Monday, November 03, 2008

Catatan Kritis untuk RUU Pilpres

oleh Ari Juliano Gema

Setelah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 29 Oktober 2008 lalu, Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) mulai hangat diperbincangkan. Bahkan ada keinginan dari beberapa partai politik untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Saya mencoba memahami draft RUU Pilpres yang saya peroleh dari situs DPR RI (http://www.dpr.go.id) pada tanggal 30 Oktober 2008. Ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam RUU Pilpres tersebut, yaitu:

1. Salah satu persyaratan menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah tidak pernah melakukan tindak pidana berat. Ada juga persyaratan yang menyatakan bahwa tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Apakah ada perbedaan yang mendasar antara tindak pidana berat dan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih? RUU Pilpres sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana berat.

2. Pejabat negara yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres harus mengundurkan diri dari jabatannya. Dalam penjelasan RUU Pilpres disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pejabat negara adalah Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengapa hanya ketua atau pimpinan lembaga tersebut saja yang dianggap pejabat negara? Sebagai contoh, menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hakim konstitusi adalah pejabat negara, meski tidak menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Apakah ini berarti apabila ada hakim konstitusi yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres maka ia tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya?

3. Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres harus meminta izin kepada Presiden. Namun RUU Pilpres tidak mengatur dalam waktu berapa lama Presiden harus memberikan tanggapan atas permintaan izin tersebut. Apa yang terjadi apabila Presiden tidak memberikan izin? Apakah ada upaya hukum yang dapat dilakukan atas tidak diberikannya izin tersebut?

4. RUU Pilpres tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian istilah ”berhalangan tetap” yang mungkin dialami capres atau cawapres di beberapa pasal dalam RUU Pilpres. Sebagai perbandingan, dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) diatur bahwa salah satu hal yang membuat anggota pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan adalah apabila berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya. Pengaturan tersebut lebih jelas ketimbang pengaturan di RUU Pilpres.

5. Nama-nama pelaksana kampanye dan anggota tim kampanye pasangan capres-cawapres harus didaftarkan pada KPU di pusat maupun daerah masing-masing. Ini penting karena pelaksana kampanye dan tim kampanye adalah pihak yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kampanye di lapangan. Anehnya, RUU Pilpres tidak mengatur sanksi apabila nama-nama pelaksana kampanye dan anggota tim kampanye tersebut tidak didaftarkan.

6. KPU wajib memfasilitasi penyebarluasan materi kampanye yang meliputi visi, misi dan program pasangan capres-cawapres melalui website KPU. Anehnya, tidak ada kewajiban bagi KPU untuk memaparkan profil lengkap capres/cawapres, yang seharusnya meliputi latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan latar belakang organisasi serta aktivitas sosial yang relevan lainnya.

7. RUU Pilpres mengatur beberapa keadaan yang membuat pemungutan suara di suatu Tempat Pemungutan Suara (TPS) wajib diulang seketika apabila pengawas pemilu lapangan dapat membuktikan terjadinya keadaan tersebut. Sayangnya, meski terbukti misalnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan capres-cawapres tertentu, hal itu tidak termasuk keadaan yang membuat pemungutan suara di suatu TPS wajib diulang seketika.

8. Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Pemungutan suara ulangan itu dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara. Namun, RUU Pilpres tidak mengatur apabila pada kenyataannya pemungutan suara ulangan itu tidak dapat dilaksanakan karena bencana alam dan/atau kerusuhan itu berlangsung lebih dari jangka waktu 10 (sepuluh) hari tersebut. Apakah hak suara para pemilih akan hangus begitu saja?

9. Penggunaan istilah “hari” dalam RUU Pilpres tidak jelas mengacu kepada hari kalender atau hari kerja. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan pada pelaksanaannya.


Selain beberapa hal di atas, saya sangat menyayangkan tidak adanya ketentuan yang mengakomodir pasangan capres-cawapres dari jalur independen. Setelah perdebatan panjang, RUU Pilpres juga tidak berhasil mencantumkan aturan yang mengharuskan pimpinan partai politik untuk mundur dari jabatannya apabila terpilih sebagai presiden atau wakil presiden.

Labels: , , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home