Seandainya saja Sengkon-Karta, Lingah-Pacah, dan Devid-Kemat mendapat perlakuan serupa ...
oleh Ari Juliano Gema
Jujur saja, saya juga mengikuti kasus artis Marcella Zalianty yang diduga turut melakukan penganiayaan terhadap Agung Setiawan di berbagai tayangan infotainment seperti anda. Saya juga menyaksikan adu argumentasi antara kuasa hukum Marcelia Zalianty dan kuasa hukum Agung Setiawan berkaitan dengan kasus yang juga melibatkan pembalap Ananda Mikola dan Moreno Suprapto.
Yang mencengangkan saya adalah begitu banyaknya kuasa hukum yang mewakili Agung Setiawan. Saya mengenal beberapa advokat senior yang masuk dalam tim kuasa hukum Agung Setiawan. Entah apakah Agung Setiawan begitu kaya raya sehingga mampu menggunakan jasa begitu banyak advokat, atau mungkin tanggung jawab profesi yang memanggil pada advokat tersebut untuk bahu membahu membela kepentingan hukum Agung Setiawan yang terlihat sebagai pihak yang teraniaya.
Saya tidak tertarik untuk turut terlibat dalam polemik di berbagai media mengenai kasus tersebut. Saya juga tidak tertarik untuk membahas hubungan perkara pidana yang melibatkan Marcella Zalianty itu dengan dugaan penipuan yang dilakukan Agung Setiawan terhadap beberapa orang yang muncul belakangan di berbagai media. Saya hanya membayangkan betapa mulianya para advokat yang menjadi kuasa hukum Agung Setiawan tersebut seandainya mereka melakukan itu karena tanggung jawab profesi untuk membantu orang yang teraniaya secara pro bono (secara cuma-cuma).
Menurut UU Advokat, seorang advokat memang mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sayangnya, sampai saat ini belum juga diterbitkan peraturan pemerintah tersebut, sehingga ketentuan tersebut belum dapat dijalankan.
Saya juga mendengar saat ini sedang diupayakan pembuatan UU Bantuan Hukum yang akan mengatur mengenai hak-hak pencari keadilan yang tidak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma. Undang-undang ini mungkin akan lebih tegas mengatur kewajiban advokat untuk memberikan jasa hukum secara pro bono.
Saya pikir sebenarnya banyak advokat yang bersedia untuk memberikan jasa hukum secara pro bono. Hanya saja mungkin organisasi advokat yang ada belum mau dan mampu mengorganisir anggotanya untuk melakukan pemberian bantuan hukum secara pro bono tersebut. Mudah-mudahan bukan karena sibuk mengurusi masalah klasik organisasi advokat: perpecahan organisasi advokat.
Banyak juga advokat yang bersedia memberikan jasa hukum secara pro bono, namun karena belum berpraktik sendiri akhirnya tidak leluasa untuk memberikan jasa hukum secara pro bono karena harus mengikuti kebijakan kantor tempatnya bekerja. Beruntung apabila kantornya memiliki kebijakan yang ramah terhadap pemberian jasa hukum secara pro bono. Sayangnya, mungkin hanya segelintir kantor advokat yang benar-benar serius dalam mengurusi masalah bantuan hukum secara pro bono tersebut.
Saya jadi membayangkan, seandainya saja Sengkon-Karta, Lingah-Pacah, dan Devid-Kemat mendapat bantuan hukum dari begitu banyak advokat seperti yang dinikmati Agung Setiawan. Hal itu tentu dapat meminimalisir putusan pengadilan yang tidak berdasarkan fakta hukum sebenarnya dan tidak memenuhi rasa keadilan. Saya pikir masih banyak pencari keadilan di pelosok-pelosok daerah terpencil di Indonesia yang berpendidikan rendah dan tidak mampu yang membutuhkan jasa advokat.
Ketika kita mendengar kasus Sengkon-Karta, Lingah-Pacah, dan Devid-Kemat, tentu kita akan dengan mudah menyalahkan aparat penegak hukum sebagai penyebab terjadinya kasus salah tangkap tersebut. Namun, setelah saya mendengar keluh kesah seorang teman yang berprofesi sebagai polisi, saya jadi berusaha untuk menilai kejadian tersebut secara obyektif.
Ketika teman saya itu bertugas di sebuah daerah di luar Pulau Jawa, ia merasakan betapa sulitnya mencari advokat yang mau memberikan bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu yang sedang menjalani pemeriksaan di kepolisian. Meski teman saya itu sudah membuat forum yang melibatkan organisasi advokat, pengadilan dan kejaksaan setempat untuk mengatasi hal itu, tetap saja dalam prakteknya sangat sulit mencari advokat yang mau mendampingi pencari keadilan yang tidak mampu dari mulai proses pemeriksaan di kepolisian sampai proses persidangan di pengadilan. Kadang, lokasi praktik advokat yang sebagian besar berada di kota-kota besar juga menyulitkan advokat untuk menyanggupi bantuan hukum yang intensif terhadap masyarakat yang berada di daerah terpencil.
Yang mencengangkan saya adalah begitu banyaknya kuasa hukum yang mewakili Agung Setiawan. Saya mengenal beberapa advokat senior yang masuk dalam tim kuasa hukum Agung Setiawan. Entah apakah Agung Setiawan begitu kaya raya sehingga mampu menggunakan jasa begitu banyak advokat, atau mungkin tanggung jawab profesi yang memanggil pada advokat tersebut untuk bahu membahu membela kepentingan hukum Agung Setiawan yang terlihat sebagai pihak yang teraniaya.
