Tuesday, November 28, 2006

Apakah Hak Tolak Wartawan Bersifat Mutlak?

oleh Ari Juliano Gema

Beberapa waktu lalu saya menonton sebuah episode sinetron “Dunia Tanpa Koma” yang biasanya ditayangkan di televisi setiap Sabtu malam. Pada episode sinetron yang berlatar dunia jurnalistik itu diceritakan bahwa tokoh Raya, seorang wartawati muda yang diperankan oleh Dian Sastro, berhasil mewawancarai tokoh Jendra yang sedang melarikan diri dari penjara karena kasus narkoba.

Singkatnya, hasil wawancara itu memunculkan perdebatan di majalah tempat Raya bekerja mengenai apakah hasil wawancara itu akan dimuat atau tidak, dengan mempertimbangkan aspek etika dan hukum. Namun akhirnya, tokoh “Boss Besar”, yang merupakan pimpinan tertinggi di majalah tempat Raya bekerja itu, memutuskan akan berkoordinasi dulu dengan pihak kepolisian sebelum memuat hasil wawancara itu, dengan tujuan untuk membantu pihak kepolisian dalam menemukan Jendra yang sedang buron.

Hak Tolak

Saya membayangkan seandainya keputusan si “Boss Besar” dalam sinetron itu diikuti juga di dunia nyata oleh para “Boss Besar” media cetak dan televisi yang menayangkan Dharmono K. Lawi, mantan Ketua DPRD Banten yang menjadi terpidana kasus korupsi dan berstatus buron sejak April 2006 lalu. Hal itu tentu tidak akan membuat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menjadi “uring-uringan” seperti sekarang ini. Hal yang membuat Jaksa Agung semakin “uring-uringan” adalah argumen dari kalangan media dan pakar hukum bahwa wartawan yang berhasil menemukan Dharmono punya hak untuk menolak mengungkapkan keberadaan Dharmono yang sedang buron itu apabila aparat penegak hukum meminta keterangan mengenai hal tersebut. Menurut mereka, hak itu diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang disebut sebagai Hak Tolak.

Berkenaan dengan hal itu, Jaksa Agung menyampaikan keprihatinannya terhadap wartawan yang “memburu” Dharsono hanya untuk kepentingan pemberitaan saja tapi tidak mau melaporkan keberadaan Dharsono itu kepada aparat penegak hukum. Padahal, menurut Jaksa Agung, setiap warga negara memiliki kewajiban hukum untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila mengetahui ada tindak kejahatan.

Aturan Hukum

Mengenai kewajiban hukum warga Negara berkaitan dengan keberadaan buronan itu, sebenarnya kita dapat melihat ketentuan Pasal 221 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pada pokoknya mengatur bahwa barangsiapa yang dengan sengaja: (i) menyembunyikan pelaku kejahatan atau orang yang dituntut karena kejahatan; atau (ii) memberi pertolongan kepada pelaku kejahatan untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang, dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal sembilan bulan penjara.

Sedangkan dalam UU Pers diatur bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak, yaitu hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan/atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan/atau diminta menjadi saksi di pengadilan.

Kalau begitu, apakah seorang wartawan dapat menggunakan Hak Tolaknya untuk melindungi keberadaan seorang buronan? Menurut saya perlu dipertimbangkan latar belakang dari penggunaan Hak Tolak itu. Apabila memang buronan itu adalah sumber berita dari wartawan yang bersangkutan, maka wartawan itu dapat menggunakan Hak Tolaknya. Dengan demikian ketentuan Pasal 221 ayat (1) KUHP tidak dapat diberlakukan kepada wartawan yang menolak mengungkapkan keberadaan buronan yang menjadi sumber beritanya, karena hal itu dilindungi oleh UU Pers yang merupakan lex specialis dari KUHP.

Namun, apakah itu berarti Hak Tolak bersifat mutlak? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat penjelasan mengenai Hak Tolak dalam UU Pers, yang mengatakan bahwa Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan Negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Dengan demikian, sebenarnya Hak Tolak itu tidak bersifat mutlak.

