Wednesday, December 17, 2008

Ombudsman Itu Apa, Sih?

oleh Ari Juliano Gema

Mungkin kita beberapa kali telah melihat iklan layanan masyarakat di koran maupun televisi yang menyebut-nyebut adanya lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Sebelum kita apatis menyikapi keberadaan ORI, ada baiknya dilihat dulu fungsi, tugas dan wewenang ORI menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU ORI) yang disahkan pada tanggal 7 Oktober 2008.

Menurut UU ORI, ORI adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD. ORI merupakan lembaga negara yang bersifat independen, karena memang tidak memiliki hubungan hirarkis dengan lembaga negara atau instansi pemerintahan yang ada.

ORI bertugas menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan layanan publik. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Prosedur Laporan

Ini berarti, apabila masyarakat dipersulit dalam mengurus perizinan oleh instansi pemerintah, mendapat pelayanan buruk dari BUMN, BUMD dan BHMN, atau mendapat pelayanan buruk dari pihak manapun yang menerima dana dari APBN atau APBD untuk memberikan layanan publik, maka masyarakat berhak melaporkannya kepada ORI. Laporan akan diterima ORI apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat lengkap pelapor; (ii) memuat uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan secara rinci; dan (iii) sudah menyampaikan laporan secara langsung kepada pihak yang dilaporkan atau atasannya, tetapi laporan tersebut tidak mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya.

Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pelapor dapat dirahasiakan. Sayangnya, UU ORI tidak menjelaskan mengenai keadaan tertentu yang dimaksud tersebut. Mengingat pentingnya kejelasan ketentuan tersebut, sudah sepatutnya ORI membuat peraturan sendiri yang menjelaskan maksud ”keadaan tertentu” tersebut. Yang perlu diperhatikan, peristiwa, tindakan atau keputusan yang dilaporkan itu tidak boleh lewat 2 (dua) tahun dari sejak peristiwa, tindakan atau keputusan itu terjadi.

Tindak Lanjut

Berdasarkan laporan tersebut, ORI berwenang meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, terlapor atau pihak terkait lainnya. ORI juga berwenang melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor dan pihak terkait lainnya. Apabila pihak yang dipanggil tidak memenuhi panggilan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, maka ORI dapat meminta bantuan Kepolisian RI untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa. Untuk kewenangan yang satu ini, ORI lebih ”sakti” ketimbang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang kewenangannya untuk melakukan upaya paksa terhadap pihak yang tidak datang memenuhi panggilan dalam rangka penyelidikan tidak jelas aturannya dalam UU Pengadilan HAM.

Berdasarkan hasil pemeriksaannya tersebut, apabila ORI menemukan adanya maladministrasi, ORI akan menerbitkan rekomendasi yang antara lain berisi kesimpulan dan pendapat ORI mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan oleh terlapor dan atasan terlapor. Atasan terlapor wajib menyampaikan laporan kepada ORI tentang pelaksanaan rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi tersebut.

Dalam hal terlapor dan atasan terlapor tidak melaksanakan rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh ORI, maka ORI dapat mempublikasikan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. UU ORI menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”mempublikasikan” adalah publikasi melalui media massa cetak maupun elektronik. Sayangnya, tidak ada penjelasan apakah media massa tersebut harus yang memiliki lingkup nasional atau tidak, dan berapa lama publikasi tersebut dilakukan. Lingkup media massa dan lamanya publikasi itu penting untuk menimbulkan efek jera kepada terlapor dan atasan terlapor.

Terlapor dan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi dari ORI dapat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, UU ORI tidak menjelaskan lebih lanjut sanksi administrasi seperti apa yang akan dikenakan terhadap terlapor dan atasan terlapor yang bandel.
Meski terdapat beberapa ketidakjelasan dalam UU ORI, namun kita do’akan saja semoga ORI dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Dengan begitu, tujuan UU ORI untuk mewujudkan penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dapat segera terwujud.

Labels: , , , , , , , ,

4 Comments:

At 18/12/08 08:23, Blogger akokow said...

bukan mirip superman yah?

Koko
lplpx.com

 
At 23/12/08 14:59, Anonymous Anonymous said...

Terima kasih banyak mas Ari, telah membantu turut mensosialisasikan Ombudsman RI. Doakan dan support kami agar terus bisa meningkatkan kinerja melayani publik.

Salam hangat

Hasymi
(Informasi&Komunikasi ORI)

 
At 1/11/13 17:57, Blogger Unknown said...

This comment has been removed by the author.

 
At 1/11/13 18:06, Blogger Unknown said...

Saya kira bersaudara dengan Aom Kusman :-)

 

Post a Comment

<< Home