat dikenakan sanksi pidana. Kemudian Pasal 12 huruf (c) UU Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya mengatur pula bahwa hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, juga diancam dengan sanksi pidana.
Memang benar bahwa untuk dapat mengenakan sanksi pidana kepada hakim tersebut, haruslah dibuktikan terlebih dahulu adanya maksud-maksud tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf (c) UU Tindak Korupsi tersebut. Namun, dapat dibayangkan bagaimana kerepotan seorang hakim apabila ia harus menjalani proses pemeriksaan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah setiap kali ia menerima hadiah. Belum lagi pandangan negatif publik yang terbentuk terhadap dirinya ataupun institusi peradilan di Indonesia, meski belum tentu hakim itu bersalah.
Aparat yang berwenang tentu berhak setiap saat menyelidiki apakah ada maksud tertentu dibalik pemberian hadiah kepada hakim, tanpa memandang besar kecilnya nilai hadiah tersebut. Oleh karena itu, jelas sudah bahwa hadiah yang diterima hakim sesungguhnya dapat memicu terganggunya kinerja hakim dan terpengaruhnya pandangan publik terhadap hakim tersebut ataupun institusinya.
Sebenarnya apabila hakim juga dianggap sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka berdasarkan Pasal 12 huruf (b) dan Pasal 12 huruf (c) UU Tindak Pidana Korupsi, setiap pemberian/hadiah yang diterima oleh hakim akan dianggap suap, tidak peduli berapapun jumlahnya, apabila pemberian/hadiah itu berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Namun, ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila hakim itu melaporkan setiap pemberian/hadiah yang diterimanya kepada Komisi Pemberantas Korupsi.
MA Harus Bersikap
Menimbang hal di atas, sudah seharusnya Mahkamah Agung mempertimbangkan kembali ketentuan dalam PPH yang memperbolehkan hakim menerima hadiah. Mahkamah Agung seharusnya mendorong setiap hakim agar konsisten dengan sumpah atau janji yang diucapkannya untuk “menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945”. Kata-kata dalam sumpah atau janji hakim tersebut tentu harus dimaknai sebagai suatu bentuk perilaku hakim dalam tingkat idealisme tertinggi.
Pada tingkat idealisme ini, seorang hakim tentu tidak akan dan tidak mau melakukan perbuatan yang akan membuat dirinya melanggar atau mendekati pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Demikian juga, apabila diketahuinya bahwa hadiah yang ia terima akan mengganggu kinerja atau mempengaruhi pandangan publik terhadap dirinya maupun institusinya, tentu ia tidak akan menerima hadiah yang diberikan kepadanya, tanpa memandang besar kecilnya nilai hadiah tersebut.
Bagaimanapun juga, sudah seharusnya seorang hakim menunjukkan perilaku yang terhormat, sehingga mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan sebagai tempat mencari keadilan. Saking pentingnya perilaku hakim, filosof Taverne pernah berkata: “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk sekalipun, saya akan menghasilkan putusan yang adil.”
Bahan Bacaan
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, 2005
Henry P. Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Pustaka Sinar Harapan, 2001
H.M. Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ubara Press, 1998
Komisi Hukum Nasional RI, Pembaharuan Kejaksaan: Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa, 2004
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung RI serta Badan Peradilan di Indonesia, 2004
Mahkamah Agung Republik Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Pedoman Perilaku Hakim (PPH) yang pertama kali dipublikasikannya pada Juni 2006 lalu tak pelak menuai kontroversi. Salah satu poin di dalam PPH yang menjadi sorotan adalah diperbolehkannya hakim menerima hadiah atau bantuan dari pemerintah daerah.
Menurut Ketua Tim Finalisasi Pedoman Perilaku Hakim, Iskandar Kamil, pada dasarnya PPH tersebut mengadopsi The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang merupakan hasil pertemuan para hakim di Den Haag, 25-26 Nopember 2002. Iskandar Kamil mengatakan bahwa The Bangalore Principles sebagai kode etik hakim dunia memperbolehkan hakim menerima hadiah dalam batas tertentu. Bahkan, menurutnya lagi, di Amerika Serikat pun hakim menerima hadiah yang nilainya dibawah 200 dolar AS.
Aturan Hukum
Apabila kita melihat sumpah atau janji seorang hakim sebelum ia memangku jabatannya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka kita akan dapat membaca bahwa pada pokoknya seorang hakim bersumpah/berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajiban sebagai hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, serta memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945. Cermati kata-kata “menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945” pada sumpah atau janji hakim itu.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemberian hadiah kepada hakim adalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi). Dalam Pasal 6 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya diatur bahwa hakim yang menerima suatu pemberian atau janji dari seseorang yang bermaksud mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dapat dikenakan sanksi pidana. Kemudian Pasal 12 huruf (c) UU Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya mengatur pula bahwa hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, juga diancam dengan sanksi pidana.
