Kenapa Tidak Mau Datang, Jenderal?
oleh Ari Juliano Gema
Republik ini memang hebat. Banyak bikin lembaga-lembaga baru, tapi tidak diberikan kewenangan yang memadai. Cerita bermula dari dibentuknya Tim Ad Hoc Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Talangsari (Tim Ad Hoc) oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menyelidiki apakah terdapat pelanggaran HAM berat pada saat peristiwa Talangsari, Lampung, tahun 1989. Peristiwa Talangsari terjadi ketika kelompok pengajian yang dipimpin Warsidi diserbu oleh aparat militer karena pengajian tersebut dianggap banyak mengkritik pemerintah Orde Baru.
Untuk mengumpulkan bukti permulaan, Tim Ad Hoc memanggil beberapa perwira tinggi TNI, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif, untuk dimintai keterangan. Ada beberapa purnawirawan jenderal yang tidak datang memenuhi panggilan tersebut. Sehubungan dengan itu, seorang menteri bilang bahwa Komnas HAM tidak berwenang memaksa seorang prajurit TNI, baik yang dahulu maupun yang sekarang, untuk datang memenuhi panggilan mereka (Kompas, 06/03/08).
Kewenangan Komnas HAM
Pada awalnya, Komnas HAM didirikan dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM. Kemudian kedudukannya diperkuat dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM), yang mengatur keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotaan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Disamping itu, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM), Komnas HAM juga diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat meliputi setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan kelompok bangsa, ras, etnis, atau agama (genosida), dan juga perbuatan yang merupakan serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Dalam melakukan penyelidikan ini, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat.
Menurut UU Pengadilan HAM, kewenangan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan tersebut meliputi antara lain menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat, memanggil pihak pengadu/korban atau yang pihak diadukan, memanggil saksi, serta meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian. Apabila Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup menunjukkan telah terjadi pelanggaran HAM berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan itu disampaikan kepada Jaksa Agung sebagai pihak yang berwenang melakukan penyidikan.
Sialnya, dalam UU Pengadilan HAM memang tidak diatur mengenai upaya paksa yang dapat dilakukan apabila ada pihak yang tidak datang memenuhi panggilan dalam rangka penyelidikan tersebut. Ketiadaan pengaturan upaya paksa tersebut menurut saya merupakan kealpaan dari pembuat undang-undangnya, mengingat dalam UU HAM sendiri telah diatur bahwa apabila seseorang yang dipanggil Komnas HAM tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, maka Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlu Terobosan Hukum
Saya mendukung 100% kalau Komnas HAM berani melakukan terobosan hukum dengan menggunakan ketentuan dalam UU HAM tersebut untuk melakukan upaya paksa kepada pihak-pihak yang tidak mau memenuhi panggilannya. Adapun alasan pernyataan saya adalah sebagai berikut, pertama, lahirnya Pengadilan HAM adalah karena amanat dari UU HAM. Oleh karena itu, diakui atau tidak, UU Pengadilan HAM sebenarnya terbit karena amanat UU HAM juga. Sehingga apabila dalam UU Pengadilan HAM tidak tercantum ketentuan mengenai upaya paksa terhadap seseorang yang tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, seharusnya ketentuan dalam UU HAM mengenai upaya paksa tersebut dapat diterapkan untuk menutupi kekosongan hukum tersebut.
Kedua, dalam pandangan saya, Ketua Pengadilan adalah pihak yang netral. Oleh karena itu, apabila Komnas HAM meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan untuk melakukan upaya paksa tersebut tentu Ketua Pengadilan akan mempertimbangkan banyak hal, termasuk kepentingan pihak yang dipanggil, sebelum memutuskan apakah akan memenuhi permintaan Komnas HAM atau tidak.
Ketiga, apabila peristiwa dimana dugaan pelanggaran HAM berat terjadi sudah lama sekali, sehingga bukti-bukti fisik mungkin sulit ditemukan, maka yang mungkin dijadikan bukti permulaan adalah keterangan dari orang-orang yang mengetahui terjadinya peristiwa tersebut. Apabila tidak ada upaya paksa yang dapat dilakukan terhadap orang-orang yang tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, Komnas HAM tentu akan kesulitan menemukan bukti permulaan untuk menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, yang pada gilirannya akan menghalangi proses pencarian keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan dari peritiwa tersebut.
Selain alasan di atas, yang paling memprihatinkan lagi adalah akan terbuang sia-sianya dana operasional Komnas HAM yang berasal dari APBN hanya karena Komnas HAM dibuat mandul oleh UU Pengadilan HAM. Sikap kenegarawanan dari para purnawirawan jenderal tersebut sebenarnya juga diuji. Apabila mereka mau dengan sukarela memenuhi panggilan Komnas HAM, tentu sikap mereka akan menjadi contoh dan teladan dalam menghormati proses penegakan HAM di Indonesia.
