Tindak Pidana Hak Cipta: Lebih Baik Delik Biasa atau Delik Aduan?
oleh Ari Juliano Gema
Baru-baru ini saya mendengar kabar bahwa akan dilakukan perubahan terhadap beberapa undang-undang di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Hal ini membawa ingatan saya kembali hampir setahun yang lalu saat saya diundang oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai peserta aktif dalam lokakarya yang membahas tentang usulan perubahan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC). Dalam lokakarya itu dibahas perubahan ketentuan dalam UUHC yang diusulkan oleh YLKI dalam rangka meningkatkan keleluasaan untuk melakukan akses terhadap ilmu pengetahuan (access to knowledge) sebagai bagian dari hak konsumen.
Beberapa isu yang dibahas dalam lokakarya yang dihadiri oleh unsur pemerintah, akademisi dan pelaku usaha tersebut antara lain masalah pembatasan hak cipta, first sale doctrine, kepentingan yang wajar, lisensi wajib, hak cipta dalam potret, dan sarana kontrol teknologi. Dalam lokakarya itu, saya terlibat perdebatan seru mengenai apakah perlu mempertahankan tindak pidana hak cipta sebagai delik biasa atau merubahnya menjadi delik aduan.
Tindak Pidana Hak Cipta
Menurut UUHC, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian “mengumumkan atau memperbanyak” adalah termasuk kegiatan menterjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.
Dengan begitu, setiap perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana hak cipta. Saat ini, UUHC mengatur bahwa tindak pidana hak cipta adalah delik biasa. Hal ini sebenarnya sesuai dengan sifat utama dari hukum pidana, yaitu bahwa pelaksanaannya tidak digantungkan pada persetujuan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan oleh suatu tindak pidana, melainkan diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk menentukan apakah dan sampai dimanakah hukum pidana akan dilaksanakan, dengan mempergunakan kepentingan publik sebagai ukuran (Prodjodikoro, 1981). Delik biasa berbeda dengan delik aduan yang pelaksanaan hukum pidananya bergantung pada pengaduan dari pihak yang dirugikan oleh suatu tindak pidana.
Lebih Baik Delik Aduan
Menurut saya, dalam prakteknya tindak pidana hak cipta tidak tepat dimasukkan dalam kategori delik biasa. Oleh karena itu, tindak pidana hak cipta harus diubah dari delik biasa menjadi delik aduan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa saya berpendapat demikian, yaitu, pertama, aparat penegak hukum tidak akan bisa menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta tanpa membandingkan barang hasil pelanggaran hak cipta dengan ciptaan aslinya. Hanya pencipta atau pemegang hak ciptanya-lah yang memegang dan mengetahui dengan pasti ciptaan yang asli tersebut. Oleh karena itu, seharusnya tidak mungkin aparat penegak hukum dapat bergerak sendiri tanpa adanya pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang merasa dirugikan atas tindak pidana tersebut.
Kedua, dalam melakukan proses hukum, aparat penegak hukum tidak mungkin langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan. Oleh karena itu, pasti ada pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang mengetahui dengan pasti bahwa suatu pihak telah melanggar hak ciptanya karena tidak memiliki izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Ketiga, dalam praktek yang saya alami, apabila terjadi pelanggaran hak cipta, pihak yang hak ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari pihak yang melanggar hak cipta ketimbang pelanggar hak cipta tersebut dikenakan sanksi pidana penjara atau denda. Oleh karena itu, penyelesaiannya diupayakan secara damai di luar pengadilan. Namun, karena tindak pidana hak cipta adalah delik biasa, seringkali aparat penegak hukum yang mengetahui adanya pelanggaran hak cipta terus melanjutkan proses hukum pidana meski sudah ada kesepakatan damai antara pihak yang dilanggar hak ciptanya dengan pihak yang melanggar hak cipta. Hal ini tentu saja akan menyulitkan posisi para pihak yang telah berdamai tersebut.
Indonesia telah memiliki beberapa undang-undang di bidang HKI, yaitu tentang paten, merek, hak cipta, desain industri, rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu. Kecuali undang-undang tentang hak cipta, undang-undang di bidang HKI lainnya menentukan bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya merupakan delik aduan. Sangat aneh ketika tindak pidana hak cipta diatur berbeda dengan tindak pidana di bidang HKI lainnya. Dengan demikian, seharusnya tindak pidana hak cipta diatur sama dengan tindak pidana di bidang HKI, yaitu merupakan delik aduan.
Baru-baru ini saya mendengar kabar bahwa akan dilakukan perubahan terhadap beberapa undang-undang di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Hal ini membawa ingatan saya kembali hampir setahun yang lalu saat saya diundang oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai peserta aktif dalam lokakarya yang membahas tentang usulan perubahan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC). Dalam lokakarya itu dibahas perubahan ketentuan dalam UUHC yang diusulkan oleh YLKI dalam rangka meningkatkan keleluasaan untuk melakukan akses terhadap ilmu pengetahuan (access to knowledge) sebagai bagian dari hak konsumen.
