Tuesday, February 27, 2007

Seputar Masalah Penunjukan Langsung dalam Pengadaan Barang/Jasa untuk Pemerintah

Oleh Ari Juliano Gema

Seru juga membaca berita “perseteruan” Menteri Negara/Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Taufikurrahman Ruki di beberapa media massa saat ini. Setelah Yusril diperiksa KPK sebagai saksi dalam pengadaan Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) yang dilakukan dengan penunjukan langsung, Yusril mengadukan Taufikurrahman ke KPK berkaitan dengan pengadaan peralatan sadap di KPK yang juga dilakukan dengan penunjukan langsung.

Pengadaan AFIS itu, menurut Yusril yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, dilakukan dengan penunjukan langsung karena dana untuk pengadaan alat AFIS yang dianggarkan pada Anggaran Belanja Tambahan Depkumham tahun 2004 baru cair pada Nopember 2004, sedangkan laporannya harus dilakukan minggu ketiga Desember 2004. Oleh karena itu, tidak mungkin pengadaan AFIS dilakukan melalui pelelangan umum yang mungkin memakan waktu lebih dari 50 hari. Apabila pengadaan AFIS itu dipermasalahkan oleh KPK, maka Yusril berpendapat pengadaan peralatan sadap di KPK yang dilakukan dengan penunjukan langsung juga harus turut diperiksa.

Penunjukan Langsung

Saya tidak tertarik untuk menjadi “hakim” bagi “perseteruan” antara Yusril dan Taufikkurahman. Saya lebih tertarik untuk menyoroti metode penunjukan langsung sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 80/2003) yang merupakan pokok persoalan “perseteruan” dua pejabat itu.

Menurut Keppres No. 80/2003, metode pemilihan penyedia barang/jasa untuk pemerintah itu ada 4 macam, yaitu (i) pelelangan umum; (ii) pelelangan terbatas; (iii) pemilihan langsung; dan (iv) penunjukan langsung. Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.

Apabila penyedia barang/jasa itu diyakini terbatas jumlahnya, maka dilakukan dengan metode pelelangan terbatas yaitu dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu pada pengumuman pengadaan barang/jasa tersebut. Dalam hal metode pelelangan umum atau terbatas itu dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan, maka metode pemilihan dilakukan dengan pemilihan langsung. Pemilihan langsung dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa.

Metode penunjukan langsung dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus dengan cara melakukan negosiasi, baik teknis maupun biaya, terhadap 1 penyedia barang/jasa, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Keppres No. 80/2003, yang dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu: (i) penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda, atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam; dan/atau (ii) pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamananan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau (iii) pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50 juta.

Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan khusus, yaitu: (i) pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; (ii) pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; (iii) pekerjaan yang merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau (iv) pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan/atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.

Tiga Masalah

Saya melihat setidaknya ada tiga masalah besar seputar pengaturan metode penunjukan langsung itu, yaitu, pertama, dalam Keppres No. 80/2003 itu tidak jelas apakah pejabat yang memiliki kewenangan tertinggi di suatu instansi pemerintah berwenang untuk menentukan apakah suatu pengadaan barang/jasa dapat dilakukan dengan metode penunjukan langsung. Ketidakjelasan ini menimbulkan perbedaan tindakan, seperti tindakan Yusril yang langsung memberikan ijin prinsip untuk melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan AFIS di Depkumham, dan tindakan Taufikkurahman yang meminta persetujuan terlebih dahulu dari Presiden sebelum melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan peralatan sadap di KPK.

Kedua, tidak jelas kriteria keadaan tertentu yang diatur dalam Keppres No. 80/2003. Misalnya, seberapa darurat suatu keadaan sehingga dapat masuk dalam kriteria keadaan tertentu. Kemudian, apakah sudah ada daftar pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan Negara, atau apakah pekerjaan itu akan ditetapkan oleh Presiden secara kasus per-kasus. Ketiga, penunjukan langsung rentan terhadap isu mark-up harga karena tidak ada pembanding langsung terhadap penyedia barang/jasa yang ditunjuk.
Apabila tiga masalah tersebut tidak dicarikan solusinya, maka saya tidak akan terkejut apabila dikemudian hari ada banyak pejabat yang terjerat masalah hukum akibat metode penunjukan langsung yang dilakukannya. Sayang sekali kalau ada pengadaan barang/jasa yang benar-benar membutuhkan metode penunjukan langsung, namun karena ketidakjelasan pengaturannya dalam Keppres No. 80/2003 itu maka pejabat yang berwenang takut untuk menggunakan metode tersebut.

