Tuesday, December 30, 2008

Segera Atur Tata Cara Penetapan Anggota DPR/DPRD!

oleh Ari Juliano Gema
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2008 yang diucapkan pada Sidang Pleno Terbuka MK tanggal 23 Desember 2008 lalu mulai menuai reaksi. Putusan itu membuat Pasal 214 huruf (a), (b), (c), (d) dan (e) dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD & DPRD (UU Pemilu) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias tidak berlaku lagi.

Pasal 214 UU Pemilu pada dasarnya mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR/DPRD ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Dalam hal terdapat lebih dari satu calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP, maka kursi anggota DPR/DPRD diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut yang lebih kecil diantara calon lainnya tersebut.

Kekosongan Hukum

Banyak kalangan menganggap bahwa dengan tidak berlakunya Pasal 214 tersebut membuat penetapan anggota DPR/DPRD otomatis dilakukan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. Hal ini didasarkan pada pertimbangan MK yang menyatakan bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, oleh karena itu penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.

Namun, perlu diingat bahwa MK hanya berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, bukan membuat ketentuan baru dalam suatu undang-undang. Dengan demikian, dalam UU Pemilu sebenarnya telah terjadi kekosongan hukum dalam mengatur cara penetapan anggota DPR/DPRD.

Satu-satunya ketentuan yang mengatur hal itu adalah Pasal 213 UU Pemilu yang mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota masing-masing ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Dengan begitu, cara menetapkan anggota DPR/DPRD tersebut seolah-olah diserahkan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

Ketentuan Pengganti

Untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut, menurut saya, sebenarnya ada tiga cara yang dapat dilakukan, yaitu: (i) DPR bersama-sama pemerintah melakukan amandemen UU Pemilu untuk membuat ketentuan pengganti Pasal 214 tersebut; (ii) pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang mengatur cara menetapkan anggota DPR/DPRD; atau (iii) KPU menerbitkan Peraturan KPU yang mengatur cara menetapkan anggota DPR/DPRD. Ketentuan pengganti yang dibuat dengan cara manapun tentu harus memperhatikan pertimbangan Putusan MK yang menekankan penggunaan suara terbanyak.

Menimbang berbagai hal, saya pikir akan lebih baik apabila KPU saja yang mengambil tindakan, dengan menerbitkan Peraturan KPU, ketimbang dilakukan amandemen UU Pemilu atau diterbitkannya Perpu oleh pemerintah. Alasannya, untuk melakukan amandemen UU Pemilu tentu harus melalui beberapa tahap yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi apabila dalam proses amandemen UU Pemilu ternyata pembahasannya melebar kemana-mana.

Pun, apabila pemerintah menerbitkan Perpu, maka masih terdapat kemungkinan Perpu tersebut ditolak oleh DPR ketika Perpu diajukan kepada DPR pada persidangan berikutnya. Alasan penolakan mungkin saja karena kepentingan politik sebagian besar anggota DPR tidak terakomodasi dalam Perpu tersebut. Hal ini tentu akan membahayakan kelancaran penyelenggaraan pemilu.

Ketentuan pengganti Pasal 214 tersebut akan lebih kuat posisi hukumnya apabila dibuat dalam bentuk Peraturan KPU. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU berwenang menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Wewenang tersebut diimplementasikan dalam bentuk Peraturan KPU.
Apabila ada pihak yang tidak setuju dengan ketentuan dalam Peraturan KPU tersebut, dapat saja Peraturan KPU tersebut diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diuji apakah bertentangan dengan undang-undang diatasnya atau tidak. Namun, uji materi oleh MA tersebut jelas lebih minim dari pengaruh kepentingan politik. Lagipula, sepanjang Peraturan KPU tersebut sejalan dengan pertimbangan Putusan MK tersebut, maka KPU tidak perlu ragu dengan Peraturan KPU yang dibuatnya.

Labels: , , , , , , , , , , ,

Monday, December 22, 2008

YouTube, Hak Cipta dan Safe Harbor Provisions

oleh Ari Juliano Gema

Siapa yang tidak tahu YouTube? Saya yakin semua yang membaca tulisan ini pasti mengetahui tentang YouTube. Tidak heran YouTube begitu dikenal. Situs video sharing yang digagas oleh Chad Hurley, Steven Chen dan Jawed Karim pada saat mereka berusia 20-an tahun ini dikunjungi sekitar 20 juta pengunjung setiap bulannya.

