Apakah Lembaga Sensor Film Perlu Dibubarkan?
oleh Ari Juliano Gema
Menyimak pernyataan bersama Masyarakat Film Indonesia (MFI) pada tanggal 3 Januari 2007 yang dimuat di berbagai media membuat saya berpikir keras. Dalam pernyataannya itu, MFI mendesak pemerintah untuk membubarkan lembaga-lembaga perfilman bentukan pemerintah yang ada, seperti Lembaga Sensor Film (LSF) dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), karena dinilai tidak mencerminkan semangat pembaharuan dan tidak berpihak pada kemajuan perfilman Indonesia. Untuk itu, MFI mengusulkan agar keberadaan LSF diganti menjadi sebuah Lembaga Klasifikasi Film.
LSF dan BP2N
LSF dibentuk atas amanat UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (UU No. 8/1992). Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, LSF bertugas: (i) melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum; (ii) meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan; dan (iii) menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan.
Pembentukan BP2N juga berdasarkan amanat UU No. 8/1992. Salah satu fungsi BP2N menurut UU No. 8/1992 adalah memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia terhadap film yang ditolak oleh LSF. Dengan demikian, BP2N sebenarnya berfungsi juga sebagai suatu lembaga penyelesaian perselisihan antara perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia dengan LSF.
Kebebasan Berkomunikasi?
Sejujurnya, untuk menjawab apakah LSF perlu dibubarkan atau tidak bukanlah perkara yang mudah. Di satu sisi, berkomunikasi, termasuk melalui film seperti yang dilakukan oleh insan perfilman, merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi kita. Seperti halnya dengan buku, lukisan, lagu dan puisi yang tidak memerlukan tanda lulus sensor untuk dipublikasikan, seharusnya begitu juga dengan penayangan film.
Namun, di sisi lain, film sebagai media komunikasi massa berbentuk audio-visual ternyata memiliki pengaruh yang lebih besar bagi penikmatnya ketimbang bentuk media komunikasi lainnya. Melalui berita di media massa, kita tahu bahwa banyak kasus perkosaan terjadi karena pelakunya terangsang oleh film porno yang ditontonnya. Sampai saat ini, saya belum pernah mendengar ada orang yang memperkosa karena puisi yang dibacanya atau lagu yang didengarnya.
Begitu juga dengan fenomena tindak kekerasan yang merebak di kalangan anak-anak karena terpengaruh tayangan gulat profesional di salah satu stasiun televisi. Sangat disayangkan tayangan tersebut baru dihentikan setelah jatuh korban terlebih dahulu. Itupun setelah stasiun televisi itu mendapatkan protes dari berbagai kalangan.
Pada keadaan inilah Negara dituntut mengambil peran untuk melindungi warga negaranya dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh segala karya sinematografi, termasuk film. Saat ini, peran yang diharapkan dari Negara itu telah diwujudkan dalam UU No. 8/1992 dengan membentuk LSF.
Ide Pembaharuan
Faktanya, suka tidak suka, LSF telah terbentuk karena amanat undang-undang. Konstitusi kita sendiri memberikan kewenangan kepada Negara untuk membatasi hak dan kebebasan warga negaranya, termasuk kebebasan berkomunikasi melalui film, dengan menetapkan pembatasan tersebut dalam suatu undang-undang. Pembatasan itu semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta memperhatikan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
Secara teori, untuk membubarkan LSF bisa saja dilakukan dengan mengamandemen UU No. 8/1992 terlebih dahulu atau mengajukan uji materi UU No. 8/1992 kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghapuskan ketentuan yang mengatur keberadaan LSF. Tapi bagaimana dengan hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh film? Apakah perlu menunggu jatuh korban dahulu baru pemerintah bisa melakukan tindakan terhadap film tersebut?
