Sunday, May 27, 2012

Seputar Etika Tweet Berbayar




oleh Ari Juliano Gema

Saya tertarik membaca tulisan Pandji Pragiwaksono di blognya yang berjudul “Siapa yang mau follow mereka?”. Intinya, tulisan itu menyoroti aktifitas tweet berbayar untuk iklan produk dan dukungan politik.

Kalau kita berbicara tentang aktifitas beriklan sebenarnya sudah ada Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang mengatur mengenai tatakrama dan tata cara periklanan di Indonesia yang harus dipahami dan dipatuhi perusahaan periklanan, serta pengiklan dan mitra usahanya. EPI pertamakali diikrarkan oleh insan periklanan pada tanggal 17 September 1981, dan terakhir disempurnakan pada tahun 2005.

EPI telah disepakati keberlakuannya oleh berbagai asosiasi atau lembaga yang terkait dengan aktifitas periklanan, seperti Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Dengan demikian, sepanjang yang menyangkut periklanan, EPI menjadi induk yang memayungi semua standar etika periklanan internal yang terdapat pada kode etik masing-masing asosiasi atau lembaga pengemban dan pendukungnya.

Iklan dan Periklanan Kebijakan Publik  

Menurut EPI, iklan adalah pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Iklan tersebut meliputi iklan korporat, iklan layanan masyarakat dan iklan promo program. EPI mengatur juga mengenai kesaksian konsumen (testimony) dan anjuran (endorsement) dalam menyampaikan pesan periklanan.       

EPI mengatur bahwa kesaksian konsumen (testimony) harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa bermaksud untuk melebih-lebihkannya. Untuk itu, kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh konsumen tersebut. Perusahaan periklanan atau pengiklan harus dapat memberikan identitas dan alamat pemberi kesaksian yang lengkap jika lembaga penegak etika periklanan memintanya guna memeriksa kebenaran kesaksian tersebut.

Sedang untuk anjuran (endorsement), EPI mengatur bahwa pernyataan, klaim atau janji yang diberikan harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh penganjur. Penganjur adalah tokoh atau orang biasa yang ditampilkan dalam sesuatu pesan periklanan untuk mengajak orang lain menggunakan atau mengkonsumsi sesuatu produk yang diiklankan tersebut, tanpa mengesankan bahwa dia sendiri pernah menggunakan atau mengkonsumsi produk terkait.

Untuk jenis-jenis produk tertentu, ada juga pengaturan khusus mengenai anjuran. Misal, iklan tidak boleh menggambarkan atau menimbulkan kesan pemberian anjuran tentang penggunaan obat tertentu oleh profesi kesehatan seperti dokter, perawat, farmasis, laboratoris, dan pihak-pihak yang mewakili profesi kesehatan.

Sehubungan dengan ragam iklan, EPI mengatur juga periklanan tentang kebijakan publik. Periklanan tersebut meliputi periklanan yang mempromosikan kebijakan penyelenggara negara, periklanan yang mempromosikan pendapat suatu kelompok tentang kebijakan publik, dan periklanan selama masa kampanye pemilihan legislatif, pemilihan presiden atau pilkada oleh partai politik atau calon peserta pemilihan.

Menurut EPI, iklan kebijakan publik itu harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Tampil jelas sebagai suatu iklan.
  2. Tidak menimbulkan keraguan atau ketidaktahuan atas identitas pengiklannya. Identitas pengiklan yang belum dikenal secara umum, wajib mencantumkan nama dan alamat lengkapnya.
  3. Tidak bernada mengganti atau berbeda dari suatu tatanan atau perlakuan yang sudah diyakini masyarakat umum sebagai kebenaran atau keniscayaan.
  4. Tidak mendorong atau memicu timbulnya rasa cemas atau takut yang berlebihan terhadap masyarakat.
  5. Setiap pesan iklan yang mengandung hanya pendapat sepihak, wajib mencantumkan kata-kata “menurut kami”, “kami berpendapat” atau sejenisnya.
  6. Jika menyajikan atau mengajukan suatu permasalahan atau pendapat yang bersifat kontroversi atau menimbulkan perdebatan publik, maka harus dapat – jika diminta –memberikan bukti pendukung dan atau penalaran yang dapat diterima oleh lembaga penegak etika, atas kebenaran permasalahan atau pendapat tersebut.
  7. Terkait dengan butir (6) di atas, iklan kebijakan publik dinyatakan melanggar etika periklanan, jika pengiklannya tidak dapat atau tidak bersedia memberikan bukti pendukung yang diminta lembaga penegak etika periklanan.
  8. Jika suatu pernyataan memberi rujukan faktual atas temuan sesuatu riset, maka pencantuman data-data dari temuan tersebut harus telah dibenarkan dan disetujui oleh pihak penanggungjawab riset dimaksud. 
  9. Tidak boleh merupakan, atau dikaitkan dengan promosi penjualan dalam bentuk apa pun.

Penegakan EPI dilakukan oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI). DPI berwenang memutuskan bentuk dan bobot sanksi yang perlu dijatuhkan oleh asosiasi atau lembaga periklanan nasional kepada anggotanya. Bentuk sanksi terhadap pelanggaran EPI tesebut adalah peringatan tertulis dan penghentian penyiaran periklanan atau mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait.

Iklan dan Media Baru

Ok, lalu bagaimana dengan tweet berbayar? Pada dasarnya, sepanjang suatu pesan dapat dikategorikan sebagai iklan, termasuk pesan melalui twitter, maka ketentuan-ketentuan EPI berlaku. Penggunaan buzzer atau influencer untuk menyampaikan pesan periklanan, termasuk dukungan politik berbayar, melalui twitter seharusnya juga tunduk dengan ketentuan EPI mengenai kesaksian konsumen (testimony), anjuran (endorsement) dan ketentuan iklan kebijakan publik sebagaimana dijelaskan diatas.

Apakah memang twitter termasuk media periklanan yang diatur dalam EPI? Sebenarnya EPI mengatur juga ketentuan mengenai ”media baru”, yaitu suatu saluran komunikasi nonkonvensional yang secara elektronik menyampaikan pesan periklanan berupa teks, tanda, citra, atau paduannya, baik secara daring (on line) ataupun secara laring (off line), serta dengan atau tanpa pengenaan harga premium. Dari pengertian tersebut, jelas twitter masuk kategori media baru

Hal ini semakin dikuatkan dengan fakta bahwa pada tahun 2011 lalu, sebuah biro iklan pernah ditegur oleh Badan Pengawas Periklanan PPPI karena melakukan promosi minuman berakohol melalui twitter. Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal, yaitu twitter termasuk media periklanan yang diatur dalam EPI dan penyampaian pesan periklanan melalui twitter tidak luput dari pengawasan lembaga penegak etika periklanan.


Sumber gambar: Smashinghub.co.uk