Sebagaimana ditulis oleh Yudhi Herwibowo dalam bukunya ”YouTube: A Success Story”, YouTube yang diluncurkan pada Mei 2005 ini telah berkembang demikian pesat. Dengan sekitar 65.000 video baru di-upload setiap harinya, tidak aneh apabila pada tanggal 9 Oktober 2006 Google mengumumkan akuisisi saham YouTube senilai Rp 15,67 triliun.

Masalah Hak Cipta

Kesuksesan YouTube rupanya bukan tanpa hambatan. Gugatan mengenai dugaan pelanggaran hak cipta adalah tantangan terbesar dalam perjalanan sukses YouTube. Gugatan paling terkenal adalah gugatan yang dilancarkan Viacom, konglomeral media global, senilai Rp 9,5 triliun pada Maret 2008. Dalam gugatannya, Viacom menyatakan bahwa hampir 150.000 klip video mereka telah di-upload ke YouTube tanpa ijin dan telah disaksikan lebih dari 1,5 miliar kali.

Sebenarnya, YouTube juga telah berusaha untuk menanggulangi hal ini. Dalam peraturan yang harus dipatuhi penggunanya, disebutkan bahwa video yang tidak boleh di-upload salah satunya adalah video yang melanggar hak cipta. Dengan begitu, apabila diketahui ada video yang melanggar hak cipta, maka YouTube akan segera menghapus atau membuatnya tidak dapat diakses.

YouTube juga telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan CBS Corp., dan tiga perusahaan rekaman besar, yaitu: Warner Music Group, Vivendi’s Universal Music Group dan Sony BMG Music. Mereka akan memperoleh sebagian penghasilan iklan YouTube setiap kali seseorang melihat video yang lisensinya dimiliki mereka.

Google juga sedang mengembangkan sistem anti-pembajakan yang dinamakan Video Identification (Content ID) untuk diaplikasikan pada YouTube. Dengan sistem ini, dapat diperbandingkan sidik jari elektronik klip-klip video yang telah di-upload dengan database video yang berlisensi yang disediakan oleh pemegang hak ciptanya. Apabila ditemukan persamaan, YouTube akan mengambil tindakan sesuai permintaan pemegang hak ciptanya, yaitu menghapus klip video tersebut atau meninggalkan begitu saja di YouTube.

Perlindungan Hukum

Untuk menghadapi berbagai masalah hak cipta, YouTube juga berupaya agar dapat terlindungi Section 512 Digital Millenium Copyright Act (DMCA) yang berlaku di Amerika Serikat. Ketentuan yang disebut ”Safe Harbor Provisions” ini melindungi penyedia jasa online dari permasalahan hukum yang disebabkan oleh aktivitas penggunanya.

Apabila YouTube dapat dikategorikan sebagai penyedia jasa online sebagaimana dimaksud Section 512 DMCA itu, maka YouTube dapat bertahan dari berbagai gugatan dugaan pelanggaran hak cipta. Apabila ada penggunanya yang meng-upload video yang melanggar hak cipta orang lain, maka pengguna tersebut yang harus bertanggungjawab sendiri atas pelanggaran yang dilakukannya.

Ada beberapa kriteria penyedia jasa yang termasuk dalam perlindungan Safe Harbor Provisions ini, yaitu antara lain, (i) penyedia jasa hanya boleh menyediakan transmisi, routing atau koneksi untuk komunikasi online; (ii) penyedia jasa tidak boleh berinisiatif untuk mentransmisikan suatu materi; dan (iii) penyedia jasa tidak boleh merubah materi yang ditransmisikan oleh penggunanya. Selain itu, penyedia jasa juga wajib memberikan pemberitahuan mengenai kebijakannya dalam menangani dugaan pelanggaran hak cipta kepada penggunanya. Pemberitahuan itu adalah bagian dari peraturan yang harus disetujui pada saat penggunanya bermaksud menjadi anggota dari layanan yang diberikan.

Bagaimana dengan di Indonesia? UU Hak Cipta tidak mengatur secara khusus sebagaimana ketentuan dalam Section 512 DMCA tersebut. Namun begitu, Pasal 56 KUHPidana mengatur bahwa mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan dapat dipidana sebagai pembantu (medeplichtige). Apabila ada warga negara Indonesia yang membuat layanan seperti YouTube di Indonesia, dan penggunanya meng-upload video yang terbukti melanggar hak cipta pihak lain, maka kemungkinan penyedia layanan itu dapat juga dikenai sanksi pidana karena dianggap memberikan sarana bagi orang lain untuk melakukan pelanggaran hak cipta. Saya pikir mengenai hal ini perlu diatur dalam amandemen UU Hak Cipta nanti, agar jelas posisi hukum penyedia jasa layanan di internet yang beritikad baik.

