Perda Bermasalah: Siapa yang Salah?
oleh Ari Juliano Gema
Pemerintah daerah mungkin perlu lebih berhati-hati dalam menerbitkan peraturan daerah (perda). Dalam pernyataannya pada pembukaan Forum Investasi Regional Indonesia yang diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa pemerintah pusat akan membatalkan 804 perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi.
Sebagian kalangan menyambut antusias rencana pembatalan perda-perda bermasalah. Mereka menilai bahwa rencana itu, selain akan meningkatkan investasi dan pelayanan publik, juga akan memaksa elit daerah benar-benar memperhatikan dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam membuat perda. Namun, sebagian kalangan juga mengkhawatirkan bahwa rencana itu akan mengembalikan otoritas pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Penyusunan Perda
Terlepas dari polemik rencana pembatalan perda-perda bermasalah itu, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu proses penyusunan perda berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah). Pada dasarnya, perda dibentuk dalam rangka penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat sebenarnya berhak untuk memberikan masukan dalam rangka penyiapan dan pembahasan perda, namun bagaimana mekanisme peran serta masyarakat itu tidak jelas diatur dalam UU Otonomi Daerah.
Apabila rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota telah ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sebagai perda, maka perda itu disampaikan kepada pemerintah pusat setelah perda itu ditetapkan. Pemerintah pusat dapat membatalkan perda itu apabila bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Keputusan pembatalan perda itu ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak perda itu diterima oleh pemerintah pusat. Apabila tidak ada Peraturan Presiden yang membatalkan perda itu dalam jangka waktu 60 hari itu, maka perda itu dinyatakan berlaku.
Paling lama 7 hari sejak keputusan pembatalan perda itu, kepala daerah yang bersangkutan harus memberhentikan pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah itu mengeluarkan perda yang mencabut perda dimaksud. Kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung apabila pemerintah daerah yang bersangkutan keberatan atas keputusan pembatalan itu. Apabila keberatan itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya oleh Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk mengevaluasi rancangan perda propinsi dan peraturan Gubernur yang mengatur tentang APBD, perubahan APBD dan penjabarannnya, sebelum perda dan peraturan Gubernur itu ditetapkan. Apabila berdasarkan hasil evaluasi itu, Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa rancangan perda dan peraturan Gubernur itu bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur dan DPRD harus menyempurnakan rancangan perda itu untuk dievaluasi kembali oleh Menteri Dalam Negeri. Apabila Gubernur dan DPRD tidak menindaklanjuti hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri tersebut dan tetap menetapkan rancangan perda dan peraturan Gubernur itu, maka Menteri Dalam Negeri dapat membatalkannya sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya apabila yang dibatalkan adalah perda tentang APBD.
Kewenangan untuk mengevaluasi rancangan perda kabupaten/kotamadya tentang APBD diberikan kepada Gubernur yang membawahi wilayah kabupaten/kotamadya itu, dengan proses yang sama seperti evaluasi rancangan perda propinsi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Hasil evaluasi atas rancangan perda kabupaten/kotamadya itu akan disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri.
Proses penetapan rancangan perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah juga harus melalui proses evaluasi yang sama dengan proses penetapan rancangan perda tentang APBD. Namun, untuk rancangan perda yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, sedangkan untuk rancangan perda yang berkaitan dengan tata ruang daerah harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang.
Siapa yang Salah?
Setelah mengetahui proses penyusunan perda, kita bisa melihat siapa saja sebenarnya pihak-pihak yang mungkin turut bertanggung jawab “melahirkan” perda yang dianggap bermasalah itu. Pertama, masyarakat dapat dianggap turut bertanggung jawab apabila masyarakat tidak menggunakan haknya untuk memberikan masukan dalam hal mengingatkan kepala daerah dan DPRD agar perda yang disusun tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Namun, hal ini sebenarnya dapat dimaklumi mengingat masyarakat mungkin tidak paham bagaimana menggunakan haknya karena ketidakjelasan mekanisme peran serta masyarakat itu di dalam UU Otonomi Daerah dan peraturan pelaksanaannya.
Kedua, kepala daerah dan DPRD yang bersangkutan juga bertanggung jawab apabila mereka memang memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Namun, bisa juga kepala daerah dan DPRD itu tidak mengetahui atau mengetahui tapi tidak mengerti mengenai peraturan yang harus dirujuknya dalam menyusun perda.
Ketiga, pemerintah pusat juga tidak bisa lepas tangan karena mungkin saja Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan atau menteri yang membidangi urusan tata ruang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dalam mengevaluasi rancangan perda yang diajukan kepada mereka sehingga ketika perda itu ditetapkan ternyata pada pelaksanaannya dianggap perda bermasalah. Mungkin juga parameter yang digunakan pemerintah pusat dalam menilai suatu perda tidak sesuai dengan keadaan aktual dari daerah yang bersangkutan. Kurangnya sosialisasi yang intensif oleh pemerintah pusat kepada seluruh pemerintah daerah di Indonesia mengenai keberadaan peraturan perundang-undangan yang harus dirujuk mereka dalam menyusun perda juga dapat menjadi penyebab lahirnya perda bermasalah.
