Apakah Hak Tolak Wartawan Bersifat Mutlak?
oleh Ari Juliano Gema
Beberapa waktu lalu saya menonton sebuah episode sinetron “Dunia Tanpa Koma” yang biasanya ditayangkan di televisi setiap Sabtu malam. Pada episode sinetron yang berlatar dunia jurnalistik itu diceritakan bahwa tokoh Raya, seorang wartawati muda yang diperankan oleh Dian Sastro, berhasil mewawancarai tokoh Jendra yang sedang melarikan diri dari penjara karena kasus narkoba.
Singkatnya, hasil wawancara itu memunculkan perdebatan di majalah tempat Raya bekerja mengenai apakah hasil wawancara itu akan dimuat atau tidak, dengan mempertimbangkan aspek etika dan hukum. Namun akhirnya, tokoh “Boss Besar”, yang merupakan pimpinan tertinggi di majalah tempat Raya bekerja itu, memutuskan akan berkoordinasi dulu dengan pihak kepolisian sebelum memuat hasil wawancara itu, dengan tujuan untuk membantu pihak kepolisian dalam menemukan Jendra yang sedang buron.
Hak Tolak
Saya membayangkan seandainya keputusan si “Boss Besar” dalam sinetron itu diikuti juga di dunia nyata oleh para “Boss Besar” media cetak dan televisi yang menayangkan Dharmono K. Lawi, mantan Ketua DPRD Banten yang menjadi terpidana kasus korupsi dan berstatus buron sejak April 2006 lalu. Hal itu tentu tidak akan membuat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menjadi “uring-uringan” seperti sekarang ini. Hal yang membuat Jaksa Agung semakin “uring-uringan” adalah argumen dari kalangan media dan pakar hukum bahwa wartawan yang berhasil menemukan Dharmono punya hak untuk menolak mengungkapkan keberadaan Dharmono yang sedang buron itu apabila aparat penegak hukum meminta keterangan mengenai hal tersebut. Menurut mereka, hak itu diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang disebut sebagai Hak Tolak.
Berkenaan dengan hal itu, Jaksa Agung menyampaikan keprihatinannya terhadap wartawan yang “memburu” Dharsono hanya untuk kepentingan pemberitaan saja tapi tidak mau melaporkan keberadaan Dharsono itu kepada aparat penegak hukum. Padahal, menurut Jaksa Agung, setiap warga negara memiliki kewajiban hukum untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila mengetahui ada tindak kejahatan.
Aturan Hukum
Mengenai kewajiban hukum warga Negara berkaitan dengan keberadaan buronan itu, sebenarnya kita dapat melihat ketentuan Pasal 221 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pada pokoknya mengatur bahwa barangsiapa yang dengan sengaja: (i) menyembunyikan pelaku kejahatan atau orang yang dituntut karena kejahatan; atau (ii) memberi pertolongan kepada pelaku kejahatan untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang, dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal sembilan bulan penjara.
Sedangkan dalam UU Pers diatur bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak, yaitu hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan/atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan/atau diminta menjadi saksi di pengadilan.
Kalau begitu, apakah seorang wartawan dapat menggunakan Hak Tolaknya untuk melindungi keberadaan seorang buronan? Menurut saya perlu dipertimbangkan latar belakang dari penggunaan Hak Tolak itu. Apabila memang buronan itu adalah sumber berita dari wartawan yang bersangkutan, maka wartawan itu dapat menggunakan Hak Tolaknya. Dengan demikian ketentuan Pasal 221 ayat (1) KUHP tidak dapat diberlakukan kepada wartawan yang menolak mengungkapkan keberadaan buronan yang menjadi sumber beritanya, karena hal itu dilindungi oleh UU Pers yang merupakan lex specialis dari KUHP.
Namun, apakah itu berarti Hak Tolak bersifat mutlak? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat penjelasan mengenai Hak Tolak dalam UU Pers, yang mengatakan bahwa Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan Negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Dengan demikian, sebenarnya Hak Tolak itu tidak bersifat mutlak.