Saya tidak tertarik untuk turut terlibat dalam polemik di berbagai media mengenai kasus tersebut. Saya juga tidak tertarik untuk membahas hubungan perkara pidana yang melibatkan Marcella Zalianty itu dengan dugaan penipuan yang dilakukan Agung Setiawan terhadap beberapa orang yang muncul belakangan di berbagai media. Saya hanya membayangkan betapa mulianya para advokat yang menjadi kuasa hukum Agung Setiawan tersebut seandainya mereka melakukan itu karena tanggung jawab profesi untuk membantu orang yang teraniaya secara pro bono (secara cuma-cuma).
Menurut UU Advokat, seorang advokat memang mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sayangnya, sampai saat ini belum juga diterbitkan peraturan pemerintah tersebut, sehingga ketentuan tersebut belum dapat dijalankan.
Saya juga mendengar saat ini sedang diupayakan pembuatan UU Bantuan Hukum yang akan mengatur mengenai hak-hak pencari keadilan yang tidak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma. Undang-undang ini mungkin akan lebih tegas mengatur kewajiban advokat untuk memberikan jasa hukum secara pro bono.
Saya pikir sebenarnya banyak advokat yang bersedia untuk memberikan jasa hukum secara pro bono. Hanya saja mungkin organisasi advokat yang ada belum mau dan mampu mengorganisir anggotanya untuk melakukan pemberian bantuan hukum secara pro bono tersebut. Mudah-mudahan bukan karena sibuk mengurusi masalah klasik organisasi advokat: perpecahan organisasi advokat.
Banyak juga advokat yang bersedia memberikan jasa hukum secara pro bono, namun karena belum berpraktik sendiri akhirnya tidak leluasa untuk memberikan jasa hukum secara pro bono karena harus mengikuti kebijakan kantor tempatnya bekerja. Beruntung apabila kantornya memiliki kebijakan yang ramah terhadap pemberian jasa hukum secara pro bono. Sayangnya, mungkin hanya segelintir kantor advokat yang benar-benar serius dalam mengurusi masalah bantuan hukum secara pro bono tersebut.
Saya jadi membayangkan, seandainya saja Sengkon-Karta, Lingah-Pacah, dan Devid-Kemat mendapat bantuan hukum dari begitu banyak advokat seperti yang dinikmati Agung Setiawan. Hal itu tentu dapat meminimalisir putusan pengadilan yang tidak berdasarkan fakta hukum sebenarnya dan tidak memenuhi rasa keadilan. Saya pikir masih banyak pencari keadilan di pelosok-pelosok daerah terpencil di Indonesia yang berpendidikan rendah dan tidak mampu yang membutuhkan jasa advokat.
Ketika kita mendengar kasus Sengkon-Karta, Lingah-Pacah, dan Devid-Kemat, tentu kita akan dengan mudah menyalahkan aparat penegak hukum sebagai penyebab terjadinya kasus salah tangkap tersebut. Namun, setelah saya mendengar keluh kesah seorang teman yang berprofesi sebagai polisi, saya jadi berusaha untuk menilai kejadian tersebut secara obyektif.
Ketika teman saya itu bertugas di sebuah daerah di luar Pulau Jawa, ia merasakan betapa sulitnya mencari advokat yang mau memberikan bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu yang sedang menjalani pemeriksaan di kepolisian. Meski teman saya itu sudah membuat forum yang melibatkan organisasi advokat, pengadilan dan kejaksaan setempat untuk mengatasi hal itu, tetap saja dalam prakteknya sangat sulit mencari advokat yang mau mendampingi pencari keadilan yang tidak mampu dari mulai proses pemeriksaan di kepolisian sampai proses persidangan di pengadilan. Kadang, lokasi praktik advokat yang sebagian besar berada di kota-kota besar juga menyulitkan advokat untuk menyanggupi bantuan hukum yang intensif terhadap masyarakat yang berada di daerah terpencil.
Mudah-mudahan saja rekan-rekan advokat yang masuk dalam tim kuasa hukum Agung Setiawan itu memang melakukan itu karena panggilan tanggung jawab profesi. Mudah-mudahan saja panggilan tanggung jawab profesi itu terus berlanjut untuk membantu para pencari keadilan yang tidak mampu di daerah-daerah pelosok nusantara, yang mungkin tidak akan diliput oleh wartawan infotainment manapun. Mudah-mudahan saja saya sedang tidak bermimpi.
Labels: advokat, ananda mikola, artis, bantuan hukum, devid-kemat, lingah-pacah, marcella zalianty, moreno suprapto, pidana, polisi, pro bono, salah tangkap, sengkon-karta
3 Comments:
Bung Ajo, gw sendiri sejak lulus kuliah, sama sekali gak menyentuh lagi urusan hukum. jd pasti gak ngertilah isi UU Advokat. Tapi, tentang hal ini, memang sangat diperlukan aturan. kalo di AS kan jika tersangka tak mampu, negara akan menyediakan lawyer, yg menunjuk negara (bener gak?). saat ini, pro bono di sini kesannya masih pilih2, yg high profile (banyak mata kamera) atau gak. kalo kasus di atas, pikiran nakal gw sih, lumayan masuk tipi, iklan gratisan hehehe. tanpa aturan, pikiran nakal ini pasti ada di kepala setiap orang.
gue pro bono juga ya mas ajoo
ntar kalo sakit mas ajo pro bono juga deh
hahahahaaa
PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya berhak mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" dan menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??
David
HP. (0274)9345675
Post a Comment
<< Home