Mungkin MFI harus berhati-hati dalam melontarkan ide pembubaran LSF. Jangan sampai ide ini semata-mata dilandasi emosi karena LSF sering tidak meloloskan film-film yang diproduksi oleh anggota MFI.
Saya setuju dengan ide pembaharuan di bidang perfilman yang dilontarkan oleh MFI. Mungkin lebih baik kalau ide pembaharuan itu diarahkan pada pembaharuan secara substansil ketimbang melakukan “politik bumi hangus”. Saya pikir MFI dapat mengusulkan agar keanggotaan LSF ke depan bisa mengakomodir sineas-sineas berpikiran maju di dalamnya, sehingga ide pembaharuan dapat lebih merasuk ke dalam tubuh LSF. Dengan kekuatan lobinya, MFI juga dapat mendesak agar parameter yang digunakan oleh LSF dalam menilai suatu film dapat ditinjau ulang agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Ide pembaharuan juga perlu diarahkan kepada BP2N agar lebih berdaya dan dapat dipercaya oleh insan perfilman untuk menyelesaikan perselisihan sehubungan dengan keberatan yang diajukan oleh perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia terhadap film yang ditolak oleh LSF. Saya yakin tidak semua orang, termasuk insan perfilman, tahu bahwa keputusan penolakan suatu film oleh LSF itu ternyata tidak final karena masih bisa dilakukan upaya banding ke BP2N.
Kalaupun pada akhirnya LSF dan BP2N berhasil dibubarkan, saya titip pesan kepada MFI untuk melakukan self regulatory di industri perfilman dengan membuat semacam tata krama dalam membuat film yang akan ditayangkan di tanah air. Saya pikir hal ini tidaklah berlebihan, mengingat masyarakat periklanan Indonesia telah berhasil membuat Tata Krama Periklanan Indonesia untuk melindungi kepentingan konsumen.
Menyimak pernyataan bersama Masyarakat Film Indonesia (MFI) pada tanggal 3 Januari 2007 yang dimuat di berbagai media membuat saya berpikir keras. Dalam pernyataannya itu, MFI mendesak pemerintah untuk membubarkan lembaga-lembaga perfilman bentukan pemerintah yang ada, seperti Lembaga Sensor Film (LSF) dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), karena dinilai tidak mencerminkan semangat pembaharuan dan tidak berpihak pada kemajuan perfilman Indonesia. Untuk itu, MFI mengusulkan agar keberadaan LSF diganti menjadi sebuah Lembaga Klasifikasi Film.
LSF dan BP2N
LSF dibentuk atas amanat UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (UU No. 8/1992). Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, LSF bertugas: (i) melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum; (ii) meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan; dan (iii) menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan.
Pembentukan BP2N juga berdasarkan amanat UU No. 8/1992. Salah satu fungsi BP2N menurut UU No. 8/1992 adalah memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia terhadap film yang ditolak oleh LSF. Dengan demikian, BP2N sebenarnya berfungsi juga sebagai suatu lembaga penyelesaian perselisihan antara perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia dengan LSF.
Kebebasan Berkomunikasi?
Sejujurnya, untuk menjawab apakah LSF perlu dibubarkan atau tidak bukanlah perkara yang mudah. Di satu sisi, berkomunikasi, termasuk melalui film seperti yang dilakukan oleh insan perfilman, merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi kita. Seperti halnya dengan buku, lukisan, lagu dan puisi yang tidak memerlukan tanda lulus sensor untuk dipublikasikan, seharusnya begitu juga dengan penayangan film.
Namun, di sisi lain, film sebagai media komunikasi massa berbentuk audio-visual ternyata memiliki pengaruh yang lebih besar bagi penikmatnya ketimbang bentuk media komunikasi lainnya. Melalui berita di media massa, kita tahu bahwa banyak kasus perkosaan terjadi karena pelakunya terangsang oleh film porno yang ditontonnya. Sampai saat ini, saya belum pernah mendengar ada orang yang memperkosa karena puisi yang dibacanya atau lagu yang didengarnya.