Memang benar bahwa untuk dapat mengenakan sanksi pidana kepada hakim tersebut, haruslah dibuktikan terlebih dahulu adanya maksud-maksud tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf (c) UU Tindak Korupsi tersebut. Namun, dapat dibayangkan bagaimana kerepotan seorang hakim apabila ia harus menjalani proses pemeriksaan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah setiap kali ia menerima hadiah. Belum lagi pandangan negatif publik yang terbentuk terhadap dirinya ataupun institusi peradilan di Indonesia, meski belum tentu hakim itu bersalah.
Aparat yang berwenang tentu berhak setiap saat menyelidiki apakah ada maksud tertentu dibalik pemberian hadiah kepada hakim, tanpa memandang besar kecilnya nilai hadiah tersebut. Oleh karena itu, jelas sudah bahwa hadiah yang diterima hakim sesungguhnya dapat memicu terganggunya kinerja hakim dan terpengaruhnya pandangan publik terhadap hakim tersebut ataupun institusinya.
Sebenarnya apabila hakim juga dianggap sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka berdasarkan Pasal 12 huruf (b) dan Pasal 12 huruf (c) UU Tindak Pidana Korupsi, setiap pemberian/hadiah yang diterima oleh hakim akan dianggap suap, tidak peduli berapapun jumlahnya, apabila pemberian/hadiah itu berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Namun, ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila hakim itu melaporkan setiap pemberian/hadiah yang diterimanya kepada Komisi Pemberantas Korupsi.
MA Harus Bersikap
Menimbang hal di atas, sudah seharusnya Mahkamah Agung mempertimbangkan kembali ketentuan dalam PPH yang memperbolehkan hakim menerima hadiah. Mahkamah Agung seharusnya mendorong setiap hakim agar konsisten dengan sumpah atau janji yang diucapkannya untuk “menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945”. Kata-kata dalam sumpah atau janji hakim tersebut tentu harus dimaknai sebagai suatu bentuk perilaku hakim dalam tingkat idealisme tertinggi.
Pada tingkat idealisme ini, seorang hakim tentu tidak akan dan tidak mau melakukan perbuatan yang akan membuat dirinya melanggar atau mendekati pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Demikian juga, apabila diketahuinya bahwa hadiah yang ia terima akan mengganggu kinerja atau mempengaruhi pandangan publik terhadap dirinya maupun institusinya, tentu ia tidak akan menerima hadiah yang diberikan kepadanya, tanpa memandang besar kecilnya nilai hadiah tersebut.
Bagaimanapun juga, sudah seharusnya seorang hakim menunjukkan perilaku yang terhormat, sehingga mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan sebagai tempat mencari keadilan. Saking pentingnya perilaku hakim, filosof Taverne pernah berkata: “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk sekalipun, saya akan menghasilkan putusan yang adil.”
Bahan Bacaan
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, 2005
Henry P. Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Pustaka Sinar Harapan, 2001
H.M. Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ubara Press, 1998
Komisi Hukum Nasional RI, Pembaharuan Kejaksaan: Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa, 2004
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung RI serta Badan Peradilan di Indonesia, 2004
2 Comments:
persoalannya menurut saya bukan boleh atau tidak boleh, tetapi untuk saat ini harus dilarang sama sekali karena hadiah bisa jadi berarti "korupsi". Nah pernyataan tentang "berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk sekalipun, saya akan menghasilkan putusan yang adil.”
menurutku sih mending kasih hakim yang cerdas, jujur dan adil serta didukung oleh undang-undang yang baik, kalau hakimnya bener undang-undangnya nggak bener yaa sami mawon, bvisa terpengatruh juga lama-lama....
Saya juga setuju kalo MA secara tegas mencantumkan larangan bagi Hakim untuk menerima hadiah dalam Pedoman Perilaku Hakim. Dengan begitu kepercayaan masyarakat terhadap integritas hakim diharapkan dapat meningkat.
Tentang pernyataan Taverne, idealnya memang undang-undangnya baik dan penegak hukumnya baik juga. Tapi realita selalu memaksa kita memilih mana yang harus jadi prioritas. Oleh karena itu, saya setuju dengan Taverne, karena bagaimanapun juga undang-undang adalah buatan manusia. Sehingga manusianya-lah yang seharusnya menjadi prioritas untuk dibenahi terlebih dahulu, dengan harapan produk hukum yang dibuat oleh manusia tersebut nantinya akan jadi baik juga.
Post a Comment
<< Home