MoU Microsoft dan Pengkhianatan Pemerintah
oleh Ari Juliano Gema
Komunitas Teknologi Informasi (TI) Indonesia meradang. Pasalnya, Pemerintah RI, yang diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Microsoft Asia Tenggara pada tanggal 14 Nopember 2006 lalu, yang terkesan dilakukan secara diam-diam.
Keberlakuan MoU
Berdasarkan isi MoU yang dikutip oleh Hukumonline (03/01/07), diketahui bahwa Pemerintah berniat memberikan contoh pada dunia usaha akan pentingnya menggunakan software berlisensi/legal. Untuk itu, Pemerintah berniat membeli lisensi 35.496 unit Microsoft Windows dan 117.480 unit Microsoft Office, yang total keseluruhannya bernilai Rp 377,6 miliar.
Sebenarnya apa yang disepakati dalam MoU itu sendiri belum mengikat, karena dalam MoU tersebut Pemerintah menyatakan bahwa kemampuan Pemerintah dalam membuat perjanjian lanjutan yang mengikat kedua belah pihak bergantung pada: (i) anggaran yang mencukupi dari APBN untuk membayar biaya lisensi; dan (ii) ketentuan dalam peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Masa berlaku MoU ini pun dibatasi, yaitu: (i) sampai dengan tanggal ditandatanganinya perjanjian yang mengikat; atau (ii) tanggal 31 Maret 2007, mana yang terjadi terlebih dahulu.
“Pengkhianatan” Pemerintah
Meski memang MoU itu belum mengikat, sehingga tidak ada kewajiban pembayaran apapun yang harus dilakukan oleh Pemerintah kepada Microsoft, namun Pemerintah telah melakukan “pengkhianatan” atas komitmen yang telah dibuatnya kepada rakyat Indonesia. Ya, “pengkhianatan” atas komitmennya dalam program Indonesia Go Open Sources (IGOS) yang dideklarasikan pada tanggal 30 Juni 2004 oleh Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu.
Dalam Deklarasi IGOS itu dinyatakan bahwa Pemerintah bersama masyarakat sepakat untuk melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam pengembangan dan pemanfaatan open source software sebagai salah satu langkah strategis dalam mempercepat penguasaan teknologi informasi di Indonesia. Langkah-langkah yang disepakati untuk mengimplementasikan program IGOS ini, yaitu: (i) menyebarluaskan pemanfaatan open source software di Indonesia; (ii) menyiapkan panduan dalam pengembangan dan pemanfaatan open source software; (iii) mendorong terbentuknya pusat-pusat pelatihan, competency center dan pusat-pusat inkubator open source di Indonesia; dan (iv) mendorong dan meningkatkan koordinasi, kemampuan, kreatifitas, kemauan dan partisipasi pemerintah dan masyarakat dalam pemanfaatan open source software secara maksimal.
Apabila pemerintahan Presiden SBY menganggap bahwa program IGOS itu bukan komitmen pemerintahannya karena komitmen itu dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Megawati, jelas hal itu adalah alasan yang mengada-ada. Menteri-menteri yang mendeklarasikan program IGOS itu hadir dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara, bukan dalam kapasitas pribadi. Rakyat tidak peduli siapa yang menjadi presidennya. Yang penting bagi rakyat adalah hasil dari implementasi komitmen Pemerintah dalam Deklarasi IGOS, kecuali kalau pemerintahan Presiden SBY telah menganulir Deklarasi IGOS dengan membuat “Deklarasi Nasional Penggunaan Software Buatan Microsoft”.
Pemerintahan Presiden SBY juga tidak bisa beralasan bahwa tidak ada orang di pemerintahannya yang mengerti mengenai program IGOS itu, karena salah seorang menterinya, yaitu Menteri Perhubungan Hatta Radjasa, adalah salah seorang menteri yang turut mendeklarasikan program IGOS itu, ketika Hatta Radjasa menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Jadi, seharusnya Hatta Radjasa punya tanggung jawab untuk mengingatkan Presiden SBY dan rekan-rekan sesama menteri untuk menjaga komitmen yang telah dinyatakan dalam Deklarasi IGOS itu.
Perlindungan HKI?