Labels: , , , , , , ,

Wednesday, December 17, 2008

Ombudsman Itu Apa, Sih?

oleh Ari Juliano Gema

Mungkin kita beberapa kali telah melihat iklan layanan masyarakat di koran maupun televisi yang menyebut-nyebut adanya lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Sebelum kita apatis menyikapi keberadaan ORI, ada baiknya dilihat dulu fungsi, tugas dan wewenang ORI menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU ORI) yang disahkan pada tanggal 7 Oktober 2008.

Menurut UU ORI, ORI adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD. ORI merupakan lembaga negara yang bersifat independen, karena memang tidak memiliki hubungan hirarkis dengan lembaga negara atau instansi pemerintahan yang ada.

ORI bertugas menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan layanan publik. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Prosedur Laporan

Ini berarti, apabila masyarakat dipersulit dalam mengurus perizinan oleh instansi pemerintah, mendapat pelayanan buruk dari BUMN, BUMD dan BHMN, atau mendapat pelayanan buruk dari pihak manapun yang menerima dana dari APBN atau APBD untuk memberikan layanan publik, maka masyarakat berhak melaporkannya kepada ORI. Laporan akan diterima ORI apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat lengkap pelapor; (ii) memuat uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan secara rinci; dan (iii) sudah menyampaikan laporan secara langsung kepada pihak yang dilaporkan atau atasannya, tetapi laporan tersebut tidak mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya.

Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pelapor dapat dirahasiakan. Sayangnya, UU ORI tidak menjelaskan mengenai keadaan tertentu yang dimaksud tersebut. Mengingat pentingnya kejelasan ketentuan tersebut, sudah sepatutnya ORI membuat peraturan sendiri yang menjelaskan maksud ”keadaan tertentu” tersebut. Yang perlu diperhatikan, peristiwa, tindakan atau keputusan yang dilaporkan itu tidak boleh lewat 2 (dua) tahun dari sejak peristiwa, tindakan atau keputusan itu terjadi.

Tindak Lanjut

Berdasarkan laporan tersebut, ORI berwenang meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, terlapor atau pihak terkait lainnya. ORI juga berwenang melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor dan pihak terkait lainnya. Apabila pihak yang dipanggil tidak memenuhi panggilan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, maka ORI dapat meminta bantuan Kepolisian RI untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa. Untuk kewenangan yang satu ini, ORI lebih ”sakti” ketimbang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang kewenangannya untuk melakukan upaya paksa terhadap pihak yang tidak datang memenuhi panggilan dalam rangka penyelidikan tidak jelas aturannya dalam UU Pengadilan HAM.

Berdasarkan hasil pemeriksaannya tersebut, apabila ORI menemukan adanya maladministrasi, ORI akan menerbitkan rekomendasi yang antara lain berisi kesimpulan dan pendapat ORI mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan oleh terlapor dan atasan terlapor. Atasan terlapor wajib menyampaikan laporan kepada ORI tentang pelaksanaan rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi tersebut.

Dalam hal terlapor dan atasan terlapor tidak melaksanakan rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh ORI, maka ORI dapat mempublikasikan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. UU ORI menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”mempublikasikan” adalah publikasi melalui media massa cetak maupun elektronik. Sayangnya, tidak ada penjelasan apakah media massa tersebut harus yang memiliki lingkup nasional atau tidak, dan berapa lama publikasi tersebut dilakukan. Lingkup media massa dan lamanya publikasi itu penting untuk menimbulkan efek jera kepada terlapor dan atasan terlapor.

Terlapor dan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi dari ORI dapat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, UU ORI tidak menjelaskan lebih lanjut sanksi administrasi seperti apa yang akan dikenakan terhadap terlapor dan atasan terlapor yang bandel.
Meski terdapat beberapa ketidakjelasan dalam UU ORI, namun kita do’akan saja semoga ORI dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Dengan begitu, tujuan UU ORI untuk mewujudkan penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dapat segera terwujud.

Labels: , , , , , , , ,

Thursday, December 11, 2008

Seandainya saja Sengkon-Karta, Lingah-Pacah, dan Devid-Kemat mendapat perlakuan serupa ...

oleh Ari Juliano Gema

Jujur saja, saya juga mengikuti kasus artis Marcella Zalianty yang diduga turut melakukan penganiayaan terhadap Agung Setiawan di berbagai tayangan infotainment seperti anda. Saya juga menyaksikan adu argumentasi antara kuasa hukum Marcelia Zalianty dan kuasa hukum Agung Setiawan berkaitan dengan kasus yang juga melibatkan pembalap Ananda Mikola dan Moreno Suprapto.