Begitu juga dengan fenomena tindak kekerasan yang merebak di kalangan anak-anak karena terpengaruh tayangan gulat profesional di salah satu stasiun televisi. Sangat disayangkan tayangan tersebut baru dihentikan setelah jatuh korban terlebih dahulu. Itupun setelah stasiun televisi itu mendapatkan protes dari berbagai kalangan.
Pada keadaan inilah Negara dituntut mengambil peran untuk melindungi warga negaranya dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh segala karya sinematografi, termasuk film. Saat ini, peran yang diharapkan dari Negara itu telah diwujudkan dalam UU No. 8/1992 dengan membentuk LSF.
Ide Pembaharuan
Faktanya, suka tidak suka, LSF telah terbentuk karena amanat undang-undang. Konstitusi kita sendiri memberikan kewenangan kepada Negara untuk membatasi hak dan kebebasan warga negaranya, termasuk kebebasan berkomunikasi melalui film, dengan menetapkan pembatasan tersebut dalam suatu undang-undang. Pembatasan itu semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta memperhatikan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
Secara teori, untuk membubarkan LSF bisa saja dilakukan dengan mengamandemen UU No. 8/1992 terlebih dahulu atau mengajukan uji materi UU No. 8/1992 kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghapuskan ketentuan yang mengatur keberadaan LSF. Tapi bagaimana dengan hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh film? Apakah perlu menunggu jatuh korban dahulu baru pemerintah bisa melakukan tindakan terhadap film tersebut?
Mungkin MFI harus berhati-hati dalam melontarkan ide pembubaran LSF. Jangan sampai ide ini semata-mata dilandasi emosi karena LSF sering tidak meloloskan film-film yang diproduksi oleh anggota MFI.
Saya setuju dengan ide pembaharuan di bidang perfilman yang dilontarkan oleh MFI. Mungkin lebih baik kalau ide pembaharuan itu diarahkan pada pembaharuan secara substansil ketimbang melakukan “politik bumi hangus”. Saya pikir MFI dapat mengusulkan agar keanggotaan LSF ke depan bisa mengakomodir sineas-sineas berpikiran maju di dalamnya, sehingga ide pembaharuan dapat lebih merasuk ke dalam tubuh LSF. Dengan kekuatan lobinya, MFI juga dapat mendesak agar parameter yang digunakan oleh LSF dalam menilai suatu film dapat ditinjau ulang agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Ide pembaharuan juga perlu diarahkan kepada BP2N agar lebih berdaya dan dapat dipercaya oleh insan perfilman untuk menyelesaikan perselisihan sehubungan dengan keberatan yang diajukan oleh perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia terhadap film yang ditolak oleh LSF. Saya yakin tidak semua orang, termasuk insan perfilman, tahu bahwa keputusan penolakan suatu film oleh LSF itu ternyata tidak final karena masih bisa dilakukan upaya banding ke BP2N.
Kalaupun pada akhirnya LSF dan BP2N berhasil dibubarkan, saya titip pesan kepada MFI untuk melakukan self regulatory di industri perfilman dengan membuat semacam tata krama dalam membuat film yang akan ditayangkan di tanah air. Saya pikir hal ini tidaklah berlebihan, mengingat masyarakat periklanan Indonesia telah berhasil membuat Tata Krama Periklanan Indonesia untuk melindungi kepentingan konsumen.
Maju Terus Perfilman Indonesia!
11 Comments:
Kalau boleh to the point, saya termasuk yang sepaham dengan MFI perihal modifikasi orientasi LSF menjadi LKF. Dengan adanya gunjang-ganjing apa yang boleh dan yang tidak boleh ditayangkan ke publik sudah mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia secara luas sudah "pandai nan dewasa" dalam menyortir tayangan yang seperti apa yang pantas disuguhkan ke ranah publik. Oleh sebab itu, justru LSFlah yang sebenarnya perlu dihaturkan terimakasih akan eksistensinya sekian tahun lamanya (karena saking lamanya, saya tidak tahu persis berapa tahun!)berhasil membina masyarakat Indonesia.
