Mengapa KPU Tidak Mengajukan Banding?
oleh Ari Juliano Gema
Saya mulai kuatir dengan penyelenggaraan Pemilu 2009. Tanpa perlawanan berarti, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan untuk melaksanakan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta No. 104G/2008/PTUNJKT pada tanggal 13 Agustus 2008 yang memerintahkan KPU menetapkan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Merdeka (PM) dan Partai Buruh (PB), sebagai partai politik peserta pemilu 2009 (Kompas, 18/08/08).
Sabtu, 16 Agustus 2008, KPU menetapkan nomor urut 4 partai susulan tersebut, yaitu nomor urut 41 - 44, berturut-turut untuk PM, PPNUI, PSI dan PB. Penyusunan nomor urut tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan penyusunan nomor urut partai politik peserta pemilu yang telah dilakukan sebelumnya oleh KPU, yaitu nomor urut partai politik nasional 1 – 34 dan nomor urut 35 – 40 untuk partai politik lokal Aceh.
Menjadi Preseden Buruk
Terus terang, keputusan KPU untuk langsung melaksanakan keputusan PTUN itu, tanpa terlebih dahulu meminta pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu, sangat saya sesali. Sedikitnya ada tiga alasan yang melatari sikap saya tersebut, yaitu, pertama¸ sikap mengalah KPU tersebut dapat dianggap sebagai sikap lemah KPU dalam menghadapi pihak-pihak yang tidak setuju dengan apa yang telah diputuskan oleh KPU.
Kedua, sikap mengalah KPU dapat dianggap sebagai bukti bahwa KPU mengakui ketidakberesannya dalam menyelenggarakan pemilu. Ketiga, sikap mengalah KPU dapat dianggap sebagai bukti bahwa KPU tidak siap untuk mempertahankan keputusannya sendiri.
Ini jelas dapat menjadi preseden buruk. Ingat, masih ada beberapa keputusan KPU untuk tahapan pemilu berikutnya yang membuka kemungkinan untuk digugat oleh pihak-pihak yang merasa tidak puas. Bayangkan, betapa kacaunya penyelenggaraan pemilu 2009 apabila setiap keputusan KPU nantinya digugat di PTUN tanpa adanya perlawanan yang berarti dari KPU.
Memang, pemeriksaan banding membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Namun, dengan adanya fakta aktual tentang jadwal penyelenggaraan Pemilu 2009 yang sedemikian ketat, KPU dapat meminta kepada Mahkamah Agung (MA) agar dibuat peraturan yang membuat proses pemeriksaan di tingkat pertama, tingkat banding ataupun tingkat kasasi atas perkara yang menyangkut keputusan KPU dapat diprioritaskan dan dipercepat.
Menurut Undang-Undang tentang MA, MA berwenang membuat Peraturan MA (Perma) sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Dengan demikian, atas permintaan KPU, seharusnya MA mau membuat Perma yang memprioritaskan dan mempercepat proses pemeriksaan perkara yang menyangkut keputusan KPU, sehingga seluruh proses pemeriksaan tersebut tidak terlalu mengganggu jadwal penyelenggaraan Pemilu 2009.
Menutup Celah
Untuk menghindari kejadian ini terulang kembali pada pemilu mendatang, seharusnya dalam UU Pemilu ditegaskan apakah terhadap keputusan KPU itu dapat diajukan upaya hukum atau sudah bersifat final. Bandingkan dengan ketentuan dalam UU Paten yang mengatur tentang pelaksanaan paten oleh pemerintah. Apabila pemerintah berpendapat bahwa suatu paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan. Menurut UU Paten, keputusan pemerintah untuk melaksanakan paten tersebut bersifat final.
Saya mulai kuatir dengan penyelenggaraan Pemilu 2009. Tanpa perlawanan berarti, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan untuk melaksanakan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta No. 104G/2008/PTUNJKT pada tanggal 13 Agustus 2008 yang memerintahkan KPU menetapkan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Merdeka (PM) dan Partai Buruh (PB), sebagai partai politik peserta pemilu 2009 (Kompas, 18/08/08).
