Hukum, Transformasi Sosial dan Naskah Akademik
oleh Ari Juliano Gema
Saya mendapat kesempatan mengikuti Pelatihan Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), selama lima hari di Bali. Pesertanya ada yang dari instansi pemerintah, lembaga negara, organisasi non-pemerintah, praktisi hukum dan kalangan swasta.
Materi awal yang disampaikan kepada peserta adalah mengenai hukum dan perubahan sosial. Diketahui bahwa hukum bisa muncul dalam dua wajah yang saling bertentangan. Di tangan rezim otoriter, hukum bisa jadi alat pengatur yang semena-mena dan tidak adil. Sebaliknya, hukum juga bisa menjadi alat pencipta keadilan dalam masyarakat dan membatasi penguasa agar tidak sewenang-wenang (Ahmad dkk., 2007).
Untuk menjamin hukum berwajah ”ramah”, pembentukan hukum, dalam wujud peraturan perundang-undangan, harus melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan begitu, hukum lebih mampu menangkap hal-hal yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Inilah yang disebut hukum responsif. Pembentuk hukum responsif akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Ia akan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan keinginan masyarakat. Bukan semata-mata keinginan penguasa.
Transformasi Sosial
Hukum responsif diyakini dapat mendorong transformasi sosial yang demokratis di negeri ini. Transformasi sosial adalah perubahan sosial yang bersifat mendasar dan mengubah pola-pola hubungan dalam masyarakat. Hukum responsif menempatkan diri dekat dengan masyarakat, dan berupaya mewujudkan tujuan bersama, bukan tujuan negara.
Transformasi sosial hanya terjadi jika perancangan peraturan bertujuan mengubah institusi sosial. Institusi adalah perilaku yang dilakukan oleh individu atau kelompok secara berulang-ulang atau terus menerus. Ketika ada perilaku yang bermasalah, maka peraturan itu dibuat untuk mengatasi perilaku yang bermasalah tersebut.
Untuk merancang peraturan yang dapat mengatasi perilaku bermasalah tersebut, digunakan metode perancangan peraturan yang disebut Metode Pemecahan Masalah (MPM). MPM selalu mensyaratkan analisis sosial dalam merancang sebuah peraturan. Untuk menemukan penyebab sebuah perilaku bermasalah seorang perancang mengajukan pertanyaan penting: mengapa seseorang berperilaku tertentu dihadapan hukum? Jadi tidak langsung mengatur mengenai sanksi terhadap suatu perilaku bermasalah.
Ambil contoh dalam menangani korupsi. Dengan metode ini, perancang peraturan tidak akan sekedar mengatur unsur-unsur korupsi dan sanksinya, namun juga memikirkan lebih lanjut cara-cara agar korupsi sebagai institusi bermasalah dapat diatasi. Perancang peraturan akan memikirkan apa penyebab korupsi tersebut dan jalan keluarnya.
Naskah Akademik
Dalam pelatihan tersebut disampaikan juga mengenai proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU). Ada tiga lembaga yang dapat melakukan proses penyusunan suatu RUU, yaitu presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Baik usulan RUU dari presiden, DPR maupun DPD, biasanya didahului dengan penyusunan naskah akademik. Menurut Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rancangan Perpu, Rancangan PP dan Rancangan Perpres (Perpres No. 68/2005), yang dimaksud dengan naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan lingkup, jangkauan, obyek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-Undang.
Yang menyusun naskah akademik adalah lembaga pemrakarsa RUU. Namun, menurut Perpres No. 68/2005, penyusunan naskah akademik bukanlah suatu kewajiban. Artinya, lembaga pemrakarsa boleh saja tidak membuat naskah akademik atas RUU yang diajukannya.
Saya mendapat kesempatan mengikuti Pelatihan Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), selama lima hari di Bali. Pesertanya ada yang dari instansi pemerintah, lembaga negara, organisasi non-pemerintah, praktisi hukum dan kalangan swasta.
