Tuesday, March 06, 2007

Kemacetan, Penegak Hukum dan Terobosan Hukum

Oleh Ari Juliano Gema

Hari Minggu kemarin, kami sekeluarga terjebak dalam kemacetan akibat pertandingan sepakbola yang diselenggarakan di Stadion Lebak Bulus, Jakarta. Seusai pertandingan, para supporter yang hendak pulang banyak berkerumun di perempatan jalan sehingga menyulitkan kendaraan untuk lewat. Belum lagi beberapa angkutan umum yang membawa para supporter diparkir seenaknya di sekitar Stadion Lebak Bulus turut menambah semrawutnya jalan raya.

Rambu-rambu lalu lintas dan lampu merah tidak dihiraukan lagi. Klakson kendaraan terdengar riuh saling bersahut-sahutan. Semua kendaraan ingin berjalan mendahului yang lain. Saat itulah beberapa orang anggota polisi mulai turun tangan mengatur jalannya lalu lintas. Meski para supporter melakukan tindakan-tindakan provokatif agar angkutan umum yang mereka tumpangi tidak mematuhi pengaturan dari para anggota polisi itu, namun para anggota polisi itu tetap bersikap tenang dan tegas dalam menjalankan tugasnya. Keadaan pun berangsur-angsur dapat dipulihkan, sehingga kami sekeluarga akhirnya dapat terbebas dari kemacetan itu. Salut kepada para anggota polisi yang bertugas pada saat itu!

Arti dan Tujuan Hukum

Pada waktu kuliah dulu, seorang dosen pernah bertanya: “apakah arti hukum itu?” Pertanyaan yang remeh kelihatannya, tapi membuat kami para mahasiswa hukum terdiam lama untuk memikirkan jawabannya. Menurut Prof. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka (1979), setidak-tidaknya ada sembilan arti hukum yang dipahami oleh masyarakat, yaitu: (i) hukum sebagai ilmu pengetahuan; (ii) hukum sebagai disiplin; (iii) hukum sebagai kaedah; (iv) hukum sebagai tata hukum; (v) hukum sebagai petugas; (vi) hukum sebagai keputusan penguasa; (vii) hukum sebagai proses pemerintahan; (viii) hukum sebagai perikelakuan yang teratur; dan (ix) hukum sebagai jalinan nilai-nilai.

Apabila kita kembali pada peristiwa kemacetan di atas, maka rambu-rambu lalu lintas dan lampu merah itu sebenarnya adalah perwujudan hukum sebagai tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat kaedah-kaedah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis/berwujud. Perilaku orang berkendara yang biasanya teratur dan patuh pada rambu-rambu lalu lintas adalah perwujudan dari hukum sebagai perikelakuan yang teratur atau diulang-ulang dengan cara yang sama untuk mencapai kedamaian, yang pada saat itu justru menjadi tidak teratur dengan mengabaikan rambu-rambu lalu lintas.

Pada saat itulah para anggota polisi “mengambil alih” peran hukum dari rambu-rambu lalu lintas dan perilaku orang berkendara agar kembali tercapai kedamaian dalam berlalu lintas. Itulah yang menjadi tujuan hukum sesungguhnya, yaitu kedamaian karena adanya keserasian antara dua nilai atau kepentingan yang berbeda, yaitu antara lain antara ketertiban dengan kebebasan, atau kepentingan pribadi dengan kepentingan umum (Soekanto dan Purbacaraka, 1979).

Orang-orang dapat menerima tindakan anggota polisi itu karena anggota polisi adalah juga perwujudan dari hukum, yaitu sebagai petugas atau pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum. Anggota polisi itu juga terlihat sungguh-sungguh dalam melakukan upaya untuk mengembalikan kedamaian bagi para pengguna jalan. Dalam sistim hukum kita, petugas atau penegak hukum itu, selain polisi, juga mencakup hakim, jaksa dan advokat.

Terobosan Hukum

Disadari atau tidak, dalam peristiwa kemacetan itu sebenarnya terjadi suatu terobosan hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Ketika rambu-rambu lalu lintas tidak lagi dipatuhi oleh para pengguna jalan, maka aparat kepolisian “mengambil alih” peran rambu-rambu lalu lintas itu. Aparat kepolisian telah “menciptakan” aturan baru untuk mengatasi kemacetan tersebut.

Pada lingkup kehidupan yang lebih luas, terobosan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum seringkali dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan hukum yang mengakibatkan terganggunya kedamaian masyarakat. Salah satu contoh terobosan hukum yang paling hebat menurut saya adalah pada saat Mahkamah Agung RI (MA) menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963.

SEMA itu diterbitkan atas dasar pertimbangan MA bahwa beberapa ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda tidak sesuai untuk diterapkan dalam zaman kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, dalam SEMA tersebut MA menganggap tidak berlakunya beberapa pasal dalam KUHPer, termasuk Pasal 108 dan 110 tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan hak antara seorang istri dan suami di hadapan hukum.
Meski secara hirarki perundang-undangan kedudukan SEMA lebih rendah dari KUHPer, namun pada kenyataannya SEMA itulah yang diikuti dalam praktek peradilan. Terlepas dari pro dan kontra seputar terbitnya SEMA pada tahun 1963 itu, bagi saya SEMA itu tetap merupakan contoh hebat terobosan hukum di Indonesia. SEMA itu telah membawa kembali kedamaian yang semula terusik karena perlakuan yang tidak adil dalam KUHPer, salah satunya terhadap hak perempuan di hadapan hukum.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home