Virus H5N1, MTA dan Baxter
oleh Ari Juliano Gema
Saya membaca berita diberbagai media katanya Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menolak untuk mengirimkan spesimen virus flu burung atau Virus H5N1 asal Indonesia kepada World Health Organization (WHO) ataupun negara lain yang ingin menelitinya. Alasannya, Ibu Menteri khawatir kalau dari Virus H5N1 yang dikirim kepada WHO atau negara lain itu nantinya berhasil dibuat vaksin, vaksin itu akan dijual ke Indonesia dengan harga yang tidak terjangkau oleh masyarakat Indonesia.
Untuk itu, menurut Ibu Menteri, Indonesia hanya mau mengirimkan spesimen Virus H5N1 itu apabila pengirimannya dilengkapi dengan material transfer agreement (MTA). Dengan adanya MTA itu, maka WHO ataupun negara penerima spesimen virus itu hanya akan diberikan hak menggunakannya untuk kegiatan penelitian, dan tidak untuk dikomersilkan.
Tentang MTA
Pada dasarnya, saya sependapat dengan pendirian Indonesia seperti yang disampaikan oleh Ibu Menteri. Alasan yang dikemukakan Ibu Menteri itu sudah sejalan dengan kebijakan penelitian dan pengembangan nasional sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sislitbangnas). Dalam UU itu diatur bahwa kerjasama internasional dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilaksanakan atas dasar persamaan kedudukan yang saling menguntungkan dengan tidak merugikan kepentingan nasional.
Syarat yang diajukan pemerintah Indonesia untuk menyertakan MTA apabila WHO atau negara lain ingin mendapatkan spesimen Virus H5N1 adalah hal yang wajar. Seharusnya WHO ataupun negara lain tidak perlu mempermasalahkan hal itu kalau memang penggunaan spesimen virus itu benar-benar untuk penelitian semata.
MTA sudah biasa digunakan sebagai kesepakatan antara dua organisasi yang mengatur pengalihan bahan riset (research materials), dimana organisasi penerima berniat menggunakan bahan riset itu untuk keperluan penelitiannya. MTA mengatur hak dan kewajiban dari organisasi pemberi dan organisasi penerima atas bahan riset itu.
Ada beberapa isu penting yang biasanya diatur dalam MTA, yaitu, pertama, masalah kerahasiaan (confidentiality) segala informasi berkaitan dengan bahan riset. Para pihak wajib memperhatikan ketentuan mengenai kerahasiaan ini apabila bermaksud mempublikasikan bahan riset maupun hasil penelitian atas bahan riset tersebut. Hal ini penting apabila para pihak bermaksud mendapatkan paten atas hasil penelitian tersebut. Apabila hasil penelitian itu dipublikasikan tanpa memperhatikan ketentuan tentang paten, maka bisa jadi hal itu akan mengurangi unsur kebaruan (novelty) dari hasil penelitian itu yang merupakan salah satu syarat suatu invensi dapat didaftarkan sebagai paten.
Kedua, apakah bahan riset itu boleh diberikan juga kepada pihak lain yang terafiliasi. Biasanya, suatu lembaga penelitian berafiliasi dengan lembaga penelitian lain dalam melakukan suatu penelitian, karena mungkin adanya keterbatasan fasilitas penelitian atau sumber daya manusia. Ketiga, definisi dari bahan riset yang dialihkan itu harus jelas, apakah meliputi juga modifikasi atau pengembangan dari bahan riset itu. Apabila organisasi pemberi mengklaim kepemilikan atas modifikasi atau pengembangan dari bahan riset itu, maka organisasi pemberi dapat memiliki juga hasil penelitian yang dilakukan oleh organisasi penerima atas bahan riset itu.
