Mencermati Pro-Kontra Fatwa MA tentang Kekayaan Negara yang Dipisahkan*
oleh Ari Juliano Gema
Pada tanggal 16 Agustus 2006 lalu, MA menerbitkan surat untuk Menteri Keuangan RI yang salah satu isinya menegaskan bahwa pembinaan dan pengelolaan modal BUMN yang berasal dari kekayaan Negara tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Surat yang dianggap sebagai fatwa MA tersebut diterbitkan atas permintaan Menteri Keuangan RI sehubungan dengan adanya ketidaksesuaian pengaturan mengenai penyertaan kekayaan Negara pada BUMN dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17/2003) dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU No. 19/2003).
Dalam UU No. 17/2003 diatur bahwa keuangan Negara meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN/BUMD, sehingga pengelolaannya didasarkan pada sistem APBN. Namun, dalam UU No. 19/2003 pengelolaan penyertaan Negara pada BUMN didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Menurut fatwa MA itu, ketentuan dalam UU No. 17/2003 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya UU No. 19/2003 yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari UU No. 17/2003.
Pro dan Kontra
Sampai saat ini, fatwa MA tersebut terus menuai polemik. Sebagian kalangan menilai bahwa fatwa MA tersebut dapat menyulitkan upaya pemberantasan korupsi karena aparat penegak hukum tidak dapat lagi memberlakukan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pengurus BUMN yang diduga menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini terjadi karena apabila kekayaan Negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat. Namun, sebagian kalangan yang lain menilai positif fatwa MA ini karena memberikan kepastian hukum dalam pembinaan dan pengelolaan kekayaan Negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN.
Apabila kita coba menarik akar perbedaan pendapat tersebut, sebenarnya perbedaan itu muncul dari perbedaan pandangan dalam memperlakukan kekayaan Negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN. Sebagian kalangan memandang pentingnya pemerintah melakukan upaya semaksimal mungkin untuk melindungi kekayaan Negara yang disertakan pada BUMN itu agar dapat digunakan secara optimal dalam melayani kepentingan masyarakat umum. UU Tindak Pidana Korupsi dianggap efektif untuk melindungi kekayaan Negara, sehingga terbitnya fatwa MA itu dianggap dapat menghambat upaya pemerintah untuk melindungi kekayaan Negara yang ditempatkan di BUMN, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pelayanan BUMN kepada masyarakat umum dan konstribusinya pada APBN.
Sedangkan bagi kalangan yang lain, terbitnya fatwa MA itu dianggap memberikan dukungan positif bagi pengurus BUMN untuk lebih berani mengambil keputusan strategis dalam membuat terobosan dan inovasi pengembangan BUMN, sehingga kekayaan Negara yang disertakan sebagai modal BUMN itu dapat diberdayakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, yang pada gilirannya akan memberikan pemasukan yang signifikan bagi Negara. Sebelum fatwa MA itu terbit, dapat dimengerti apabila pengurus BUMN seringkali ragu-ragu dalam mengambil keputusan strategis karena kuatir mereka akan dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila keputusannya itu membawa kerugian bagi perusahaan.
Upaya Pemerintah
Sebenarnya, pemerintah harus menyadari sepenuhnya bahwa BUMN adalah juga entitas bisnis yang tidak bisa lepas dari pengaruh pasar yang dinamis. Oleh karena itu, kerugian yang dialami BUMN haruslah dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sepanjang pengurus BUMN telah melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik dalam mengurus BUMN itu.
Terhadap pengurus BUMN yang tidak melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik sehingga menimbulkan kerugian bagi BUMN tersebut, sebenarnya ada beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasinya, pertama, pemerintah sebagai pemegang saham dapat menggugat direksi atau komisaris BUMN secara perdata apabila keputusan yang diambil oleh mereka dianggap merugikan pemegang saham, sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kedua, pemerintah juga dapat melaporkan pengurus BUMN kepada aparat penegak hukum apabila diduga terjadi pemalsuan data dan laporan keuangan, penggelapan uang perusahaan, pelanggaran Undang-Undang Perbankan, serta pelanggaran atas peraturan perundang-undangan lain yang memuat ketentuan pidana. Bahkan sebenarnya dapat juga digunakan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi apabila pengurus BUMN terbukti memberikan uang suap kepada otoritas yang berwenang sehubungan dengan kegiatan bisnisnya.