Jadi, puten-puten bae apabila ada aspirasi yang menyatakan bahwa sudah saatnya LSF versi jadul (jaman dulu) dipensiunkan. (Jenderal saja masa jabatannya ada batasnya! Militer tahu diri! Masa sipil engga tahu diri?? Maluuu...!)Sudah tiba saatnya masyarakat Indonesia dipercaya untuk diberikan tanggung jawab kebebasan memilih dalam menentukan seleranya masing-masing. Toh akhirnya, ujung-ujungnya diktum pasarlah yang akan menentukan jenis tayangan film seperti apa yang akan laku di pasaran. Mekanisme 'laissez faire' (free market) inilah yang saya yakin satu-satunya cara terbaik dalam menguji dan membuktikan popularitas sebuah film. Contoh: "Naga Bonar Jadi Dua", tanpa unsur pornografi, kekerasan, makar, SARA, magis, tapi toh digandrungi 1 juta-an penonton (kalau saya tidak salah). Begitupula "Eiffel I'm In Love" dan "Hantu Jeruk Purut", semua sama-sama berhasil di pasaran walaupun genrenya berbeda. Janganlah lupa bahwa film-film yang berhasil membentot OSCAR setiap tahunnya adalah justru film-film yang nuansanya tanpa unsur pornografi dan jauh dari 'action-pact'. Padahal Amerika sering dituduh oleh negara-negara 'timur neokonservatif' (termasuk kita) sebagai sarang liberalisme nan kapitalistis menjijikan! Haluan pemikiran seperti ini mudah diinovasi dan dipelihara dikarenakan posisi negara seperti Indonesia sangat lemah. Andaikan keadaan Indonesia bargaining positioningnya kurang lebih sejajar dengan Amerika, tentu nalar politik luar negri kita tidak akan bernuansa kental 'jealousy' dan kampunganisme yang berlebihan seperti sekarang!
Bagi pihak-pihak yang menyangsikan status moral bangsa seandainya LSF dibubarkan, sebenarnya hanyalah dalih untuk menutupi ketakutan mereka yang sesungguhnya; yaitu terkuaknya kenyataan bahwa selera masyarakat, yang didasari oleh lubuk hati nurani terdalam terwujudkan dalam "kebebasan memilih", tidak dapat dipatronisasi, dipaksa, dibendung, bahkan dibelokkan sesuai dengan kepentingan dari rekayasa struktural paradigma tertentu.
Perlu diingat bahwa sifat pasar selalu dinamis. Dia akan bergerak terus menuntut hal baru, kalau tidak menciptakan trend baru, tidak stagnan. Nantinya, seiring dengan berjalannya waktu, akan muncul proses 'learning curve' tersendiri dimana rumah-rumah produksi yang merilis film-film dengan tema yang 'itu-itu melulu" akan menghambarkan minat dan selera masyarakat dengan sendirinya, yang akhirnya bisa mengakibatkan jeblog alias 'total flop'. Disinilah para penggagas film tertuntut untuk meningkatkan kwalitas standard ide cerita perfilman yang akan berkembang berkesinambungan.