Apabila penandatanganan MoU itu dimaksudkan untuk memberikan contoh bagi dunia usaha mengenai pentingnya penggunaan software berlisensi/legal sebagai komitmen Pemerintah untuk melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia, jelas hal itu bukan langkah yang tepat mengingat harga lisensi software buatan Microsoft tidak murah, sehingga tidak semua kalangan dunia usaha mampu membelinya. Kalaupun mampu membeli lisensi software dengan versi tertentu, belum tentu mampu juga membeli versi selanjutnya, sehingga software yang telah dibeli menjadi tidak up date lagi.
Kalau Pemerintah memang punya komitmen untuk melindungi HKI khususnya mengenai penggunaan dan pemanfaatan software legal, maka yang harus dilakukan, pertama, menjalankan secara penuh komitmen Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi IGOS. Apabila implementasi program IGOS itu dapat berjalan baik, maka masyarakat Indonesia dapat menikmati penggunaan software berbasis open source yang lebih terjangkau dibandingkan dengan software yang tidak berbasis open source, seperti software buatan Microsoft.
Kedua, kalaupun dunia usaha masih menghendaki penggunaan software yang tidak berbasis open source, Pemerintah wajib memfasilitasi pembelian lisensi software tersebut sehingga dunia usaha mendapatkan harga lisensi dan skema pembayaran yang lebih terjangkau sesuai dengan daya beli dari masing-masing tingkatan dunia usaha di Indonesia. Kesepakatan mengenai harga pembelian dan skema pembayaran yang difasilitasi Pemerintah itu harus juga menjamin pembelian software untuk versi selanjutnya dengan skema yang sama, sehingga software yang telah dibeli terjamin untuk tetap up date.
Komunitas Teknologi Informasi (TI) Indonesia meradang. Pasalnya, Pemerintah RI, yang diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Microsoft Asia Tenggara pada tanggal 14 Nopember 2006 lalu, yang terkesan dilakukan secara diam-diam.
Keberlakuan MoU
Berdasarkan isi MoU yang dikutip oleh Hukumonline (03/01/07), diketahui bahwa Pemerintah berniat memberikan contoh pada dunia usaha akan pentingnya menggunakan software berlisensi/legal. Untuk itu, Pemerintah berniat membeli lisensi 35.496 unit Microsoft Windows dan 117.480 unit Microsoft Office, yang total keseluruhannya bernilai Rp 377,6 miliar.
Sebenarnya apa yang disepakati dalam MoU itu sendiri belum mengikat, karena dalam MoU tersebut Pemerintah menyatakan bahwa kemampuan Pemerintah dalam membuat perjanjian lanjutan yang mengikat kedua belah pihak bergantung pada: (i) anggaran yang mencukupi dari APBN untuk membayar biaya lisensi; dan (ii) ketentuan dalam peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Masa berlaku MoU ini pun dibatasi, yaitu: (i) sampai dengan tanggal ditandatanganinya perjanjian yang mengikat; atau (ii) tanggal 31 Maret 2007, mana yang terjadi terlebih dahulu.
“Pengkhianatan” Pemerintah
Meski memang MoU itu belum mengikat, sehingga tidak ada kewajiban pembayaran apapun yang harus dilakukan oleh Pemerintah kepada Microsoft, namun Pemerintah telah melakukan “pengkhianatan” atas komitmen yang telah dibuatnya kepada rakyat Indonesia. Ya, “pengkhianatan” atas komitmennya dalam program Indonesia Go Open Sources (IGOS) yang dideklarasikan pada tanggal 30 Juni 2004 oleh Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu.
Dalam Deklarasi IGOS itu dinyatakan bahwa Pemerintah bersama masyarakat sepakat untuk melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam pengembangan dan pemanfaatan open source software sebagai salah satu langkah strategis dalam mempercepat penguasaan teknologi informasi di Indonesia. Langkah-langkah yang disepakati untuk mengimplementasikan program IGOS ini, yaitu: (i) menyebarluaskan pemanfaatan open source software di Indonesia; (ii) menyiapkan panduan dalam pengembangan dan pemanfaatan open source software; (iii) mendorong terbentuknya pusat-pusat pelatihan, competency center dan pusat-pusat inkubator open source di Indonesia; dan (iv) mendorong dan meningkatkan koordinasi, kemampuan, kreatifitas, kemauan dan partisipasi pemerintah dan masyarakat dalam pemanfaatan open source software secara maksimal.