Keempat, hak kekayaan intelektual (HKI) yang mungkin timbul dari hasil penelitian itu harus jelas dimiliki oleh siapa. Hal ini penting agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari berkenaan dengan kepemilikan HKI atas hasil penelitian tersebut. Kelima, biasanya suatu penelitian membutuhkan beberapa bahan riset dari beberapa organisasi pemberi berdasarkan beberapa MTA, oleh karena itu perlu berhati-hati dalam pengaturan pada masing-masing MTA agar tidak terjadi konflik antara satu MTA dengan MTA yang lain.
MoU Depkes RI - Baxter
Menurut siaran pers yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI), pada tanggal 7 Pebruari 2007 telah ditandatatangani Nota Kesepahaman (MoU) antara Depkes RI cq. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) dan Baxter Healthcare SA (afiliasi dari Baxter International Inc. USA), sebuah perusahaan dibidang penelitian, pengembangan dan pembuatan vaksin. Dalam MoU itu diatur bahwa Balitbangkes akan menyediakan spesimen Virus H5N1 dan Baxter akan melakukan alih teknologi yang meliputi formula, pengisian dan penyelesaian vaksin flu burung kepada Balitbangkes.
Dalam MoU itu juga diatur bahwa Indonesia akan mempunyai hak untuk memproduksi dan memasarkan vaksin flu burung itu di seluruh Indonesia dan mengekspornya ke negara lain. Produksi vaksin flu burung itu akan dilakukan dengan mitra produsen vaksin Indonesia yang ditunjuk oleh Depkes RI. Depkes RI memilih Baxter sebagai mitra kerjasama penelitian karena pengalaman yang dimiliki Baxter. Pada awal tahun 2006, Baxter berhasil mengembangkan vaksin flu burung dengan menggunakan virus flu burung yang berasal dari Vietnam.
Saya membaca berita diberbagai media katanya Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menolak untuk mengirimkan spesimen virus flu burung atau Virus H5N1 asal Indonesia kepada World Health Organization (WHO) ataupun negara lain yang ingin menelitinya. Alasannya, Ibu Menteri khawatir kalau dari Virus H5N1 yang dikirim kepada WHO atau negara lain itu nantinya berhasil dibuat vaksin, vaksin itu akan dijual ke Indonesia dengan harga yang tidak terjangkau oleh masyarakat Indonesia.
Untuk itu, menurut Ibu Menteri, Indonesia hanya mau mengirimkan spesimen Virus H5N1 itu apabila pengirimannya dilengkapi dengan material transfer agreement (MTA). Dengan adanya MTA itu, maka WHO ataupun negara penerima spesimen virus itu hanya akan diberikan hak menggunakannya untuk kegiatan penelitian, dan tidak untuk dikomersilkan.
Tentang MTA
Pada dasarnya, saya sependapat dengan pendirian Indonesia seperti yang disampaikan oleh Ibu Menteri. Alasan yang dikemukakan Ibu Menteri itu sudah sejalan dengan kebijakan penelitian dan pengembangan nasional sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sislitbangnas). Dalam UU itu diatur bahwa kerjasama internasional dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilaksanakan atas dasar persamaan kedudukan yang saling menguntungkan dengan tidak merugikan kepentingan nasional.
Syarat yang diajukan pemerintah Indonesia untuk menyertakan MTA apabila WHO atau negara lain ingin mendapatkan spesimen Virus H5N1 adalah hal yang wajar. Seharusnya WHO ataupun negara lain tidak perlu mempermasalahkan hal itu kalau memang penggunaan spesimen virus itu benar-benar untuk penelitian semata.
MTA sudah biasa digunakan sebagai kesepakatan antara dua organisasi yang mengatur pengalihan bahan riset (research materials), dimana organisasi penerima berniat menggunakan bahan riset itu untuk keperluan penelitiannya. MTA mengatur hak dan kewajiban dari organisasi pemberi dan organisasi penerima atas bahan riset itu.
