oleh Ari Juliano Gema
Polemik mengenai perlu tidaknya baju khusus untuk para tersangka atau terdakwa kasus korupsi terpapar di berbagai media. Fasilitas bagi terdakwa kasus korupsi yang berbeda dengan terdakwa kasus lainnya juga menjadi perbincangan. Seluruhnya bermuara dari niat untuk menumbuhkan efek jera dan rasa malu bagi para koruptor.
Terus terang, saya tidak tertarik untuk turut mengambil posisi dalam polemik yang tidak substansif ini. Mengapa tidak substansif?
Pertama, selama berpraktik di pengadilan, saya tidak pernah menyaksikan terdakwa di sidang pengadilan yang menggunakan seragam tahanan. Sebagian besar mengenakan baju putih yang mereka miliki atau disewa dari penjaga penjara. Menurut saya, cara berpakaian seperti itu adalah dalam rangka menghormati persidangan. Apabila ada terdakwa yang cara berpakaiannya terlihat ’provokatif’, saya pikir itu bukan karena terdakwa tidak punya rasa malu dengan perkaranya. Itu sekedar masalah selera dan gaya berpakaian saja.
Kedua, apabila baju khusus tersebut jadi diterapkan, mungkin bisa menimbulkan rasa malu bagi para terdakwa kasus korupsi. Tapi apakah akan menimbulkan efek jera? Nanti dulu.
Penyebab Korupsi
Dari berbagai literatur yang saya baca, sedikitnya ada tiga faktor yang menjadi penyebab seseorang melakukan korupsi. Tiga faktor tersebut adalah: (i) karena sifat dasar orang tersebut yang tidak pernah puas dengan kekayaan yang dimilikinya (corrupt by greed); (ii) karena adanya kebutuhan hidup yang mendesak (corrupt by need); dan (iii) karena sistem yang korup (corrupt by system).
Bagi para koruptor yang masuk kategori corrupt by greed, pemakaian baju khusus mungkin bisa membuat mereka berpikir seribu kali untuk korupsi. Para koruptor tipe ini biasanya dari kalangan terhormat. Pemakaian baju khusus seperti itu akan menjatuhkan harga diri mereka. Namun, apakah hal tersebut berlaku bagi koruptor dari dua tipe lainnya?
Koruptor yang masuk kategori corrupt by need akan sulit menghentikan perbuatan mereka selama kebutuhan hidup masih terus mendesak. Kadang-kadang, pilihannya adalah melakukan korupsi atau mati kelaparan. Sanksi apapun yang dikenakan kepada koruptor tipe ini tidak akan membuatnya jera. Selama tidak ada solusi yang tepat untuk mengatasi desakan kebutuhan hidup tersebut, koruptor tipe ini akan terus melakukan perbuatannya.
Begitu pula halnya dengan koruptor yang masuk kategori corrupt by system. Dalam sistem yang korup, orang-orang didalamnya tidak pernah merasa bahwa dirinya koruptor. Meski melanggar hukum, namun karena pemegang kebijakan dalam sistem itu tidak melakukan perbaikan apa-apa, maka orang-orang yang terlibat dalam sistem merasa tidak ada masalah dengan sistem tersebut. Selama sistem yang korup tersebut tidak diperbaiki, orang-orang didalamnya berpotensi untuk terus diseret ke pengadilan sebagai koruptor.
Efek Jera
Menurut saya, terlepas dari apapun penyebabnya, para koruptor hanya akan jera kalau ada sanksi yang efektif. Terbukti sanksi berupa pidana penjara dan denda tidak menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Berapapun lamanya pidana penjara yang diputuskan hakim, masih ada peluang untuk diajukan banding agar lamanya pidana penjara dapat diturunkan. Adanya remisi atau pengurangan hukuman juga dapat memperingan sanksi bagi para koruptor.
Seharusnya, hakim tingkat pertama tidak ragu untuk menjatuhkan pidana mati kepada koruptor untuk suatu kasus tertentu. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan hal itu. Dalam penjelasan undang-undang tersebut, pidana mati dapat dijatuhkan dalam keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Meski sanksi pidana mati yang diputuskan hakim tersebut masih mungkin diajukan banding, namun setidak-tidaknya hal itu menjadi shock terapy bagi para koruptor.
Labels: baju, korupsi, koruptor, pidana mati
2 Comments:
Efek jera bukan suatu tindakan preventif, karena muncul sebagai akibat dari suatu perbuatan. Seperti hukuman mati, ternyata tidak meberikan terapi bagi masyarakat, namun kejahatan tetap saja terjadi. Efek mempermalukan juga tidak efektif, disaat situasi budaya malu sudah menipis. Buktinya pelaku korupsi itu orang2 tertentu semua notabene berpendidikan tinggi. Apalagi...., yang perlu ajukan revisi UU korupsi. Setiap ada indikasi korupsi dalam suatu kelembagaan pemerintah atau lembaga departemen lainnya, yang pertama kali diperiksa atau dipanggil adalah pimpinan lembaga itu sendiri, itu contoh salah satunya. Kemudian menciptakan lingkungan yg sehat dan tertib administrasi. Proses auditing dan evaluasi terbuka. Banyak lagi cara sebetulnya, karena korupsi ini suatu sistem terencana, maka sistemnya yang harus dibenah secara terencana pula ( Systemic action ).
Setuju dengan adanya revisi UU tentang korupsi. Jadi kalau ada indikasi dalam suatu kelembagaan pemerintah misalnya departemen Mahkamah Konstitusi, tentu yang dipanggil Pak Mahfud, kalau lembaga DPR misalnya, tentu yang dipanggil Pak Marzuki Ali. Cocok kalau gitu Pak...jadi tidak yang kecil2 terus yang kena. Karena selama ini yang selalu terjerat hukum yang kelas2 bawah semua, seolah2 sebagai pengambil keputusan tidak berperan dalam hal ini. Secara logika tidak mungkin pimpinan tidak tahu kalau ada kebijakan dari bawahan, apalagi butuh approval setiap kebijakan dari pimpinan. Jadi apanya yang salah selama ini, sistemnya yang salah atau pelakunya lupa minta izin sama pimpinannya. Mari kita benahi bersama-sama............
Post a Comment
<< Home