Saya sangat empati akan aspirasi yang dicetuskan oleh kawan-kawan kita di MFI. Perihal mendasar yang dipersoalkan oleh mereka adalah murni mengenai pembelengguan insting, intuisi, nalar, naluri sebagai pendorong kreatifitas seni. Hanya itu! Mereka khawatir apabila larangan-larangan berlebihan yang diterjemahkan dalam bentuk penyensoran mutlak akan mengantar industri perfilman Indonesia ke jenjang yang tidak sehat. Kaitannya, pengkondisian seperti ini akan sangat melucuti optimalisasi potensi daya saing film-film Indonesia dengan film-film asing yang notabene didominasi oleh Hollywood. Ibarat prajurit diperintahkan jendralnya untuk terjun ke medan perang dibekali pistol tapi tanpa peluru!! Konyol dong, bow...!! Akhirnya yang rugi yaa...kita juga! Sama saja dengan membantu menyuburkan dominasi film asing di negri sendiri. Dengan kata lain, mempertahankan LSF versi jadul akan berdampak kontra-produktif bagi perkembangan industri perfilman Indonesia jangka panjang. (mudah-mudahan bertahan selama itu!)
Sederhananya, jika masyarakat Indonesia tidak diberi kesempatan untuk bertanggung jawab menentukan seleranya masing-masing SEKARANG, kapan lagi?? Ditunda lagi?? Sampai kapan?? Terus aja dianggap seperti anak kecil yang sengaja diarahkan untuk memiliki kekerdilan berpikir!! Kapan DEWASANYA?? Bukankah pemikiran dan selera beragam?? Bukankah klasifikasi lebih afdol daripada sensorisasi tanpa pandang bulu?? Keberagaman tidak akan pernah bisa diseragamkan!!!!
Urusan 'pro' atau 'kontra' sensor ini sebetulnya juga pendewasaan kita sebagai bangsa.
Kalau kita terus-menerus kontradiktif, tapi tidak pernah memberi peluang kontradiksi ini untuk berkembang menjadi wacana yang sehat, maka lupakan demokrasi.
Kalau kita terus mengira perlu ada campur tangan negara hanya untuk urusan ketawa atau menangis di bioskop, lupakan demokrasi.
Kalau kita terus bersikap ogah mengambil tanggung-jawab lebih sebagai warganegara, dan karenanya masih sedikit-sedikit mengklaim perlu perlindungan pemerintah, di tengah era arus informasi yang tidak tertahan seperti saat ini, lupakan demokrasi.
Kalau Anda hadir di sidang MK kemarin, salah seorang ahli atas nama pemohon berkata, "institusi publik yang tidak bisa diatur oleh publik sendiri adalah ekstensi kekuasaan."
waduh MFI kemauannya aneh2 aja LSF mau di bubarkan, gak salah nih emangnya yg memproduksi film indonesia aja , film yg datangnya dari luar bisa2 lolos sensor kalian tau sendirikan film barat. ingat bung mayoritas penduduk indonesia itu bukan org bejat yg menyukai seni. di inggris aja sensor film masih di berlakukan.
saya tgl 6 Feb 08 kemarin ikut hadir di mahkamah konstitusi yang membahas tentang pembubaran Lembaga Sensor Film. Kebetulan sekali ketika saya hadir LSF sedang memutar adegan film buatan dalam negri yang mereka potong yang antara lain film GIE, DETIK TERAKHIR, Jakarta Undercover, dan dua film lain film Indonesia juga yang saya lupa judulnya, serta kalau tidak salah dua film asing KOMENTAR saya WOW.................ternyata sineas Indonesia sudah "PANDAI" membuat film PORNO. Awalnya saya bukan lah termasuk orang yang pro ataupun kontra akan keberadaan LSF. Jadi ketika beberapa teman cerita dengan berapi2 baik yang pro atau yang kontra saya masih berfikir ah..gitu aja kok pusing duduk aja bareng masing-masing maunya gimana cari jalan tengah. Dan.........setelah saya datang dan lihat apa yang di potong saya terkejut dan menangis, menangis karena apa? karena saya punya dua anak. Saya Ingat beberapa bulan yang lalu anak saya minta izin nonton bioskop karena temannya ulang tahun dan dia nonton karena di traktir, saya tanya film apa terowongan CASABLANCA yang saya tahu dari iklan yang ada di media itu film setan oke kata saya pada anak saya karena tdk pernah terfikir bahwa ada adegan "setan" yang lain dalam film itu. Setelah pulang anak saya cerita saya patut bersyukur anak saya masih mau cerita . Dan ceritanya aku nyesel nonton film itu, aku jijik masa ada adegan perempuan yang payudaranya di pegang2 terkejutlah saya dan mengalirlah cerita dari anak saya kesimpulannya dia jijik dan tidak mau lagi di ingatkan tentang film itu anak saya 12 tahun ketika itu kelas 1 SMP. Dan jangan berharap penjaga Bioskop akan menanyakan KTP meskipun sudah jelas film itu untuk 17 tahun ke atas saya paham ujung2nya DUIT.