Menimbang hal di atas, seharusnya saat ini Jaksa Agung tidak perlu patah semangat dalam mengejar buronan yang menjadi sumber berita wartawan itu, karena Jaksa Agung masih punya peluang untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan buronan itu. Jaksa Agung dapat meminta penetapan dari pengadilan untuk membatalkan Hak Tolak dari wartawan yang bersangkutan. Apabila setelah terbit penetapan pengadilan yang membatalkan Hak Tolaknya, wartawan yang bersangkutan masih juga menolak mengungkapkan keberadaan buronan itu, maka ketentuan Pasal 221 ayat (1) KUHP dapat dikenakan terhadap wartawan itu.
Beberapa waktu lalu saya menonton sebuah episode sinetron “Dunia Tanpa Koma” yang biasanya ditayangkan di televisi setiap Sabtu malam. Pada episode sinetron yang berlatar dunia jurnalistik itu diceritakan bahwa tokoh Raya, seorang wartawati muda yang diperankan oleh Dian Sastro, berhasil mewawancarai tokoh Jendra yang sedang melarikan diri dari penjara karena kasus narkoba.
Singkatnya, hasil wawancara itu memunculkan perdebatan di majalah tempat Raya bekerja mengenai apakah hasil wawancara itu akan dimuat atau tidak, dengan mempertimbangkan aspek etika dan hukum. Namun akhirnya, tokoh “Boss Besar”, yang merupakan pimpinan tertinggi di majalah tempat Raya bekerja itu, memutuskan akan berkoordinasi dulu dengan pihak kepolisian sebelum memuat hasil wawancara itu, dengan tujuan untuk membantu pihak kepolisian dalam menemukan Jendra yang sedang buron.
Hak Tolak
Saya membayangkan seandainya keputusan si “Boss Besar” dalam sinetron itu diikuti juga di dunia nyata oleh para “Boss Besar” media cetak dan televisi yang menayangkan Dharmono K. Lawi, mantan Ketua DPRD Banten yang menjadi terpidana kasus korupsi dan berstatus buron sejak April 2006 lalu. Hal itu tentu tidak akan membuat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menjadi “uring-uringan” seperti sekarang ini. Hal yang membuat Jaksa Agung semakin “uring-uringan” adalah argumen dari kalangan media dan pakar hukum bahwa wartawan yang berhasil menemukan Dharmono punya hak untuk menolak mengungkapkan keberadaan Dharmono yang sedang buron itu apabila aparat penegak hukum meminta keterangan mengenai hal tersebut. Menurut mereka, hak itu diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang disebut sebagai Hak Tolak.
Berkenaan dengan hal itu, Jaksa Agung menyampaikan keprihatinannya terhadap wartawan yang “memburu” Dharsono hanya untuk kepentingan pemberitaan saja tapi tidak mau melaporkan keberadaan Dharsono itu kepada aparat penegak hukum. Padahal, menurut Jaksa Agung, setiap warga negara memiliki kewajiban hukum untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila mengetahui ada tindak kejahatan.
Aturan Hukum
Mengenai kewajiban hukum warga Negara berkaitan dengan keberadaan buronan itu, sebenarnya kita dapat melihat ketentuan Pasal 221 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pada pokoknya mengatur bahwa barangsiapa yang dengan sengaja: (i) menyembunyikan pelaku kejahatan atau orang yang dituntut karena kejahatan; atau (ii) memberi pertolongan kepada pelaku kejahatan untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang, dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal sembilan bulan penjara.
Sedangkan dalam UU Pers diatur bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak, yaitu hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan/atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan/atau diminta menjadi saksi di pengadilan.
Kalau begitu, apakah seorang wartawan dapat menggunakan Hak Tolaknya untuk melindungi keberadaan seorang buronan? Menurut saya perlu dipertimbangkan latar belakang dari penggunaan Hak Tolak itu. Apabila memang buronan itu adalah sumber berita dari wartawan yang bersangkutan, maka wartawan itu dapat menggunakan Hak Tolaknya. Dengan demikian ketentuan Pasal 221 ayat (1) KUHP tidak dapat diberlakukan kepada wartawan yang menolak mengungkapkan keberadaan buronan yang menjadi sumber beritanya, karena hal itu dilindungi oleh UU Pers yang merupakan lex specialis dari KUHP.