Yang mencengangkan saya adalah begitu banyaknya kuasa hukum yang mewakili Agung Setiawan. Saya mengenal beberapa advokat senior yang masuk dalam tim kuasa hukum Agung Setiawan. Entah apakah Agung Setiawan begitu kaya raya sehingga mampu menggunakan jasa begitu banyak advokat, atau mungkin tanggung jawab profesi yang memanggil pada advokat tersebut untuk bahu membahu membela kepentingan hukum Agung Setiawan yang terlihat sebagai pihak yang teraniaya.

Saya tidak tertarik untuk turut terlibat dalam polemik di berbagai media mengenai kasus tersebut. Saya juga tidak tertarik untuk membahas hubungan perkara pidana yang melibatkan Marcella Zalianty itu dengan dugaan penipuan yang dilakukan Agung Setiawan terhadap beberapa orang yang muncul belakangan di berbagai media. Saya hanya membayangkan betapa mulianya para advokat yang menjadi kuasa hukum Agung Setiawan tersebut seandainya mereka melakukan itu karena tanggung jawab profesi untuk membantu orang yang teraniaya secara pro bono (secara cuma-cuma).

Menurut UU Advokat, seorang advokat memang mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sayangnya, sampai saat ini belum juga diterbitkan peraturan pemerintah tersebut, sehingga ketentuan tersebut belum dapat dijalankan.

Saya juga mendengar saat ini sedang diupayakan pembuatan UU Bantuan Hukum yang akan mengatur mengenai hak-hak pencari keadilan yang tidak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma. Undang-undang ini mungkin akan lebih tegas mengatur kewajiban advokat untuk memberikan jasa hukum secara pro bono.

Saya pikir sebenarnya banyak advokat yang bersedia untuk memberikan jasa hukum secara pro bono. Hanya saja mungkin organisasi advokat yang ada belum mau dan mampu mengorganisir anggotanya untuk melakukan pemberian bantuan hukum secara pro bono tersebut. Mudah-mudahan bukan karena sibuk mengurusi masalah klasik organisasi advokat: perpecahan organisasi advokat.

Banyak juga advokat yang bersedia memberikan jasa hukum secara pro bono, namun karena belum berpraktik sendiri akhirnya tidak leluasa untuk memberikan jasa hukum secara pro bono karena harus mengikuti kebijakan kantor tempatnya bekerja. Beruntung apabila kantornya memiliki kebijakan yang ramah terhadap pemberian jasa hukum secara pro bono. Sayangnya, mungkin hanya segelintir kantor advokat yang benar-benar serius dalam mengurusi masalah bantuan hukum secara pro bono tersebut.

Saya jadi membayangkan, seandainya saja Sengkon-Karta, Lingah-Pacah, dan Devid-Kemat mendapat bantuan hukum dari begitu banyak advokat seperti yang dinikmati Agung Setiawan. Hal itu tentu dapat meminimalisir putusan pengadilan yang tidak berdasarkan fakta hukum sebenarnya dan tidak memenuhi rasa keadilan. Saya pikir masih banyak pencari keadilan di pelosok-pelosok daerah terpencil di Indonesia yang berpendidikan rendah dan tidak mampu yang membutuhkan jasa advokat.

Ketika kita mendengar kasus Sengkon-Karta, Lingah-Pacah, dan Devid-Kemat, tentu kita akan dengan mudah menyalahkan aparat penegak hukum sebagai penyebab terjadinya kasus salah tangkap tersebut. Namun, setelah saya mendengar keluh kesah seorang teman yang berprofesi sebagai polisi, saya jadi berusaha untuk menilai kejadian tersebut secara obyektif.

Ketika teman saya itu bertugas di sebuah daerah di luar Pulau Jawa, ia merasakan betapa sulitnya mencari advokat yang mau memberikan bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu yang sedang menjalani pemeriksaan di kepolisian. Meski teman saya itu sudah membuat forum yang melibatkan organisasi advokat, pengadilan dan kejaksaan setempat untuk mengatasi hal itu, tetap saja dalam prakteknya sangat sulit mencari advokat yang mau mendampingi pencari keadilan yang tidak mampu dari mulai proses pemeriksaan di kepolisian sampai proses persidangan di pengadilan. Kadang, lokasi praktik advokat yang sebagian besar berada di kota-kota besar juga menyulitkan advokat untuk menyanggupi bantuan hukum yang intensif terhadap masyarakat yang berada di daerah terpencil.