Kembali ke atas. Yang membuat saya miris di sidang kemarin teman2 yang menuntut LSf lagi2 yang di tonjolkan adalah sisi kemanusiaan dari beberapa film dengan alasan ingin mengungkapkan sejarah oke saya setuju tapi kenapa mereka tidak membahas adegan yang jelas porno yang di potong oleh LSF halo halo........... anda-anda yang mengaku ingin mencerdaskan bangsa , kenapa tidak anda komentari dan jelaskan adegan tersebut JELASKAN TOLONG JELASKAN mengapa anda buat adegan yang sangat detil tentang persetubuhan antara lawan jenis dan sejenis, adegan sodomi terhadap seorang waria, adegan seks bersama ??????? jangan katakan itu FENOMENA karena yang kalian katakan fenomena setelah kalian buatkan film itu jadi budaya. Berapa banyak remaja putri yang menjual diri mencontoh film Virgin? jangan katakan itu fenomena. Menyedihkan sekali ibu Citra Buchori yang memberi kesaksian kemarin mewakili orang tua maaf ibu orang tua yang mana yang ibu wakili ? ibu bilang sering mengajak anak ibu nonton untuk akhirnya mendiskusikan adegan dan isi cerita film termasuk film berbagi suami, apa pentingnya ibu mengajak anak ibu nonton film berbagi suami kalau hanya ingin mengajarkan anak ibu tentang poligami, bukankah di infotainment atau media lain sudah banyak kasus tentang poligami bahkan kasus dai kondang yang beritanya meluber sampai keman-mana tidak cukup di jadikan pembelajaran, salut untuk ibu saya ingin tahu apakah ibu juga memberi izin anak ibu melihat adegan mesum yang di potong LSF jika ya WOW alangkah "hebatnya" ibu. Pagi ini saya lihat komentar Dian Sastro di infotainment, yang antara lain dengan adanya sensor mengandaikan kecerdasan masyarakat Indonesia itu 0 masyarakat yang mana ? tolong mba jangan bicara masyarakat , dan maaf anda belum punya anak JADI TIDAK TAHU bagaimana sulitnya mengasuh anak di zaman seperti ini. Memang anak tanggung jawab orang tua tapi tidak selamanya orang tua bersama anak ada hal-hal lain yang juga harus di perhatikan. Ingat anak masa depan bangsa jadi bangsa juga bertanggung jawab terhadap anak sebagai aset masa depannya. Tidak mungkin memang mensterilkan anak tapi bukan berarti juga sengaja membiarkan anak terbentur dengan hal yang pasti merusak jiwanya. Dengan adanya LSF saja kalian berani membuat film bejat Konon lagi tidak ada LSF seperti itu dan jangan bilang lagi fenomena itu NORA gak mutu. . LSF meminimalisir hal-ahal yang tidak pantas untuk di lihat bukan saja oleh anak-anak tetapi juga oleh manusia dewasa yang normal karena hanya orang-orang yang tidak normal saja yang butuh adegan mesum seperti itu.