Disamping itu, tidak memadainya dana perimbangan yang didapat dari pemerintah pusat untuk mengoptimalkan pembangunan di daerah dapat mendorong pemerintah daerah untuk mencari tambahan pendapatan dengan menerbitkan perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang beberapa diantaranya kemudian dianggap sebagai perda bermasalah. Dorongan itu dapat lebih kuat lagi apabila ternyata proses pencairan dana perimbangan dari kas umum Negara sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Kesulitan ini bisa jadi karena pemerintah daerah tidak dapat memenuhi persyaratan untuk pencairan dana perimbangan itu, atau bisa juga karena birokrasi yang menangani pencairan dana itu sengaja mempersulit prosesnya untuk “memaksa” pemerintah daerah memberikan “uang pelicin” agar proses pencairan dana itu dapat lebih mudah.
Keempat, peraturan yang lebih tinggi dari perda mungkin saja tidak peka dengan isu otonomi daerah. Peraturan di tingkat pusat itu mungkin dibuat sebelum masalah otonomi daerah menjadi perhatian utama atau dibuat hanya untuk mempermudah implementasi investasi di daerah namun tidak memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang di masing-masing daerah, sehingga apabila peraturan itu diikuti justru tidak dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Meminimalisir Perda Bermasalah
Setelah melihat pihak-pihak yang mungkin turut bertanggung jawab “melahirkan” perda bermasalah, ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meminimalisir terbitnya perda-perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi, yaitu pertama, pemerintah pusat harus menetapkan peraturan pelaksana UU Otonomi Daerah yang khusus mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam memberikan masukan untuk penyiapan atau pembahasan perda. Masyarakat juga harus diberi hak untuk memberikan masukan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan atau menteri yang membidangi urusan tata ruang dalam mengevaluasi rancangan perda yang diajukan kepada mereka. Peraturan itu juga harus mengatur secara tegas kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhi hak masyarakat itu.
Kedua, berkenaan dengan peran serta masyarakat itu, pemerintah pusat dan daerah harus menyelenggarakan suatu sistem informasi terpadu yang memungkinkan dipublikasikannya secara luas rancangan perda dan perda yang telah berlaku, agar masyarakat dapat dengan mudah memberi masukan atas suatu rancangan perda dan memantau pelaksanaan perda yang telah berlaku. Ketiga, pemerintah pusat harus mengevaluasi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang berhubungan dengan otonomi daerah untuk melihat sejauh mana peraturan itu peka terhadap perkembangan situasi dan kondisi di daerah. Apabila memang suatu daerah karena ciri khasnya serta perkembangan situasi dan kondisinya perlu diatur secara khusus atau dikecualikan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka pemerintah pusat harus dapat mengakomodasi hal tersebut. Untuk itu, parameter yang digunakan pemerintah pusat untuk menilai apakah suatu perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi juga harus dievaluasi.
Keempat, dalam menentukan dana perimbangan untuk suatu pemerintah daerah, pemerintah pusat harus benar-benar memahami kebutuhan aktual dari pemerintah daerah tersebut dengan melakukan dialog atau konsultasi intensif dengan pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan bahwa dana perimbangan yang diberikan adalah wajar dan memadai bagi pemerintah daerah itu untuk melakukan pembangunan daerah secara optimal, sehingga pemerintah daerah itu tidak terdorong menerbitkan perda untuk menambah pendapatan daerahnya dengan melakukan pungutan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Kelima, pemerintah pusat harus mengawasi benar kinerja aparat birokrasinya, khususnya yang memiliki bidang tugas berhubungan dengan pelayanan kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat harus memastikan bahwa aparat birokrasinya akan memberikan pelayanan yang maksimal kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Keenam, sosialisasi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari perda kepada pemerintah daerah mutlak untuk dilakukan oleh pemerintah pusat secara intensif. Terlalu naif apabila mengharapkan semua pemerintah daerah telah tahu dan dapat mengerti sendiri peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang harus dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun perdanya, mengingat lokasi dan kemampuan menyerap informasi dari masing-masing pemerintah daerah berbeda-beda.
Intinya, dalam menangani perda bermasalah, hendaknya pemerintah pusat juga melakukan introspeksi diri dan tidak selalu menimpakan kesalahan kepada pemerintah daerah semata. Jangan hanya demi mengundang investasi asing sebesar-besarnya, pemerintah pusat bertindak gegabah membatalkan suatu perda tanpa mempertimbangkan perkembangan situasi dan kondisi aktual dari daerah yang bersangkutan.