Materi awal yang disampaikan kepada peserta adalah mengenai hukum dan perubahan sosial. Diketahui bahwa hukum bisa muncul dalam dua wajah yang saling bertentangan. Di tangan rezim otoriter, hukum bisa jadi alat pengatur yang semena-mena dan tidak adil. Sebaliknya, hukum juga bisa menjadi alat pencipta keadilan dalam masyarakat dan membatasi penguasa agar tidak sewenang-wenang (Ahmad dkk., 2007).
Untuk menjamin hukum berwajah ”ramah”, pembentukan hukum, dalam wujud peraturan perundang-undangan, harus melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan begitu, hukum lebih mampu menangkap hal-hal yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Inilah yang disebut hukum responsif. Pembentuk hukum responsif akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Ia akan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan keinginan masyarakat. Bukan semata-mata keinginan penguasa.
Transformasi Sosial
Hukum responsif diyakini dapat mendorong transformasi sosial yang demokratis di negeri ini. Transformasi sosial adalah perubahan sosial yang bersifat mendasar dan mengubah pola-pola hubungan dalam masyarakat. Hukum responsif menempatkan diri dekat dengan masyarakat, dan berupaya mewujudkan tujuan bersama, bukan tujuan negara.
Transformasi sosial hanya terjadi jika perancangan peraturan bertujuan mengubah institusi sosial. Institusi adalah perilaku yang dilakukan oleh individu atau kelompok secara berulang-ulang atau terus menerus. Ketika ada perilaku yang bermasalah, maka peraturan itu dibuat untuk mengatasi perilaku yang bermasalah tersebut.
Untuk merancang peraturan yang dapat mengatasi perilaku bermasalah tersebut, digunakan metode perancangan peraturan yang disebut Metode Pemecahan Masalah (MPM). MPM selalu mensyaratkan analisis sosial dalam merancang sebuah peraturan. Untuk menemukan penyebab sebuah perilaku bermasalah seorang perancang mengajukan pertanyaan penting: mengapa seseorang berperilaku tertentu dihadapan hukum? Jadi tidak langsung mengatur mengenai sanksi terhadap suatu perilaku bermasalah.
Ambil contoh dalam menangani korupsi. Dengan metode ini, perancang peraturan tidak akan sekedar mengatur unsur-unsur korupsi dan sanksinya, namun juga memikirkan lebih lanjut cara-cara agar korupsi sebagai institusi bermasalah dapat diatasi. Perancang peraturan akan memikirkan apa penyebab korupsi tersebut dan jalan keluarnya.
Naskah Akademik
Dalam pelatihan tersebut disampaikan juga mengenai proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU). Ada tiga lembaga yang dapat melakukan proses penyusunan suatu RUU, yaitu presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Baik usulan RUU dari presiden, DPR maupun DPD, biasanya didahului dengan penyusunan naskah akademik. Menurut Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rancangan Perpu, Rancangan PP dan Rancangan Perpres (Perpres No. 68/2005), yang dimaksud dengan naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan lingkup, jangkauan, obyek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-Undang.
Yang menyusun naskah akademik adalah lembaga pemrakarsa RUU. Namun, menurut Perpres No. 68/2005, penyusunan naskah akademik bukanlah suatu kewajiban. Artinya, lembaga pemrakarsa boleh saja tidak membuat naskah akademik atas RUU yang diajukannya.
Naskah akademik seharusnya diposisikan sebagai suatu dokumen kebijakan (policy paper), yaitu suatu dokumen yang menjembatani komunikasi mengenai kebijakan publik yang akan dibuat di antara pihak-pihak yang terkait, yaitu pembuat kebijakan, perancang peraturan dan pemangku kepentingan (stakeholders) (Susanti, 2007). Dengan demikian, sangat disayangkan apabila suatu lembaga pemrakarsa tidak menyusun naskah akademik atas RUU yang diusulkannya. Tanpa naskah akademik, publik tidak dapat mengetahui dengan jelas kemana arah kebijakan yang diambil dalam suatu RUU.
Labels: DPD, DPR, hukum, naskah akademis, peraturan, presiden, RUU, undang-undang
0 Comments:
Post a Comment
<< Home