saya setuju sekali kalau LSF tetap dipertahankan!! kalo pekerja seni yg tergabung dlm MFI katanya merasa terpasung kreatifiyasnya, maka sangat menyedihkan buat kalian wahai film maker, hanya dengan keberadaan LSF yang menjaga moraalitas bangsa yg sudah hancur dengan film-film ampral kalian, maka kalian merasa tdk bs berkreasi?? katanya pekerja seni, masa baru gt aza mandul c,,justru dgn adanay LSF, kalian dituntut untuk makin kreatif!! emang g bs kreatif tanpa adegan vulgar, amoral n violence ya?? kasiaan..sungguh menyedihkan kalian ini..apa jadinya generasi muda yg nonton film2 yg penuh adegan ml, making out, ngedrugs, sadism, masichism, etc?? sekarang saja dgn adanya LSF kalian tetap brutal merusak bangsa ini dgn adegan2 amoral!! emang g bisa keutuhan cerita ditampilkan dgn adegan lain yg lebih mendidik dan kreatif? salut pada dedi mizwar dan naga bonar jadi 2 yg full dgn adegan realis dan agamis, jg mengajak kembali pada akar nasionalisme. coba tiru dan belajar pada beliau wahai mfi! apa kalian sdh keabisan ide cerita??saya jg melihat potongan sensor sinetron dan film lokal, saya mual dan pusink, tdk menyangka film maker qta ternyata hanya sekumpulan manusia barbar yg mengatasnamakan seni..tolong kalian kembali pada hati nurani..contoh film naga bonar dan denias..juga sistem cineplex harap dirombak hingga lebih ketat dalam penjualan tiket dann penjagaan pintu masuk studio, harap penonton hanya sesuai dengan usia pada id card dan film yang ditayangkan. please..save our nation..
makasi ya sudah menjadi salahsatu referensi tugas saya :)
Tanya pada hati nurani apakah jika film yang nyata-nyata merusak.Yang dirusak adalah anak perempuanmu,istrimu atau ibumu.Bila hati nurani hilang maka
biarkanlah ia menerima apa yang ia katakan.Bukan orang lain .Selamat berjuang para ibu.
payah nih ind..
gw dnger bru2 ni ad film GAMER dtolak..
dtempat gw ud bnyk ank2 yg mau nton brsma film GAMER.. y tp lsf nolak..
smpe2 hmpir tmen2 gw bwat grup d fb nmny bubarkan lsf..
mkny fil gamer tu ap sih yg porno??
g ad..
pyah ind..
kan sdh ad tul bysany.. -UNTUK DEWASA ..
jd slahny siiapa ankny gg djaga..
gwa sbg ank rmaja cp jga..
ap2 dlarang..
udlh lsf gg ush d gntti..
tp klo mngedentifikasi tu yg bner..
cba deh lsf lyat film.. ky film SPARTA.. BAARUU TUHH LOO LAARAANGG..
jgn film yg biasa2 aj lo lrang..
GWA STUJU BANGET SAMA DIAN SASTRO BUBARKAN LSF ATAU CARANYA LSf mngedentifikasi FILM YG BNER...
>.<
LSF ,ada aja udah bwat hancur...
apalagi gak ada...
bagusnya sh,gdiganti aj orang2 nya dengan yg bener.lgian seperti nya gak kerja tuh mreka...hanya nangkring aja
dan menikmati film ,yg seharus nya,tugas mreka menyensor.
film liburan anak2,dari luar seperti nya khilaf tuh nyensor nya,,,pke kiss2 an segala.saya paling malu + repot bnget,kalau nonton film sama adik dan sepupu klo harus mengganti channel ketika ada adegan ---
tapi,bagus deh ,saat orang sibuk mencari amal jariyah(amal y gak yg mengalir,ampe meninggal)sang LFI bikin DOSA JARIYAH...
buat saya LSF itu sangat penting, jangan maen bubarkan aja.... untuk LSF kudu lebih berani menindak tegas, kalo ada film gk sesuai am adat ketimuran ya di tolak aja...
sudah benyak artis yang telah mengumbar auratnya.. NERAKA.....NERAKA.....NERAKA....
Post a Comment
<< Home