Pemerintah daerah mungkin perlu lebih berhati-hati dalam menerbitkan peraturan daerah (perda). Dalam pernyataannya pada pembukaan Forum Investasi Regional Indonesia yang diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa pemerintah pusat akan membatalkan 804 perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi.
Sebagian kalangan menyambut antusias rencana pembatalan perda-perda bermasalah. Mereka menilai bahwa rencana itu, selain akan meningkatkan investasi dan pelayanan publik, juga akan memaksa elit daerah benar-benar memperhatikan dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam membuat perda. Namun, sebagian kalangan juga mengkhawatirkan bahwa rencana itu akan mengembalikan otoritas pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Penyusunan Perda
Terlepas dari polemik rencana pembatalan perda-perda bermasalah itu, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu proses penyusunan perda berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah). Pada dasarnya, perda dibentuk dalam rangka penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat sebenarnya berhak untuk memberikan masukan dalam rangka penyiapan dan pembahasan perda, namun bagaimana mekanisme peran serta masyarakat itu tidak jelas diatur dalam UU Otonomi Daerah.
Apabila rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota telah ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sebagai perda, maka perda itu disampaikan kepada pemerintah pusat setelah perda itu ditetapkan. Pemerintah pusat dapat membatalkan perda itu apabila bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Keputusan pembatalan perda itu ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak perda itu diterima oleh pemerintah pusat. Apabila tidak ada Peraturan Presiden yang membatalkan perda itu dalam jangka waktu 60 hari itu, maka perda itu dinyatakan berlaku.
Paling lama 7 hari sejak keputusan pembatalan perda itu, kepala daerah yang bersangkutan harus memberhentikan pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah itu mengeluarkan perda yang mencabut perda dimaksud. Kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung apabila pemerintah daerah yang bersangkutan keberatan atas keputusan pembatalan itu. Apabila keberatan itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya oleh Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk mengevaluasi rancangan perda propinsi dan peraturan Gubernur yang mengatur tentang APBD, perubahan APBD dan penjabarannnya, sebelum perda dan peraturan Gubernur itu ditetapkan. Apabila berdasarkan hasil evaluasi itu, Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa rancangan perda dan peraturan Gubernur itu bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur dan DPRD harus menyempurnakan rancangan perda itu untuk dievaluasi kembali oleh Menteri Dalam Negeri. Apabila Gubernur dan DPRD tidak menindaklanjuti hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri tersebut dan tetap menetapkan rancangan perda dan peraturan Gubernur itu, maka Menteri Dalam Negeri dapat membatalkannya sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya apabila yang dibatalkan adalah perda tentang APBD.
Kewenangan untuk mengevaluasi rancangan perda kabupaten/kotamadya tentang APBD diberikan kepada Gubernur yang membawahi wilayah kabupaten/kotamadya itu, dengan proses yang sama seperti evaluasi rancangan perda propinsi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Hasil evaluasi atas rancangan perda kabupaten/kotamadya itu akan disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri.
Proses penetapan rancangan perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah juga harus melalui proses evaluasi yang sama dengan proses penetapan rancangan perda tentang APBD. Namun, untuk rancangan perda yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, sedangkan untuk rancangan perda yang berkaitan dengan tata ruang daerah harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang.
Siapa yang Salah?
Setelah mengetahui proses penyusunan perda, kita bisa melihat siapa saja sebenarnya pihak-pihak yang mungkin turut bertanggung jawab “melahirkan” perda yang dianggap bermasalah itu. Pertama, masyarakat dapat dianggap turut bertanggung jawab apabila masyarakat tidak menggunakan haknya untuk memberikan masukan dalam hal mengingatkan kepala daerah dan DPRD agar perda yang disusun tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Namun, hal ini sebenarnya dapat dimaklumi mengingat masyarakat mungkin tidak paham bagaimana menggunakan haknya karena ketidakjelasan mekanisme peran serta masyarakat itu di dalam UU Otonomi Daerah dan peraturan pelaksanaannya.
Kedua, kepala daerah dan DPRD yang bersangkutan juga bertanggung jawab apabila mereka memang memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Namun, bisa juga kepala daerah dan DPRD itu tidak mengetahui atau mengetahui tapi tidak mengerti mengenai peraturan yang harus dirujuknya dalam menyusun perda.
Ketiga, pemerintah pusat juga tidak bisa lepas tangan karena mungkin saja Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan atau menteri yang membidangi urusan tata ruang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dalam mengevaluasi rancangan perda yang diajukan kepada mereka sehingga ketika perda itu ditetapkan ternyata pada pelaksanaannya dianggap perda bermasalah. Mungkin juga parameter yang digunakan pemerintah pusat dalam menilai suatu perda tidak sesuai dengan keadaan aktual dari daerah yang bersangkutan. Kurangnya sosialisasi yang intensif oleh pemerintah pusat kepada seluruh pemerintah daerah di Indonesia mengenai keberadaan peraturan perundang-undangan yang harus dirujuk mereka dalam menyusun perda juga dapat menjadi penyebab lahirnya perda bermasalah.