3 Comments:

At 18/1/08 08:28, Blogger Gatut Jombang said...

APA PERLU SERTIFIKASI KEAHLIAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMIRINTAH

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Pelaksanaan Barang/Jasa Pemerintah, maka pelaksana anggaran, yaitu Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat/Panitia Pengadaan wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah. Di sisi lain jumlah pegawai negeri yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah tidak banyak dan terbatas. Masalah ini menjadi menarik untuk dikaji apakah sah atau tidak pelaksanaan anggaran yang dilakukan oleh pegawai negeri yang belum memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah?
Harus Bersertifikat
Pengelola anggaran yang terkait pengadaan barang/jasa yang harus memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana perubahan keempat dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 adalah Pejabat Pembuat Komitmet sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1) huruf d, dan Panitia/Pejabat Pengadaan/Anggota Unil Layanan Pengadaan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (4) huruf f.
Keharusan memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut diperluas dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu ”Pejabat yang mempunyai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa: pemimpin proyek, pemimpin bagian proyek, pengguna anggaran daerah, pejabat yang disamakan dan panitia/pejabat pengadaan.” Penguna anggaran yang dimaksud jika merujuk pada Pasal 1 huruf 1b adalah sebagaimana dimaksud UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara, artinya pengguna anggaran adalah kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (untuk daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota).
Pejelasan suatu peraturan perundang-undangan menurut kaedah legal drafting tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut ilmu penafsiran hukum (hermeunetik yuridis) pejelasan suatu peraturan perundang-undangan adalah interprestasi otentik, oleh karena itu penjelasan wajib ditaati sebagai suatu bagian dari hukum tertulis.
Dengan demikian pengelola anggaran pengelola anggaran yang harus memilik sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah adalah:
1. Pengguna Anggaran;
2. Pejabat Pembuat Komitmen;
3. Pemimpin proyek;
4. Pemimpin bagian proyek;
5. Panitia/Pejabat Pengadaan.
Akibat dari tidak dipenuhi syarat keharusan memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah bila tetap melaksanakan anggaran yang terkait pengadaan barang/jasa pemerintah, maka dapat dirujuk pada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, yaitu:
Pasal II angka 2 ”Dalam hal Pejabat Pembuat Komitmen/Panitia/Pejabat Pengadaan yang belum memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud Pasal 52 ayat (1) , maka Panitia/Pejabat Pengadaan tetap dapat melakukan mengadakan barang/jasa pemerintah sampai dengan tanggal 31 Desember 2007, sepanjang telah memiliki bukti keikutsertaan dalam pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah”.
Pasal II angka 3 ”Pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen/Panitia/Pejabat Pengadaan yang belum memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini, dinyatakan tetap sah, sepanjang pada saat pengadaan barang/jasa pemerintah dimaksud dilaksanakan, yang bersangkutan telah memiliki bukti keikutsertaan dalam pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah”.
Artinya pengadaan sebelum 20 Maret 2006 dimana Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 diundangkan, maka pengadaan barang/jasa pemerintah sah. Melalui masa transisi sampai dengan 31 Desember 2007 juga sah dengan syarat Pejabat Pembuat Komitmen/Panitia/Pejabat Pengadaan memilik bukti keikutsertaan dalam pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah. Secara implisit, maka pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh pejabat yang tidak memenuhi syarat memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah setelah 31 Desember 2007 adalah tidak sah. Namun hal masih juga menyisakan masalah keabsaan sertifikasi itu sendiri.
Keabsaan Sertifikat
Sebelum membahas keabsaan sertifikasi sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah, maka perlu landasan yuridisnya, yaitu:
1. Pasal 1 angka 15 Kepres Nomor 80 Tahun 2003
”Sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah adalah tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah yang diperoleh melalui ujian sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa nasional dan untuk memenuhi persyaratan seseorang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen atau panitia/pejabat pengadaan atau anggota Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit)”.
2. Pasal II angka 1 Perpres Nomor 8 Tahun 2006
”Sebelum pelakasanaan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa dapat dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ketenagakerjaan, maka pelaksanaan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencana Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas”.
3. Pasal II angka 4 Perpres Nomor 8 Tahun 2006
”Sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa yang telah diterbitkan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini, dinyatakan berlaku sebagai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005”.
Memperhatikan ketentuan tentang sertifikasi tersebut dapat dianalisi,
a. bahwa sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa diperoleh melaui ujian sertifikasi;
b. bahwa selama ini sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa belum dilaksankana sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
c. bahwa dalam rangka mereduksi amanat Undang-Undang, maka Menteri Negara Perencana Pembanguan Nasional/Ketua Bappenas mengkoordinasikan pelaksanaan sertifikasi pengadaan barang/jasa.
d. Bahwa sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa yang telah diterbitkan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas sebelum berlakunya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tanggal 20 Maret 2008 dinyatakan berlaku. Dengan interprestasi akontrario, mama sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa yang diterbitkan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas setelah berlakunya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tanggal 20 Maret 2008 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini wajar karena setelah tanggal 20 Maret 2008 Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas hanya berwenang menkoordinasikan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa yang tidak sesuai (melanggar dan tidak taat) dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tidak ada ketentuan siapa yang dapat melaksanakan ujian sertifikasi, dan sertifikasi yang dilaksanakan oleh Bappenas jelas tidak berdasarkan aturan hukum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dimana Pasal II angka 1 Perpres Nomor 6 Tahun 2006 tidak memberikan amanat kepada Bapenas untuk melaksanakan ujian sertifikasi tetapi hanya memberikan amanat kepada Menteri Negara Perencana Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk mengkoordinakasikan. Maka patut dipertanyakan adalah pelaksanaan amanat untuk mengkoordinasikan tetapi dalam praktek melaksanakan ujian sertifikasi, oleh karena Bappenas tidak memiliki wewenang secara yuridis untuk melakukan ujian sertifikasi, maka sertifikat yang dikeluarkan jelas secara yuridis tidak sah karena dikeluarkan oleh lembaga yang tidak memiliki kewenangan secara sah.
Pelaksanaan ujian sertifikasi secara implisi diakui dan dinyataan dalam Pasal II angka 1 Perpres Nomor 6 Tahun 2006 selama ini tidak menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini tidak saja patu dipertanyakan tetapi patut disesalkan pengakuan atas suatu ketidaktaatan terhadap Undang-Undang oleh Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. Jika demikian, maka sertifikat yang tidak tunduk pada aturan di atasnya patut pula dipertanyakan keabsahannya secara yuridis.
Dengan demikian sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah yang dikeluarkan oleh Bappenas selama ini seluruhnya cacat yuridis dan tidak sah karena dikeluarkan oleh lembaga yang tidak memiliki wewenang secara yuridis untuk melakukan ujian sertifikasi maupun mengeluarkan sertifikat. Lebih jauh seluruh Indonesia saat ini tidak ada orang yang memilik sertifikasi keahlian sebagaimana amanat Kepres Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Perpres 95 Tahun 2007, dan pengadaan barang/jasa mulai 20 Maret 2006 tidak sah secara hukum (jika taat pada prosedur dan diartikan aturan sebagai sebuat tulisan yang mati). Lex dura set tamen scripta demikianlah Undang-Undang.



