Thursday, November 08, 2007

Macet, Macet Lagi dan Lagi-Lagi Macet

oleh Ari Juliano Gema
Mohon maaf kalau judul tulisan kali ini tidak “berbau” hukum. Judul tulisan itu sesungguhnya adalah gambaran suasana jalan yang mengendap dibenak saya setiap pagi pada beberapa hari belakangan ini. Ya, pagi hari ketika harus berjuang menembus kemacetan lalu lintas Ibukota saat menuju tempat bekerja.

Berita utama harian Kompas sendiri pada hari Senin, 5 Nopember 2007, sudah meramalkan bahwa “Jakarta Bakal Stagnan”. Hal ini akibat dimulainya pembangunan jalur bis Transjakarta Koridor VIII, IX dan X di beberapa daerah di Jakarta, sehingga diprediksi kemacetan di Jakarta akan semakin parah dan merata.

Keyakinan yang Keliru

Saya dapat memahami apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI) telah berupaya untuk menyediakan transportasi umum yang layak bagi warganya, sehingga penggunaan kendaraan pribadi dapat dikurangi. Hal ini diyakini oleh Pemprov DKI akan mengurangi kemacetan di jalan raya ibukota. Oleh karena itulah diselenggarakan angkutan bis Transjakarta yang menggunakan jalan khusus, serta Monorail yang sampai dengan tulisan ini dibuat masih tersendat pembangunan sarana pendukungnya.

Namun, tampaknya Pemprov DKI terlalu optimis dengan upayanya tersebut. Menurut penelitian Institut Studi Transportasi, sebagian besar penumpang bis Transjakarta berasal dari penumpang angkutan umum lain, yaitu sebanyak 42,7% dari penumpang bis non-AC, 22,3% dari mikrolet atau angkutan kota, 14,2% dari bis patas AC, dan 2,7% dari taksi. Mereka yang berasal dari pengendara kendaraan pribadi sendiri hanya 13,3%. Pengendara mobil 5,8% dan pengendara sepeda motor 7,5% (Kompas, 05/11/07).

Sekedar Usulan

Saya memang bukan ahli transportasi. Namun, dari pengalaman berjibaku melawan kemacetan jalan, saya melihat ada beberapa hal yang perlu dilakukan Pemprov DKI dan aparat berwenang lainnya untuk mengatasi kemacetan. Adapun beberapa hal tersebut adalah pertama, Pemprov DKI bekerjasama dengan PT Keretaapi Indonesia menambah jumlah gerbong kereta api yang melayani penumpang dalam kota. Langkah ini lebih efektif ketimbang membuat jalur busway yang justru menimbulkan kemacetan. Dengan lebih banyak gerbong, tidak akan terlihat lagi gerbong yang penuh sesak berjejalan penumpang. Apabila hal itu terlaksana, kereta api akan menjadi pertimbangan utama bagi warga kota untuk digunakan sehari-hari seperti halnya warga di kota-kota besar Jepang.

Kedua, menegakkan kembali aturan berjalan di lajur kiri bagi pengendara motor. Diakui atau tidak, jumlah pengendara motor yang semakin meningkat dengan kemampuannya untuk menyalip kendaraan lain secara random turut menyumbang secara signifikan kesemrawutan dan kecelakaan lalu lintas.

Ketiga, mengawasi dan mengatur secara ketat ruas-ruas jalan yang selalu mengalami kemacetan. Meski kedengarannya biasa saja, namun ini penting untuk diperhatikan mengingat kemacetan yang terjadi di ruas-ruas jalan tertentu seringkali terjadi karena ketidakpatuhan pengguna jalan terhadap rambu-rambu lalu lintas, dan bukan karena volume kendaraan yang lewat.

Keempat, menyediakan angkutan massal khusus untuk perempuan dan anak-anak. Sering kita dengar adanya pelecehan seksual dan tindak kejahatan terhadap perempuan di dalam angkutan umum. Hal ini sulit dicegah karena kejadian tersebut biasanya berlangsung dalam suasana hiruk-pikuk di dalam angkutan umum yang bercampur antara laki-laki dan perempuan. Di Tokyo saja kereta bawah tanahnya menyediakan gerbong khusus perempuan pada jam-jam sibuk (peak hours). Apabila sudah ada angkutan massal khusus perempuan dan anak-anak, atau setidak-tidaknya ada bagian khusus perempuan dan anak-anak pada angkutan umum yang ada, maka niscaya kaum perempuan yang mengendarai kendaraan pribadi dengan alasan keamanan akan berpikir untuk menggunakan angkutan massal tersebut. Hal ini tentu akan mengurangi volume kendaraan pribadi di jalan raya, yang pada gilirannya akan mengurangi kemacetan.

Kelima, mengoptimalkan peran polisi pamong praja dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengguna angkutan umum. Daripada hanya digunakan untuk menangkapi joki “three in one” atau membantu penggusuran, akan lebih baik apabila digunakan juga untuk mengawasi halte-halte atau tempat pemberhentian angkutan umum, serta angkutan umum yang rawan tindak kejahatan. Apabila timbul rasa aman dan nyaman tersebut, maka orang akan berpikir untuk selalu menggunakan angkutan umum dalam kegiatan hariannya.

Keenam, meniadakan program “Three in One”. Program ini awalnya dijalankan agar pengguna mobil tidak berjalan sendiri-sendiri namun mau berbagi tumpangan dengan orang lain yang memiliki kendaraan pribadi juga, sehingga volume kendaraan pribadi yang lewat jalan raya dapat berkurang. Namun pada prakteknya, muncul profesi “joki” untuk menyiasati hal itu, yang akhirnya menimbulkan masalah baru. Pengendara mobil yang tidak memenuhi syarat “tiga orang dalam satu mobil” tetap membawa kendaraannya dan mencari jalan alternatif untuk menghindari program tersebut. Pada akhirnya, volume kendaraan pribadi yang lewat di jalan raya tidak merata. Beberapa ruas jalan yang masuk program “Three in One” dapat berjalan lancar, namun timbul kemacetan di ruas jalan yang tidak masuk program tersebut.

Beberapa usulan di atas mungkin tidak akan serta merta menyelesaikan masalah kemacetan di jalan raya Ibukota. Perlu peran serta dan kesiapan dari pihak-pihak yang berwenang. Bagaimanapun juga, Pemprov DKI tidak akan bisa mengatasi kemacetan di jalan raya apabila fokusnya hanya untuk membatasi orang menggunakan kendaraan pribadi. Akan lebih baik apabila Pemprov DKI memfokuskan diri untuk memperbaiki kualitas angkutan umum di DKI Jakarta, sehingga membuat orang meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi secara sukarela dan beralih menggunakan angkutan umum yang layak.