Namun, apakah itu berarti Hak Tolak bersifat mutlak? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat penjelasan mengenai Hak Tolak dalam UU Pers, yang mengatakan bahwa Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan Negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Dengan demikian, sebenarnya Hak Tolak itu tidak bersifat mutlak.
Menimbang hal di atas, seharusnya saat ini Jaksa Agung tidak perlu patah semangat dalam mengejar buronan yang menjadi sumber berita wartawan itu, karena Jaksa Agung masih punya peluang untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan buronan itu. Jaksa Agung dapat meminta penetapan dari pengadilan untuk membatalkan Hak Tolak dari wartawan yang bersangkutan. Apabila setelah terbit penetapan pengadilan yang membatalkan Hak Tolaknya, wartawan yang bersangkutan masih juga menolak mengungkapkan keberadaan buronan itu, maka ketentuan Pasal 221 ayat (1) KUHP dapat dikenakan terhadap wartawan itu.
7 Comments:
Bang AJO,
kalau menurut saya, hak wartawan untuk melindungi narasumber seharusnya adalah sesuatu yang mutlak.
Melihat tulisan Abang, sepertinya ada celah hukum untuk membatalkan hak itu. Namun kali ini saya tidak akan melihat dari segi hukum dan perundang-undangan.
Alasan-alasan mengapa saya berpendapat wartawan memiliki hak yang mutlak untuk melindungi narasumber:
1. Dengan jaminan keamanan dan kerahasiaan dari wartawan, narasumber dapat mengungkap hal2 yang mungkin menjadi sisi tersembunyikan dari suatu kasus
2. Dari poin satu, kita tidak bisa mengharapkan hal2 rahasia itu diungkap oleh penyidik. Sebab penyidik akan berorientasi kepada prosedur dan birokrasi, sementara masyarakat akan berorientasi kepada informasi
3. Hampir bisa dipastikan akan terjadi stagnansi informasi bila wartawan tidak melindungi narasumbernya. Berita dan informasi yang beredar dalam masyarakat akan berasal hanya dari satu sumber resmi, yang berarti kembali kepada represifitas atas kebebasan memperoleh informasi
4. Hal narasumber yang buron, seharusnya menjadi cambuk tersendiri bagi aparat penegak hukum.
Menurut saya ada dua dunia yang berbeda, antara penegak hukum dan pers. Pihak pertama bertugas menegakkan peraturan dan hukum, pihak kedua berperan untuk menjaga dan mengawasi tugas pihak pertama.
Tanpa pihak pertama, pihak kedua akan menjadikan masyarakat sebagai sebuah masyarakat yang sarat disinformasi dan cenderung kepada mobokrasi. Tanpa pihak kedua, pihak pertama akan menjadi otoriter dan tanpa kontrol.
Kalau menurutku, hak tolak itu hanya boleh dipakai dengan cara menuliskan "menurut sumber 'nama_media' bla-bla-bla". Kalau sudah jelas bahwa beritanya berjudul "Wawancara dengan 'nama_buronan' kasus korupsi", nggak ada lagi yang perlu ditolak, wong sudah jelas nama buronan-nya disebutkan. Dalam hal seperti yang kedua ini, wartawan dan media yang mengatakan menggunakan hak tolak justru boleh dikatakan telah melindungi kriminal.
Terima kasih atas tanggapan Kang Kombor dan Nathanael.
Tanggapan saya adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan UU Pers, Hak Tolak wartawan selain hak untuk menolak memberikan nama sumber berita, juga identitas lainnya seperti alamat, No. telpon/HP dan data diri lainnya. Oleh karena itu, wartawan berhak menolak memberitahukan alamat atau nomor kontak dari seorang buronan, sepanjang buronan itu adalah sumber berita dari wartawan tsb.
2. Hak tolak wartawan merupakan bagian kecil dari keseluruhan hak asasi yang dimiliki manusia. Sebagai bagian dari HAM, tentu saja dalam implementasinya harus menghormati HAM orang lain juga.