Hukum tawaduk
Bertolak dari uraian di atas, maka untuk pengelola angaran yang terkait pengadaan barang/jasa harus melakukan kontemplasi terhadap filosofi terhadap Kepres Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Perpres 95 Tahun 2007, yaitu agar pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Selama pengadaan memenuhi prisip dasar filosofi tersebut tidak perlu memperkeruh dengan ketakutan untuk melakukan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam pembangunan bangsa ini, masyarakat menunggu proses pembangunan dalam rangka mewujudkan visi bangsa sebagaimana amanat Pembukaan Konstitusi dalam negara kesejahteraan.
Jika belum bersertifikat tetapi mampu melaksanakan pengadaan barang/jasa sesuai prosedur dan aturan hukum, siapa takut! Hukum tidak untuk menakuti, karena hukum itu tawaduk.

Gatut Wijaya, Kasub Bag Bantuan dan Penyuluhan Hukum Setda Kab. Jombang

 
At 8/12/08 22:28, Anonymous Anonymous said...

Bapak Ari, your article really helped us in doing our assignment. Thanks so much.

But I wonder, where's the next part? Would you please give me the information? Thanks before..

Salam,

 
At 1/7/09 20:23, Anonymous heri said...

pak kalo pengadaan lelang umum nilainya 80 juta, ternyata gagal, selanjutnya pada lelang kedua ternyata yang memasukkan penawaran hanya satu, oleh karena itu panitia lalu melakukan prosedur seperti penunjukan langsung (pasal 28), apakah ini tidak menyalahi aturan tentang syarat penunjukan langsung bahwa penunjukan langsung harus memiliki nilai maksimal 50 juta?

 

Post a Comment

<< Home