Disamping itu, tidak memadainya dana perimbangan yang didapat dari pemerintah pusat untuk mengoptimalkan pembangunan di daerah dapat mendorong pemerintah daerah untuk mencari tambahan pendapatan dengan menerbitkan perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang beberapa diantaranya kemudian dianggap sebagai perda bermasalah. Dorongan itu dapat lebih kuat lagi apabila ternyata proses pencairan dana perimbangan dari kas umum Negara sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Kesulitan ini bisa jadi karena pemerintah daerah tidak dapat memenuhi persyaratan untuk pencairan dana perimbangan itu, atau bisa juga karena birokrasi yang menangani pencairan dana itu sengaja mempersulit prosesnya untuk “memaksa” pemerintah daerah memberikan “uang pelicin” agar proses pencairan dana itu dapat lebih mudah.
Keempat, peraturan yang lebih tinggi dari perda mungkin saja tidak peka dengan isu otonomi daerah. Peraturan di tingkat pusat itu mungkin dibuat sebelum masalah otonomi daerah menjadi perhatian utama atau dibuat hanya untuk mempermudah implementasi investasi di daerah namun tidak memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang di masing-masing daerah, sehingga apabila peraturan itu diikuti justru tidak dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Meminimalisir Perda Bermasalah
Setelah melihat pihak-pihak yang mungkin turut bertanggung jawab “melahirkan” perda bermasalah, ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meminimalisir terbitnya perda-perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi, yaitu pertama, pemerintah pusat harus menetapkan peraturan pelaksana UU Otonomi Daerah yang khusus mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam memberikan masukan untuk penyiapan atau pembahasan perda. Masyarakat juga harus diberi hak untuk memberikan masukan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan atau menteri yang membidangi urusan tata ruang dalam mengevaluasi rancangan perda yang diajukan kepada mereka. Peraturan itu juga harus mengatur secara tegas kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhi hak masyarakat itu.
Kedua, berkenaan dengan peran serta masyarakat itu, pemerintah pusat dan daerah harus menyelenggarakan suatu sistem informasi terpadu yang memungkinkan dipublikasikannya secara luas rancangan perda dan perda yang telah berlaku, agar masyarakat dapat dengan mudah memberi masukan atas suatu rancangan perda dan memantau pelaksanaan perda yang telah berlaku. Ketiga, pemerintah pusat harus mengevaluasi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang berhubungan dengan otonomi daerah untuk melihat sejauh mana peraturan itu peka terhadap perkembangan situasi dan kondisi di daerah. Apabila memang suatu daerah karena ciri khasnya serta perkembangan situasi dan kondisinya perlu diatur secara khusus atau dikecualikan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka pemerintah pusat harus dapat mengakomodasi hal tersebut. Untuk itu, parameter yang digunakan pemerintah pusat untuk menilai apakah suatu perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi juga harus dievaluasi.
Keempat, dalam menentukan dana perimbangan untuk suatu pemerintah daerah, pemerintah pusat harus benar-benar memahami kebutuhan aktual dari pemerintah daerah tersebut dengan melakukan dialog atau konsultasi intensif dengan pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan bahwa dana perimbangan yang diberikan adalah wajar dan memadai bagi pemerintah daerah itu untuk melakukan pembangunan daerah secara optimal, sehingga pemerintah daerah itu tidak terdorong menerbitkan perda untuk menambah pendapatan daerahnya dengan melakukan pungutan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Kelima, pemerintah pusat harus mengawasi benar kinerja aparat birokrasinya, khususnya yang memiliki bidang tugas berhubungan dengan pelayanan kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat harus memastikan bahwa aparat birokrasinya akan memberikan pelayanan yang maksimal kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Keenam, sosialisasi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari perda kepada pemerintah daerah mutlak untuk dilakukan oleh pemerintah pusat secara intensif. Terlalu naif apabila mengharapkan semua pemerintah daerah telah tahu dan dapat mengerti sendiri peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang harus dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun perdanya, mengingat lokasi dan kemampuan menyerap informasi dari masing-masing pemerintah daerah berbeda-beda.
Intinya, dalam menangani perda bermasalah, hendaknya pemerintah pusat juga melakukan introspeksi diri dan tidak selalu menimpakan kesalahan kepada pemerintah daerah semata. Jangan hanya demi mengundang investasi asing sebesar-besarnya, pemerintah pusat bertindak gegabah membatalkan suatu perda tanpa mempertimbangkan perkembangan situasi dan kondisi aktual dari daerah yang bersangkutan.
<< Home