Mudah-mudahan saja rekan-rekan advokat yang masuk dalam tim kuasa hukum Agung Setiawan itu memang melakukan itu karena panggilan tanggung jawab profesi. Mudah-mudahan saja panggilan tanggung jawab profesi itu terus berlanjut untuk membantu para pencari keadilan yang tidak mampu di daerah-daerah pelosok nusantara, yang mungkin tidak akan diliput oleh wartawan infotainment manapun. Mudah-mudahan saja saya sedang tidak bermimpi.

Labels: , , , , , , , , , , , ,

Monday, December 01, 2008

Sudah Jelaskah Aturan Pencantuman Identitas Penyumbang Dana Kampanye?

oleh Ari Juliano Gema

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD & DPRD (UU Pemilu), kegiatan kampanye calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota (caleg) didanai dan menjadi tanggung jawab partai politik peserta pemilu masing-masing. Dana kampanye tersebut bersumber dari partai politik itu sendiri, caleg yang bersangkutan dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.

UU Pemilu mengatur mengenai batasan sumbangan dari pihak lain tersebut. Dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan tidak boleh melebihi Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan dan/atau badan usaha non-pemerintah tidak boleh melebihi Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Dana kampanye tersebut harus dicatat dalam pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang terpisah dari pembukuan keuangan partai politik. Pembukuan dana kampanye tersebut dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai peserta pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.

Pemberi sumbangan untuk dana kampanye tersebut harus mencantumkan identitas yang jelas. Menurut Penjelasan UU Pemilu, yang dimaksud dengan ”identitas yang jelas” adalah nama dan alamat penyumbang.

Identitas Tidak Jelas

Saya benar-benar tidak habis pikir dengan keterangan mengenai ”identitas yang jelas” tersebut. Bagaimana mungkin dengan hanya mencantumkan nama dan alamat penyumbang sudah dapat dikatakan sebagai identitas yang jelas? Bukankah dalam satu alamat mungkin saja ada dua nama yang sama? Apalagi tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah nama yang digunakan itu boleh nama panggilan saja atau harus nama yang sesuai dengan dokumen resmi, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau ijasah misalnya.

Dalam penjelasan UU Pemilu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain” adalah sumbangan yang tidak berasal dari tindak pidana, bersifat tidak mengikat, berasal dari perseorangan, kelompok, dan/atau perusahaan. Bagaimana KPU dapat memeriksa apakah sumbangan tersebut hasil tindak pidana atau bukan apabila identitas yang tercantum hanya nama dan alamat saja?

Pengaturan dalam UU Pemilu itu jelas rentan manipulasi data. Jangan salahkan masyarakat apabila partai-partai politik yang terlibat dalam penyusunan UU Pemilu tersebut dituduh sengaja membuat aturan tersebut untuk menyembunyikan informasi penyumbang dana kampanyenya. Mereka tidak ingin masyarakat dapat menerka kemungkinan adanya ”politik balas budi” di kemudian hari antara partai politik yang menjadi peserta pemilu 2009 dengan penyumbang dana kampanyenya.

KPU Harus Berani

Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus berani bersikap tegas untuk menyikapi hal ini. Dalam rangka menjamin penyelenggaraan pemilu yang berkualitas, KPU harus menerbitkan peraturan KPU yang mengatur lebih lanjut mengenai pencantuman identitas penyumbang dana kampanye tersebut.

KPU harus menjelaskan mengenai dokumen apa yang dijadikan rujukan pencantuman nama dan alamat tersebut. Apakah pencantuman nama dan alamat tersebut merujuk pada nama dan alamat yang tercantum dalam KTP atau ijasah misalnya.

Permintaan Direktorat Jenderal Pajak kepada KPU agar mewajibkan penyumbang dana kampanye di atas Rp 20 juta mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah suatu hal yang sangat patut dipertimbangkan. Hal ini akan sangat membantu KPU untuk memeriksa penyumbang dana kampanye tersebut. NPWP adalah nomor yang unik untuk setiap wajib pajak. Berbeda dengan KTP yang mana setiap orang bisa saja memiliki lebih dari satu KTP, sehingga menyulitkan dalam penelusurannya.
Menurut saya, pengaturan lebih lanjut oleh KPU tersebut tidak melanggar UU Pemilu. Pengaturan itu justru untuk membantu masyarakat memahami makna sebenarnya dari ”identitas yang jelas” dalam UU Pemilu tersebut. Apabila partai-partai politik yang menyusun UU Pemilu tersebut keberatan dengan pengaturan lebih lanjut oleh KPU tersebut, maka jangan salahkan masyarakat apabila masyarakat menganggap partai-partai politik tersebut memiliki agenda terselubung dengan para penyumbang dana kampanyenya.

Labels: , , , , ,