Republik ini memang hebat. Banyak bikin lembaga-lembaga baru, tapi tidak diberikan kewenangan yang memadai. Cerita bermula dari dibentuknya Tim Ad Hoc Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Talangsari (Tim Ad Hoc) oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menyelidiki apakah terdapat pelanggaran HAM berat pada saat peristiwa Talangsari, Lampung, tahun 1989. Peristiwa Talangsari terjadi ketika kelompok pengajian yang dipimpin Warsidi diserbu oleh aparat militer karena pengajian tersebut dianggap banyak mengkritik pemerintah Orde Baru.
Untuk mengumpulkan bukti permulaan, Tim Ad Hoc memanggil beberapa perwira tinggi TNI, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif, untuk dimintai keterangan. Ada beberapa purnawirawan jenderal yang tidak datang memenuhi panggilan tersebut. Sehubungan dengan itu, seorang menteri bilang bahwa Komnas HAM tidak berwenang memaksa seorang prajurit TNI, baik yang dahulu maupun yang sekarang, untuk datang memenuhi panggilan mereka (Kompas, 06/03/08).
Kewenangan Komnas HAM
Pada awalnya, Komnas HAM didirikan dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM. Kemudian kedudukannya diperkuat dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM), yang mengatur keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotaan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Disamping itu, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM), Komnas HAM juga diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat meliputi setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan kelompok bangsa, ras, etnis, atau agama (genosida), dan juga perbuatan yang merupakan serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Dalam melakukan penyelidikan ini, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat.
Menurut UU Pengadilan HAM, kewenangan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan tersebut meliputi antara lain menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat, memanggil pihak pengadu/korban atau yang pihak diadukan, memanggil saksi, serta meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian. Apabila Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup menunjukkan telah terjadi pelanggaran HAM berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan itu disampaikan kepada Jaksa Agung sebagai pihak yang berwenang melakukan penyidikan.
Sialnya, dalam UU Pengadilan HAM memang tidak diatur mengenai upaya paksa yang dapat dilakukan apabila ada pihak yang tidak datang memenuhi panggilan dalam rangka penyelidikan tersebut. Ketiadaan pengaturan upaya paksa tersebut menurut saya merupakan kealpaan dari pembuat undang-undangnya, mengingat dalam UU HAM sendiri telah diatur bahwa apabila seseorang yang dipanggil Komnas HAM tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, maka Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlu Terobosan Hukum
Saya mendukung 100% kalau Komnas HAM berani melakukan terobosan hukum dengan menggunakan ketentuan dalam UU HAM tersebut untuk melakukan upaya paksa kepada pihak-pihak yang tidak mau memenuhi panggilannya. Adapun alasan pernyataan saya adalah sebagai berikut, pertama, lahirnya Pengadilan HAM adalah karena amanat dari UU HAM. Oleh karena itu, diakui atau tidak, UU Pengadilan HAM sebenarnya terbit karena amanat UU HAM juga. Sehingga apabila dalam UU Pengadilan HAM tidak tercantum ketentuan mengenai upaya paksa terhadap seseorang yang tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, seharusnya ketentuan dalam UU HAM mengenai upaya paksa tersebut dapat diterapkan untuk menutupi kekosongan hukum tersebut.
Kedua, dalam pandangan saya, Ketua Pengadilan adalah pihak yang netral. Oleh karena itu, apabila Komnas HAM meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan untuk melakukan upaya paksa tersebut tentu Ketua Pengadilan akan mempertimbangkan banyak hal, termasuk kepentingan pihak yang dipanggil, sebelum memutuskan apakah akan memenuhi permintaan Komnas HAM atau tidak.
Ketiga, apabila peristiwa dimana dugaan pelanggaran HAM berat terjadi sudah lama sekali, sehingga bukti-bukti fisik mungkin sulit ditemukan, maka yang mungkin dijadikan bukti permulaan adalah keterangan dari orang-orang yang mengetahui terjadinya peristiwa tersebut. Apabila tidak ada upaya paksa yang dapat dilakukan terhadap orang-orang yang tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, Komnas HAM tentu akan kesulitan menemukan bukti permulaan untuk menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, yang pada gilirannya akan menghalangi proses pencarian keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan dari peritiwa tersebut.
Selain alasan di atas, yang paling memprihatinkan lagi adalah akan terbuang sia-sianya dana operasional Komnas HAM yang berasal dari APBN hanya karena Komnas HAM dibuat mandul oleh UU Pengadilan HAM. Sikap kenegarawanan dari para purnawirawan jenderal tersebut sebenarnya juga diuji. Apabila mereka mau dengan sukarela memenuhi panggilan Komnas HAM, tentu sikap mereka akan menjadi contoh dan teladan dalam menghormati proses penegakan HAM di Indonesia.
Jadi, masih tidak mau datang, Jenderal?
Labels: Komnas HAM, Pengadilan HAM, Terobosan Hukum
0 Comments:
Post a Comment
<< Home