Apabila pemerintahan Presiden SBY menganggap bahwa program IGOS itu bukan komitmen pemerintahannya karena komitmen itu dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Megawati, jelas hal itu adalah alasan yang mengada-ada. Menteri-menteri yang mendeklarasikan program IGOS itu hadir dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara, bukan dalam kapasitas pribadi. Rakyat tidak peduli siapa yang menjadi presidennya. Yang penting bagi rakyat adalah hasil dari implementasi komitmen Pemerintah dalam Deklarasi IGOS, kecuali kalau pemerintahan Presiden SBY telah menganulir Deklarasi IGOS dengan membuat “Deklarasi Nasional Penggunaan Software Buatan Microsoft”.
Pemerintahan Presiden SBY juga tidak bisa beralasan bahwa tidak ada orang di pemerintahannya yang mengerti mengenai program IGOS itu, karena salah seorang menterinya, yaitu Menteri Perhubungan Hatta Radjasa, adalah salah seorang menteri yang turut mendeklarasikan program IGOS itu, ketika Hatta Radjasa menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Jadi, seharusnya Hatta Radjasa punya tanggung jawab untuk mengingatkan Presiden SBY dan rekan-rekan sesama menteri untuk menjaga komitmen yang telah dinyatakan dalam Deklarasi IGOS itu.
Perlindungan HKI?
Apabila penandatanganan MoU itu dimaksudkan untuk memberikan contoh bagi dunia usaha mengenai pentingnya penggunaan software berlisensi/legal sebagai komitmen Pemerintah untuk melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia, jelas hal itu bukan langkah yang tepat mengingat harga lisensi software buatan Microsoft tidak murah, sehingga tidak semua kalangan dunia usaha mampu membelinya. Kalaupun mampu membeli lisensi software dengan versi tertentu, belum tentu mampu juga membeli versi selanjutnya, sehingga software yang telah dibeli menjadi tidak up date lagi.
Kalau Pemerintah memang punya komitmen untuk melindungi HKI khususnya mengenai penggunaan dan pemanfaatan software legal, maka yang harus dilakukan, pertama, menjalankan secara penuh komitmen Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi IGOS. Apabila implementasi program IGOS itu dapat berjalan baik, maka masyarakat Indonesia dapat menikmati penggunaan software berbasis open source yang lebih terjangkau dibandingkan dengan software yang tidak berbasis open source, seperti software buatan Microsoft.
Kedua, kalaupun dunia usaha masih menghendaki penggunaan software yang tidak berbasis open source, Pemerintah wajib memfasilitasi pembelian lisensi software tersebut sehingga dunia usaha mendapatkan harga lisensi dan skema pembayaran yang lebih terjangkau sesuai dengan daya beli dari masing-masing tingkatan dunia usaha di Indonesia. Kesepakatan mengenai harga pembelian dan skema pembayaran yang difasilitasi Pemerintah itu harus juga menjamin pembelian software untuk versi selanjutnya dengan skema yang sama, sehingga software yang telah dibeli terjamin untuk tetap up date.
Apabila dua hal di atas telah dilakukan Pemerintah, maka setiap komitmen yang diucapkan Pemerintah dalam rangka melindungi HKI baru dapat dipercaya. Bukan sekedar komitmen hampa yang kemudian akan dikhianati juga.
3 Comments:
apapun alasannya, menurut saya Mikocok telah sukses menerapkan resep jualan di Indonesia; jadikan pemerintah sebagi makelar.
sssttt! Ada info baru' mikocok juga telah berhasil "memaksa" Depdiknas untuk membeli produknya. =======Kabur>>
menurut mas Ari, apa sebabnya pemerintah melakukan MoU dengan Microsoft?
Mas Budi,
Sebenarnya banyak isu di seputar MoU Microsoft ini. Ada yang bilang bahwa ada "tekanan" dari Pemerintah AS kepada Pemerintah RI agar serius menangani pelanggaran HKI khususnya dibidang software. Ada juga yang bilang bahwa Microsoft telah mengajukan "penawaran istimewa" kepada Pemerintah RI agar software buatan Microsoft dapat digunakan di seluruh Instansi pemerintah dan juga dunia usaha di Indonesia.
Sejujurnya, saya tidak tahu mana yang benar. Tapi yang saya yakini adalah bahwa Pemerintah RI kurang percaya diri untuk mengembangkan software berbasis open source. Seandainya pemerintah mau terbuka kepada komunitas TI di Indonesia untuk berbicara mengenai kendala apa yang dihadapi pemerintah utk melaksanakan komitmennya pada Deklarasi IGOS, mungkin tidak perlu ada MoU Microsoft itu.
Post a Comment
<< Home