Thursday, June 25, 2009

Apakah UU ITE Belum Berlaku?

Saya turut gembira dengan putusan sela majelis hakim yang menyatakan surat dakwaan penuntut umum terhadap Ibu Prita batal demi hukum. Dengan demikian, Ibu Prita dapat bebas dan tidak perlu cemas akan dipenjarakan kembali seperti yang dialami sebelumnya.

Namun, dasar yang digunakan hakim dalam mengambil keputusan tersebut sangat mengejutkan saya. Seperti diberitakan situs Hukumonline (25/06/09), hakim menilai Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum dapat diterapkan kepada Prita, karena beleid yang resmi diundangkan pada 21 April 2008 ini belum memiliki daya ikat. Menurut hakim, UU ITE sedianya baru berlaku dua tahun lagi, mengingat ada amanat pembentukan sejumlah peraturan pemerintah (PP) yang diberi tenggat waktu dua tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UU ITE.

Pendapat ini jelas salah besar. Pasal 54 ayat (1) UU ITE telah secara tegas dan jelas menerangkan bahwa:
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Dengan demikian, harus dibaca bahwa UU ITE sudah berlaku sejak tanggal 21 April 2008.


Pasal 54 ayat (2) UU ITE menyatakan bahwa:
Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.
Dengan demikian, amanat pasal itu adalah ketentuan pelaksanaan berupa PP dari beberapa ketentuan dalam UU ITE harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal 21 April 2008. Jadi, bukannya menunda pelaksanaan UU ITE sampai 21 April 2010. Lagipula, ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sama sekali tidak membutuhkan adanya pengaturan lebih lanjut dalam PP.

Apabila dasar putusan ini diikuti oleh hakim lain dalam kasus-kasus yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi, maka tentu akan sulit menggunakan informasi elektronik/dokumen elektronik sebagai alat bukti, karena belum diakui keabsahannya, mengingat UU ITE dianggap belum berlaku. Hal ini tentu melemahkan upaya penegak hukum dalam mengusut kasus-kasus seperti misalnya memasuki sistem elektronik milik orang lain secara ilegal, mengubah dokumen elektronik milik orang lain secara ilegal, atau melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, sebagaimana diatur dalam UU ITE.

Sangat disayangkan apabila dalam menegakkan hukum, hakim justru menggunakan penafsiran hukum yang keliru. Jelas bukan hal yang baik untuk pendidikan publik.

Labels: , , , , , ,

Saturday, June 06, 2009

Ini Bukan Soal Ibu Prita atau RS Omni!



Pada saat mengikuti persidangan pertama perkara pidana Ibu Prita kemarin, saya merasakan dukungan masyarakat dan media massa kepada Ibu Prita demikian besar. Tuntutan untuk membebaskan Ibu Prita dan menyalahkan RS Omni Alam Sutra Tangerang begitu kentara.


Namun, bagi saya, ini bukan sekedar persoalan menuntut pembebasan Ibu Prita dan menyalahkan RS Omni. Ini adalah soal hak konsumen untuk menyampaikan keluhannya yang coba dibungkam dengan pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi informasi elektronik/dokumen elektronik yang memuat materi pencemaran nama baik atau penghinaan.


UU ITE vs. KUHP


Sebelum UU ITE diundangkan, sudah ada ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai penghinaan, pencemaran nama baik, kesusilaan, perjudian, pengancaman, dan pemerasan. Semua hal itu kemudian diatur kembali dalam UU ITE dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan media berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.


Masalahnya adalah, pertama, sebagaimana KUHP, UU ITE tidak juga memberikan definisi yang jelas mengenai kata-kata "kesusilaan", "penghinaan" dan "pencemaran nama baik", sehingga begitu mudahnya disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Pada masa Orde Baru, ketidakjelasan itu dimanfaatkan oleh penguasa untuk melibas lawan-lawan politiknya.


Kedua, sanksi yang diatur dalam UU ITE lebih berat daripada sanksi dalam KUHP. Apabila pencemaran nama baik dalam KUHP hanya dikenakan sanksi maksimal 16 bulan penjara, maka dalam UU ITE mengancam pelakunya dengan sanksi maksimal 6 tahun penjara. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa tindak pidana yang diancam 5 tahun penjara pelakunya dapat ditahan pada saat proses penyidikan atau penuntutan. Oleh karena itu, Ibu Prita yang dituntut dugaan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE dapat ditahan di LP Tangerang pada saat proses penuntutan oleh jaksa.


Ketiga, delik pencemaran nama baik dalam UU ITE adalah delik biasa. Sedangkan dalam KUHP adalah delik aduan. Artinya, apabila seseorang dituntut dengan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE, dan meskipun pihak pengadu telah memaafkannya serta mencabut pengaduannya, maka penuntutan dan proses persidangan tetap akan jalan terus. Berbeda dengan delik aduan, dimana apabila pengadu mencabut pengaduannya, maka penuntutan dapat dihentikan.


Hak Konsumen


Menurut UU Perlindungan Konsumen, setiap konsumen punya hak untuk didengar pendapat dan keluhannya. Tidak diatur mengenai saluran atau media dalam penyampaian keluhan itu dan tidak ada kewajiban menyampaikan langsung kepada pelaku usaha. Dengan demikian, seharusnya konsumen boleh menyampaikan keluhannya dalam media apapun, termasuk melalui surat pembaca atau e-mail.


UU juga memberikan hak kepada pelaku usaha untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya. Mengapa kata "sepatutnya" yang digunakan, dan bukan "semaksimal mungkin"? Karena memang seharusnya pembelaan diri tidak diperlakukan sebagai ajang balas dendam, namun hanya sebagai upaya mengklarifikasi hal-hal tidak benar yang disampaikan oleh konsumen.


Namun, ketika pelaku usaha menganggap keluhan tersebut sebagai pencemaran nama baiknya, dan kemudian melaporkan hal itu kepada aparat penegak hukum, itu adalah hak pelaku usaha. Ketika Jaksa melakukan penuntutan berdasarkan ketentuan hukum yang tersedia, menurut saya itu juga sudah menjadi tugas Jaksa. Tidak ada yang salah dengan hal itu.


Merupakan tugas hakim juga untuk memutuskan apakah yang dilakukan Ibu Prita itu termasuk pencemaran nama baik atau bukan. Masalahnya, ada UU ITE yang "menyediakan" ketentuan hukum yang begitu represif, yang digunakan oleh jaksa untuk menuntut Ibu Prita. Akibatnya, rasa kemanusiaan dicederai. Publik pun gempar.


Padahal, seandainya saja pasal karet dalam UU ITE itu tidak digunakan, masih ada pasal-pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk perbuatan yang sama. Tinggal ketentuan mengenai keabsahan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang diatur dalam UU ITE saja yang dipergunakan. Apabila hal itu dilakukan, maka niscaya Ibu Prita tidak dapat ditahan dalam proses penuntutan dan tidak harus berpisah dengan dua orang buah hatinya yang masih balita.


Oleh karena itu, agar tidak ada lagi masyarakat yang mengalami nasib serupa, pencabutan pasal-pasal karet dalam UU ITE adalah harga mati!


(foto: Detikcom)