Beberapa isu yang dibahas dalam lokakarya yang dihadiri oleh unsur pemerintah, akademisi dan pelaku usaha tersebut antara lain masalah pembatasan hak cipta, first sale doctrine, kepentingan yang wajar, lisensi wajib, hak cipta dalam potret, dan sarana kontrol teknologi. Dalam lokakarya itu, saya terlibat perdebatan seru mengenai apakah perlu mempertahankan tindak pidana hak cipta sebagai delik biasa atau merubahnya menjadi delik aduan.
Tindak Pidana Hak Cipta
Menurut UUHC, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian “mengumumkan atau memperbanyak” adalah termasuk kegiatan menterjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.
Dengan begitu, setiap perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana hak cipta. Saat ini, UUHC mengatur bahwa tindak pidana hak cipta adalah delik biasa. Hal ini sebenarnya sesuai dengan sifat utama dari hukum pidana, yaitu bahwa pelaksanaannya tidak digantungkan pada persetujuan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan oleh suatu tindak pidana, melainkan diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk menentukan apakah dan sampai dimanakah hukum pidana akan dilaksanakan, dengan mempergunakan kepentingan publik sebagai ukuran (Prodjodikoro, 1981). Delik biasa berbeda dengan delik aduan yang pelaksanaan hukum pidananya bergantung pada pengaduan dari pihak yang dirugikan oleh suatu tindak pidana.
Lebih Baik Delik Aduan
Menurut saya, dalam prakteknya tindak pidana hak cipta tidak tepat dimasukkan dalam kategori delik biasa. Oleh karena itu, tindak pidana hak cipta harus diubah dari delik biasa menjadi delik aduan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa saya berpendapat demikian, yaitu, pertama, aparat penegak hukum tidak akan bisa menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta tanpa membandingkan barang hasil pelanggaran hak cipta dengan ciptaan aslinya. Hanya pencipta atau pemegang hak ciptanya-lah yang memegang dan mengetahui dengan pasti ciptaan yang asli tersebut. Oleh karena itu, seharusnya tidak mungkin aparat penegak hukum dapat bergerak sendiri tanpa adanya pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang merasa dirugikan atas tindak pidana tersebut.
Kedua, dalam melakukan proses hukum, aparat penegak hukum tidak mungkin langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan. Oleh karena itu, pasti ada pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang mengetahui dengan pasti bahwa suatu pihak telah melanggar hak ciptanya karena tidak memiliki izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Ketiga, dalam praktek yang saya alami, apabila terjadi pelanggaran hak cipta, pihak yang hak ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari pihak yang melanggar hak cipta ketimbang pelanggar hak cipta tersebut dikenakan sanksi pidana penjara atau denda. Oleh karena itu, penyelesaiannya diupayakan secara damai di luar pengadilan. Namun, karena tindak pidana hak cipta adalah delik biasa, seringkali aparat penegak hukum yang mengetahui adanya pelanggaran hak cipta terus melanjutkan proses hukum pidana meski sudah ada kesepakatan damai antara pihak yang dilanggar hak ciptanya dengan pihak yang melanggar hak cipta. Hal ini tentu saja akan menyulitkan posisi para pihak yang telah berdamai tersebut.
Indonesia telah memiliki beberapa undang-undang di bidang HKI, yaitu tentang paten, merek, hak cipta, desain industri, rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu. Kecuali undang-undang tentang hak cipta, undang-undang di bidang HKI lainnya menentukan bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya merupakan delik aduan. Sangat aneh ketika tindak pidana hak cipta diatur berbeda dengan tindak pidana di bidang HKI lainnya. Dengan demikian, seharusnya tindak pidana hak cipta diatur sama dengan tindak pidana di bidang HKI, yaitu merupakan delik aduan.
Bagaimana menurut anda?
Labels: delik aduan, hak cipta, tindak pidana
5 Comments:
Waktu dulu diskusi soal hak cipta disinggung gak bang soal karya yang diberi lisensi GPL (GNU Public License)? Kan klo karya2 dgn GPL trus ada yang mengkomersilkannya tentu saja melanggar lisensi tersebut. Di Indonesia sudah terpikirkan belum hal seperti ini?
Dimas,
Prinsip GPL sebenarnya sama aja dengan prinsip lisensi pada umumnya. Setiap orang yang menjadi pihak pada GPL harus mematuhi ketentuan yang diatur dalam GPL. Sehingga, setiap pelanggaran atas ketentuan dalam GPL akan mendatangkan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam GPL.
UU Hak cipta sendiri pada dasarnya telah melindungi pencipta dari setiap tindakan mengumumkan dan/atau memperbanyak dengan sengaja dan tanpa hak yang dilakukan seseorang atas ciptaan milik si pencipta. Jadi, apabila ada larangan dalam GPL tersebut yang dilanggar oleh penerima lisensi, dan apabila pelanggaran tersebut memenuhi unsur-unsur ketentuan pidana yang diatur dalam UU Hak Cipta, maka si pelanggar dapat dikenakan sanksi pidana.
izin copas Pak. Terima kasih banyak.
mau tanya pak, kalau hak cipta itu masuk delik biasa, dasar hukumnya apa ya pak? soalnya saya masih agak bingung. terimakasih.
Delik aduan bisa delik biasa juga bs. Mengapa krn dr awal bunyinya sj UU dlm pslny sdh hak eksklusif...
Post a Comment
<< Home