Monday, March 10, 2008

Futsal, Advokat dan Penegak Hukum

oleh Ari Juliano Gema

Setelah beberapa kali gagal, akhirnya hari Sabtu kemarin saya berhasil memenuhi janji saya untuk hadir pada pertemuan dengan teman-teman kuliah saya dulu. Uniknya, pertemuan ini diadakan dalam bentuk latihan futsal bersama di sebuah gelanggang futsal di sekitar Jalan Gatot Subroto. Meski ukuran lapangan futsalnya tidak terlalu besar, namun karena kondisi tubuh sedang tidak prima, hanya bermain beberapa menit saja saya sudah berteriak: time out! Padahal saya sendiri tidak yakin apakah di futsal ada ketentuan time out.

Meski badan terasa pegal-pegal, namun senang rasanya bisa bertemu dengan teman-teman kuliah dulu yang sekarang memiliki berbagai latar belakang profesi hukum, mulai dari in-house counsel, advokat, jaksa sampai hakim. Karena sangat berkesan dan semua setuju akan perlunya olahraga untuk menjaga stamina tubuh yang mulai mengendur, rencananya latihan bersama ini akan rutin dilakukan setiap hari Sabtu pagi.

Advokat sebagai Penegak Hukum

Saat berbicara dengan mereka, saya berpikir mengenai perbandingan profesi saya sebagai advokat dengan profesi teman-teman saya yang lain itu. Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), advokat sebagai salah satu profesi hukum ditegaskan statusnya sebagai penegak hukum. Penegasan tersebut memiliki arti bahwa advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dengan begitu, seharusnya kedudukan advokat dalam ”Catur Wangsa Penegak Hukum” bersama hakim, jaksa dan polisi, menjadi lebih jelas.

Menyimak penuturan Daniel S. Lev dalam kata pengantarnya di buku ”Advokat Indonesia Mencari Legitimasi” (Binziad Kadafi et al, 2001), profesi advokat Indonesia mengalami perubahan yang membingungkan akibat ombang-ambing politik. Para advokat biasa aktif dalam politik pada jaman Demokrasi Parlementer, dan dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai salah satu unsur dalam sistim peradilan. Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin, para advokat mulai dijauhkan dari lembaga formal. Bahkan sering diperlakukan sebagai musuh hakim dan jaksa.

Pada masa awal Orde Baru, advokat yang berkumpul dalam Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), organisasi advokat nasional yang pertama, menyatakan diri sebagai organisasi perjuangan yang bermaksud untuk menciptakan kembali Indonesia sebagai suatu negara hukum. Namun, kritik advokat pada masa itu terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan instansi lainnya dibalas pemerintah dengan upaya memecah belah organisasi advokat agar menjadi lemah dan lebih mudah dikontrol.

Sebelum UU Advokat diundangkan, keberadaan advokat sebenarnya telah disebut dalam berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum dan UU Hukum Acara Pidana. Namun, belum pernah ada ketentuan yang menegaskan status profesi advokat. Hal ini membuat seolah-olah advokat adalah “anak tiri” dalam Catur Wangsa Penegak Hukum.

Setelah UU Advokat diundangkan, meski status, hak dan kewajiban profesi advokat telah diatur dengan jelas dan tegas, namun dalam prakteknya tidaklah seindah yang dibayangkan. Sebagai contoh, dalam UU Advokat diatur bahwa dalam menjalankan profesinya advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya dari pihak manapun dalam rangka pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, UU Advokat tidak memberikan sanksi bagi pihak yang tidak mau memberikan informasi, data atau dokumen yang diperlukan advokat tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan penegak hukum lainnya yang dipersenjatai dengan pasal-pasal ampuh dalam berbagai peraturan perundang-undangan untuk “melibas” pihak-pihak yang menghalangi tugas dan kewenangan mereka.

Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-II/2004 yang menyatakan tidak berlakunya Pasal 31 UU Advokat yang mengatur sanksi bagi orang yang bukan advokat namun dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat. Padahal pasal tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kerugian yang mungkin diderita akibat ulah mereka yang mengaku-aku sebagai advokat. Bayangkan saja para debt collector yang bukan advokat namun bertindak seolah-olah sebagai advokat yang akan semakin bebas berkeliaran dengan tingkah lakunya yang kadang melewati batas-batas norma kesopanan karena ketiadaan sanksi yang jelas dan tegas sebagaimana dimaksud Pasal 31 tersebut.

Forum Tukar Pikiran

Terus terang, saya menikmati obrolan dengan teman-teman pada saat itu. Sangat menyenangkan apabila bisa terus memiliki kesempatan ngobrol dalam suasana santai dengan teman-teman dari profesi penegak hukum lainnya. Namun, jangan pernah berpikir bahwa ini akan menjadi ajang kolusi di antara penegak hukum, karena bagaimanapun juga dalam berinteraksi tersebut kami terikat pada kode etik profesi masing-masing. Ini mungkin lebih kepada ajang untuk bertukar pikiran mengenai hal-hal yang ingin diketahui oleh profesi penegak hukum pada umumnya.
Dalam sejarahnya, advokat tidak pernah diikutsertakan dalam forum-forum koordinasi antar penegak hukum. Lihat saja keberadaan forum antara Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian (Mahkejapol) atau forum antara Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian (Diljapol). Oleh karena itu, bisa bertemu dan ngobrol santai dengan teman-teman dari profesi penegak hukum yang lain sedikit banyak bisa mengobati perasaan ”dianaktirikan” dari Catur Wangsa Penegak Hukum.

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home