Kalau Takut Dijebak, Jangan Korupsi, Dong!
oleh Ari Juliano Gema
Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, pernyataan Presiden SBY pada Konvensi Hukum Nasional beberapa waktu lalu menuai polemik. Pada saat itu, Presiden SBY menyampaikan ”peringatan” kepada aparat penegak hukum agar terus mensosialisasikan peraturan perundang-undangan untuk mengurangi tindak kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat. ”Kalau ada warga negara yang berbuat kesalahan atau melanggar hukum karena tidak tahu, maka kita ikut bersalah. Dan yang lebih jelek lagi, jangan sampai menjebak, padahal kita bisa mengingatkan. Saya tekankan betul ini kepada KPK dan Kejagung”, begitu kata beliau (Kominfo-Newsroom, 15/04/08).
Banyak pihak menanggapi pernyataan tersebut. Menurut mereka, sulit rasanya melepaskan anggapan bahwa ”peringatan” tersebut adalah sebagai reaksi atas tertangkap tangannya seorang anggota DPR RI oleh KPK atas dugaan penyuapan. Karena hal itu, sampai-sampai Menteri Negara/Sekretaris Negara RI Hatta Rajasa perlu meluruskan pernyataan Presiden SBY tersebut. Ia menyatakan bahwa Presiden SBY sebenarnya mendukung sepenuhnya upaya pemberantasan korupsi oleh KPK dengan segala kewenangannya (Kompas, 19/04/08).
Senjata KPK
Ketika dibentuk, KPK dilengkapi dengan berbagai ”senjata” untuk memborbardir para pelaku korupsi. ”Senjata” yang diberikan kepada KPK menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta perubahannya (UU No. 31/1999) dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), antara lain sebagai berikut:
- KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan apabila misalnya KPK melihat terdapat hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif;
- KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
- KPK berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Sebenarnya, menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), untuk membuka, memeriksa dan menyita surat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Namun, untuk mempercepat proses penyidikan, UU No. 31/1999 memberikan hak istimewa tersebut;
- Sebelum informasi/dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 31/1999 telah mengakui perluasan alat bukti yang sah dalam bentuk informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, serta setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau disimpan secara elektronik, berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna; dan
- Beberapa tindak pidana yang diatur dalam UU No. 31/1999 menganut sistem pembuktian terbalik. Berbeda dengan sistem yang dianut KUHAP, sistem ini memberikan beban pembuktian kepada terdakwa, dimana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, terdakwa yang harus bersusah payah membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas tuntutan dugaan korupsi dari jaksa penuntut umum.
Kewenangan sebagaimana disebut di atas terbukti efektif, karena KPK lebih leluasa untuk mendapatkan bukti permulaan yang cukup sebelum menangkap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dalam melakukan penangkapan tersebut, KPK tidak mungkin bertindak sembarangan, apalagi berniat menjebak, karena hal itu pasti akan merusak kredibilitas KPK.
Mencegah Korupsi
Apabila Presiden SBY bermaksud mengatakan supaya KPK mengingatkan atau mencegah agar orang tidak melakukan tindak pidana korupsi daripada menjebaknya, maka sebenarnya KPK telah banyak melakukan tugasnya dalam mencegah korupsi sebagaimana dimaksud dalam UU KPK, yaitu antara lain menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi, merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, serta melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum.
Kalau ada pejabat yang ditangkap oleh KPK ketika sedang melakukan perbuatan yang diduga kuat merupakan tindak pidana korupsi, hal itu jelas kesalahan pejabat itu sendiri. Dengan kampanye antikorupsi yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak secara nasional, seharusnya pejabat tersebut sudah tahu perbuatan apa saja yang dianggap sebagai tindak pidana korupsi serta konsekuensinya. Jadi, kalau takut dijebak, jangan korupsi, dong!
Labels: korupsi, KPK, penangkapan, pencegahan, presiden
0 Comments:
Post a Comment
<< Home