Sebagaimana diatur dalam Deklarasi HAM Universal dan juga UUD '45, bahwa implementasi HAM seseorang dapat dibatasi dengan undang-undang, dengan tujuan untuk: (i) menjamin pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan orang lain; dan (ii) memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
UU Pers mengatur pembatasan Hak Tolak, yaitu perlu adanya penetapan pengadilan untuk membatalkan Hak Tolak yang dimiliki wartawan. Sebagai informasi, pengadilan pasti tidak akan serta merta memberikan penetapan pengadilan untuk membatalkan Hak Tolak itu. Pengadilan tentu akan mempertimbangkan dulu apakah Hak Tolak itu telah mengganggu kepentingan dan keselamatan Negara atau ketertiban umum.
3. Saya setuju bahwa penegak hukum dan pers ada pada dunia dan kepentingan yang berbeda. Namun bukan tidak mungkin ada persinggungan/konflik akibat implementasi dua kepentingan yang berbeda itu, khan?
Oleh karena itu, untuk masalah Hak Tolak, Pengadilan-lah yang diberi wewenang untuk menengahi konflik antara penegak hukum dan pers dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
Thanx a lot Bro,
pembelajaran menarik buat saya niy :)
umm, udah pernah ada belum ya kasus nyatanya di pengadilan?
kalau udah pernah ada, dan kebetulan Bang AJO punya arsip beritanya, tolong di posting aja :) thanx
Contoh dua kasus sehubungan dengan Hak Tolak:
1. Pada tahun 1971, HB Jasin sebagai pemimpin redaksi majalah sastra pernah memuat cerpen berjudul “Langit Makin Mendung”. Ternyata cerpen itu kemudian dianggap "menghina Tuhan". Hal ini membawa HB Jasin ke pengadilan sebagai saksi untuk mengungkapkan siapa penulis cerpen itu. Meski Pengadilan kemudian memutuskan untuk menggugurkan hak tolak-nya, HB Jasin tetap tidak mau mengungkapkan siapa penulis cerpen itu. Akibatnya, HB Jasin dikenai sanksi 1,5 tahun penjara.
2. Pengadilan juga pernah menolak menggugurkan hak tolak wartawan. Paling gres adalah dalam kasus Tempo Vs Tomy Winata. Pihak Tomy meminta agar pengadilan menggugurkan hak tolak Ahmad Taufik, wartawan Tempo, agar Ahmad Taufik mengungkapkan siapa narasumber tulisannya. Namun permintaan itu ditolak karena majelis berpendapat tidak ada alasan yang kuat berdasarkan ketentuan UU Pers untuk menggugurkan hak tolak Ahmad Taufik.
Bang AJO,
saya tidak melihat urgensi pengadilan untuk menggugurkan hak tolak wartawan dalam dua kasus tersebut.
Lepas dari apa yang terjadi dan telah diputuskan dalam dua kasus tersebut, rasanya saya masih bisa menerima bila hak tolak digugurkan hanya jika berkait dengan national security.
National security ini pun juga perlu didefinisikan dengan jelas. Keamanan nasional tidak sama dengan keamanan penguasa. Karenanya saya sepakat adanya suatu undang-undang tentang kebebasan memperoleh informasi publik, dengan catatan tebal bahwa undang-undang itu benar-benar menempatkan kepentingan masyarakat sebagai yang terutama.
Tapi jelas, sama seperti semua persoalan lain, selalu ada zona abu-abu yang ditarik kesana-sini.
Nathanael,
Untuk kasus HB Jasin, saya telah membaca cerpen "Langit Makin Mendung" dan menurut saya pribadi tidak menganggap cerpen itu "menghina Tuhan". Namun, pada saat itu banyak kelompok-kelompok masyarakat yang marah karena menganggap cerpen itu "menghina Tuhan". Hal inilah yang menjadi pertimbangan hakim untuk menggugurkan hak tolak HB Jasin agar HB Jasin mengungkapkan siapa penulis cerpen tersebut, karena Hakim menganggap terbitnya cerpen itu telah mengganggu ketertiban umum.
Sedangkan untuk kasus Tempo vs. TW, saya sependapat dengan hakim yang menolak menggugurkan hak tolak wartawan, karena memang tidak ada alasan yang relevan dalam UU Pers untuk menggugurkan Hak Tolak berdasarkan permintaan TW tsb.
Saya juga setuju kalau ada UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, karena memang salah satu penyebab ketimpangan sosial ekonomi adalah informasi publik yang tidak tersebar merata kepada seluruh warga negara, serta tidak setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses informasi publik.
Post a Comment
<< Home