Sabtu, 16 Agustus 2008, KPU menetapkan nomor urut 4 partai susulan tersebut, yaitu nomor urut 41 - 44, berturut-turut untuk PM, PPNUI, PSI dan PB. Penyusunan nomor urut tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan penyusunan nomor urut partai politik peserta pemilu yang telah dilakukan sebelumnya oleh KPU, yaitu nomor urut partai politik nasional 1 – 34 dan nomor urut 35 – 40 untuk partai politik lokal Aceh.
Menjadi Preseden Buruk
Terus terang, keputusan KPU untuk langsung melaksanakan keputusan PTUN itu, tanpa terlebih dahulu meminta pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu, sangat saya sesali. Sedikitnya ada tiga alasan yang melatari sikap saya tersebut, yaitu, pertama¸ sikap mengalah KPU tersebut dapat dianggap sebagai sikap lemah KPU dalam menghadapi pihak-pihak yang tidak setuju dengan apa yang telah diputuskan oleh KPU.
Kedua, sikap mengalah KPU dapat dianggap sebagai bukti bahwa KPU mengakui ketidakberesannya dalam menyelenggarakan pemilu. Ketiga, sikap mengalah KPU dapat dianggap sebagai bukti bahwa KPU tidak siap untuk mempertahankan keputusannya sendiri.
Ini jelas dapat menjadi preseden buruk. Ingat, masih ada beberapa keputusan KPU untuk tahapan pemilu berikutnya yang membuka kemungkinan untuk digugat oleh pihak-pihak yang merasa tidak puas. Bayangkan, betapa kacaunya penyelenggaraan pemilu 2009 apabila setiap keputusan KPU nantinya digugat di PTUN tanpa adanya perlawanan yang berarti dari KPU.
Memang, pemeriksaan banding membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Namun, dengan adanya fakta aktual tentang jadwal penyelenggaraan Pemilu 2009 yang sedemikian ketat, KPU dapat meminta kepada Mahkamah Agung (MA) agar dibuat peraturan yang membuat proses pemeriksaan di tingkat pertama, tingkat banding ataupun tingkat kasasi atas perkara yang menyangkut keputusan KPU dapat diprioritaskan dan dipercepat.
Menurut Undang-Undang tentang MA, MA berwenang membuat Peraturan MA (Perma) sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Dengan demikian, atas permintaan KPU, seharusnya MA mau membuat Perma yang memprioritaskan dan mempercepat proses pemeriksaan perkara yang menyangkut keputusan KPU, sehingga seluruh proses pemeriksaan tersebut tidak terlalu mengganggu jadwal penyelenggaraan Pemilu 2009.
Menutup Celah
Untuk menghindari kejadian ini terulang kembali pada pemilu mendatang, seharusnya dalam UU Pemilu ditegaskan apakah terhadap keputusan KPU itu dapat diajukan upaya hukum atau sudah bersifat final. Bandingkan dengan ketentuan dalam UU Paten yang mengatur tentang pelaksanaan paten oleh pemerintah. Apabila pemerintah berpendapat bahwa suatu paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan. Menurut UU Paten, keputusan pemerintah untuk melaksanakan paten tersebut bersifat final.
Apabila memang UU Pemilu memberikan peluang dilakukannya upaya hukum terhadap keputusan KPU, maka harus ditentukan mekanisme upaya hukum yang mampu mengakomodir ketatnya jadwal penyelenggaraan pemilu. Bisa ditiru mekanisme yang diatur dalam undang-undang tentang kepailitan. Upaya hukum yang disediakan adalah mengajukan gugatan di Pengadilan Niaga, yang apabila ada pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga dapat langsung mengajukan kasasi di MA. Waktu pemeriksaannya pun telah ditentukan dengan pasti. Dengan demikian, proses pemeriksaan menjadi lebih singkat dan terukur.
Labels: KPU, Mahkamah Agung, pemilu, Pengadilan, politik, PTUN
0 Comments:
Post a Comment
<< Home