Ada beberapa isu penting yang biasanya diatur dalam MTA, yaitu, pertama, masalah kerahasiaan (confidentiality) segala informasi berkaitan dengan bahan riset. Para pihak wajib memperhatikan ketentuan mengenai kerahasiaan ini apabila bermaksud mempublikasikan bahan riset maupun hasil penelitian atas bahan riset tersebut. Hal ini penting apabila para pihak bermaksud mendapatkan paten atas hasil penelitian tersebut. Apabila hasil penelitian itu dipublikasikan tanpa memperhatikan ketentuan tentang paten, maka bisa jadi hal itu akan mengurangi unsur kebaruan (novelty) dari hasil penelitian itu yang merupakan salah satu syarat suatu invensi dapat didaftarkan sebagai paten.
Kedua, apakah bahan riset itu boleh diberikan juga kepada pihak lain yang terafiliasi. Biasanya, suatu lembaga penelitian berafiliasi dengan lembaga penelitian lain dalam melakukan suatu penelitian, karena mungkin adanya keterbatasan fasilitas penelitian atau sumber daya manusia. Ketiga, definisi dari bahan riset yang dialihkan itu harus jelas, apakah meliputi juga modifikasi atau pengembangan dari bahan riset itu. Apabila organisasi pemberi mengklaim kepemilikan atas modifikasi atau pengembangan dari bahan riset itu, maka organisasi pemberi dapat memiliki juga hasil penelitian yang dilakukan oleh organisasi penerima atas bahan riset itu.
Keempat, hak kekayaan intelektual (HKI) yang mungkin timbul dari hasil penelitian itu harus jelas dimiliki oleh siapa. Hal ini penting agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari berkenaan dengan kepemilikan HKI atas hasil penelitian tersebut. Kelima, biasanya suatu penelitian membutuhkan beberapa bahan riset dari beberapa organisasi pemberi berdasarkan beberapa MTA, oleh karena itu perlu berhati-hati dalam pengaturan pada masing-masing MTA agar tidak terjadi konflik antara satu MTA dengan MTA yang lain.
MoU Depkes RI - Baxter
Menurut siaran pers yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI), pada tanggal 7 Pebruari 2007 telah ditandatatangani Nota Kesepahaman (MoU) antara Depkes RI cq. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) dan Baxter Healthcare SA (afiliasi dari Baxter International Inc. USA), sebuah perusahaan dibidang penelitian, pengembangan dan pembuatan vaksin. Dalam MoU itu diatur bahwa Balitbangkes akan menyediakan spesimen Virus H5N1 dan Baxter akan melakukan alih teknologi yang meliputi formula, pengisian dan penyelesaian vaksin flu burung kepada Balitbangkes.
Dalam MoU itu juga diatur bahwa Indonesia akan mempunyai hak untuk memproduksi dan memasarkan vaksin flu burung itu di seluruh Indonesia dan mengekspornya ke negara lain. Produksi vaksin flu burung itu akan dilakukan dengan mitra produsen vaksin Indonesia yang ditunjuk oleh Depkes RI. Depkes RI memilih Baxter sebagai mitra kerjasama penelitian karena pengalaman yang dimiliki Baxter. Pada awal tahun 2006, Baxter berhasil mengembangkan vaksin flu burung dengan menggunakan virus flu burung yang berasal dari Vietnam.
Saya berharap dalam kerjasama dengan Baxter itu kepemilikan HKI atas hasil penelitian tersebut berada di tangan Pemerintah RI. Percuma saja apabila Pemerintah RI diperbolehkan untuk melakukan segala hal atas hasil penelitian itu, namun HKI-nya dimiliki oleh Baxter. Dengan HKI ditangan Baxter, Baxter akan punya kekuasaan lebih besar untuk mengeksploitasi hasil penelitian itu secara komersil. Bahkan mungkin saja suatu hari nanti Baxter akan menghentikan segala hak yang diberikan kepada Pemerintah RI berkaitan dengan hasil penelitian tersebut apabila hal ini tidak diperjanjikan dengan baik.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home