Intinya, fatwa MA itu janganlah dipandang sebagai suatu mimpi buruk dalam penegakan hukum di lingkungan BUMN. Yang terpenting adalah komitmen pemerintah untuk memberdayakan BUMN agar dapat menunjukkan kinerja optimal sehingga dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi perkembangan perekonomian nasional.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Ekonomi Neraca pada tanggal 20 Oktober 2006
Dalam UU No. 17/2003 diatur bahwa keuangan Negara meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN/BUMD, sehingga pengelolaannya didasarkan pada sistem APBN. Namun, dalam UU No. 19/2003 pengelolaan penyertaan Negara pada BUMN didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Menurut fatwa MA itu, ketentuan dalam UU No. 17/2003 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya UU No. 19/2003 yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari UU No. 17/2003.
Pro dan Kontra
Sampai saat ini, fatwa MA tersebut terus menuai polemik. Sebagian kalangan menilai bahwa fatwa MA tersebut dapat menyulitkan upaya pemberantasan korupsi karena aparat penegak hukum tidak dapat lagi memberlakukan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pengurus BUMN yang diduga menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini terjadi karena apabila kekayaan Negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat. Namun, sebagian kalangan yang lain menilai positif fatwa MA ini karena memberikan kepastian hukum dalam pembinaan dan pengelolaan kekayaan Negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN.
Apabila kita coba menarik akar perbedaan pendapat tersebut, sebenarnya perbedaan itu muncul dari perbedaan pandangan dalam memperlakukan kekayaan Negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN. Sebagian kalangan memandang pentingnya pemerintah melakukan upaya semaksimal mungkin untuk melindungi kekayaan Negara yang disertakan pada BUMN itu agar dapat digunakan secara optimal dalam melayani kepentingan masyarakat umum. UU Tindak Pidana Korupsi dianggap efektif untuk melindungi kekayaan Negara, sehingga terbitnya fatwa MA itu dianggap dapat menghambat upaya pemerintah untuk melindungi kekayaan Negara yang ditempatkan di BUMN, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pelayanan BUMN kepada masyarakat umum dan konstribusinya pada APBN.
Sedangkan bagi kalangan yang lain, terbitnya fatwa MA itu dianggap memberikan dukungan positif bagi pengurus BUMN untuk lebih berani mengambil keputusan strategis dalam membuat terobosan dan inovasi pengembangan BUMN, sehingga kekayaan Negara yang disertakan sebagai modal BUMN itu dapat diberdayakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, yang pada gilirannya akan memberikan pemasukan yang signifikan bagi Negara. Sebelum fatwa MA itu terbit, dapat dimengerti apabila pengurus BUMN seringkali ragu-ragu dalam mengambil keputusan strategis karena kuatir mereka akan dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila keputusannya itu membawa kerugian bagi perusahaan.
Upaya Pemerintah
Sebenarnya, pemerintah harus menyadari sepenuhnya bahwa BUMN adalah juga entitas bisnis yang tidak bisa lepas dari pengaruh pasar yang dinamis. Oleh karena itu, kerugian yang dialami BUMN haruslah dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sepanjang pengurus BUMN telah melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik dalam mengurus BUMN itu.
Terhadap pengurus BUMN yang tidak melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik sehingga menimbulkan kerugian bagi BUMN tersebut, sebenarnya ada beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasinya, pertama, pemerintah sebagai pemegang saham dapat menggugat direksi atau komisaris BUMN secara perdata apabila keputusan yang diambil oleh mereka dianggap merugikan pemegang saham, sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kedua, pemerintah juga dapat melaporkan pengurus BUMN kepada aparat penegak hukum apabila diduga terjadi pemalsuan data dan laporan keuangan, penggelapan uang perusahaan, pelanggaran Undang-Undang Perbankan, serta pelanggaran atas peraturan perundang-undangan lain yang memuat ketentuan pidana. Bahkan sebenarnya dapat juga digunakan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi apabila pengurus BUMN terbukti memberikan uang suap kepada otoritas yang berwenang sehubungan dengan kegiatan bisnisnya.
Intinya, fatwa MA itu janganlah dipandang sebagai suatu mimpi buruk dalam penegakan hukum di lingkungan BUMN. Yang terpenting adalah komitmen pemerintah untuk memberdayakan BUMN agar dapat menunjukkan kinerja optimal sehingga dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi perkembangan perekonomian nasional.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Ekonomi Neraca pada tanggal 20 Oktober 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home