Menimbang hal di atas, seharusnya saat ini Jaksa Agung tidak perlu patah semangat dalam mengejar buronan yang menjadi sumber berita wartawan itu, karena Jaksa Agung masih punya peluang untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan buronan itu. Jaksa Agung dapat meminta penetapan dari pengadilan untuk membatalkan Hak Tolak dari wartawan yang bersangkutan. Apabila setelah terbit penetapan pengadilan yang membatalkan Hak Tolaknya, wartawan yang bersangkutan masih juga menolak mengungkapkan keberadaan buronan itu, maka ketentuan Pasal 221 ayat (1) KUHP dapat dikenakan terhadap wartawan itu.

Monday, November 27, 2006

Perubahan Butuh Keberanian

Menurut Rhenald Kasali, hampir setiap saat kita dilewati oleh rangkaian opportunity (kesempatan). Masalahnya, seringkali kesempatan itu dibiarkan pergi begitu saja, padahal kesempatan itu bisa jadi akan merubah hidup kita.

Kita semua mengharapkan perubahan, tapi kita tidak tahu harus mulai darimana. Akibatnya, kita semua hanya melakukan hal yang sama dari hari ke hari. Padahal perubahan tidak bisa datang hanya dengan mendiskusikannya dalam ruang-ruang rapat atau jadi wacana di media massa saja, tapi perubahan hanya bisa datang kalau orang mau bergerak mengambil kesempatan yang lewat didepannya.

Oleh karena itu, perubahan membutuhkan orang-orang yang tidak sekedar berpikir, tapi juga berani mengambil inisiatif, bergerak, memulai dan seterusnya. Tidak pernah takut mengambil inisiatif meskipun seringkali harus menghadapi cibiran, kritikan, cemoohan, bahkan dimusuhi oleh orang-orang disekitar kita.

Berangkat dari hal itu, setelah kurang lebih sebulan yang lalu saya “menantang” pengikut Nietzsche dan Fukuyama dengan mengganti judul jurnal underground ini dari “Fiat justitia ruat coelum!” menjadi “The Last Man’s Standing” (baca tulisan yang berjudul: Blame It on Nietzsche!), sekarang saya berniat kembali merubah judul jurnal ini sehingga menjadi “LegalMinded”. Alasannya sederhana saja, yaitu agar lebih mudah diingat dan lebih mencerminkan isi dari jurnal ini.

Biarlah orang menilai saya sebagai orang yang plin-plan. Karena saya merasa itulah yang harus saya lakukan. Dalam hal ini, mungkin saya terpengaruh dengan ucapan Jack Canfield, penulis buku Chicken Soup for the Soul, tentang perbedaan antara winners dan losers, yaitu “Winners take action! They simply get up and do what has to be done!


Salam,
Ari Juliano Gema

Wednesday, November 22, 2006

Apa yang Kurang dari Pemikiran de Soto?

oleh Ari Juliano Gema

Pemberian status hukum bagi sektor informal adalah salah satu inti dari pemberdayaan sektor informal. Begitu kira-kira pokok pemikiran Hernando de Soto yang tertuang dalam bukunya The Mistery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else yang terbit pertama kali pada tahun 2000 dan telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.

Menurut mantan Gubernur Bank Sentral Peru ini, sektor informal adalah aktivitas ekonomi yang berada di luar sistem ekonomi yang legal, tak dilindungi hukum, dan rawan terhadap eksploitasi pihak-pihak yang memiliki kekuasaan resmi maupun tidak resmi. Dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, de Soto menegaskan kembali pemikirannya tersebut dihadapan berbagai kalangan mengenai pentingnya formalisasi kepemilikan lahan, rumah dan kegiatan usaha di sektor informal.

Penelitian de Soto

Melalui penelitiannya di Peru sekitar tahun 1980-an, de Soto menemukan bahwa banyak kegiatan usaha di sektor informal ternyata tidak memiliki izin usaha. Beberapa diantaranya sebenarnya telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan status hukum atas lahan, rumah dan kegiatan usaha mereka kepada otoritas yang berwenang. Namun ternyata mereka harus menghadapi sistem birokrasi yang tidak efektif dan efisien sehingga upaya yang mereka lakukan hanya menghabiskan waktu dan biaya saja. Hal ini sangat disayangkan de Soto, karena berdasarkan hasil penelitiannya itu diketahui bahwa 90 persen dari total usaha kecil, 82 persen dari total usaha transportasi di perkotaan, 60 persen dari total bisnis penangkapan ikan, serta 60 persen dari total usaha distribusi dan eceran yang ada di Peru, justru berasal dari sektor informal.

Hasil temuannya itu membuat pemerintah Peru menyadari bahwa ternyata tulang punggung perekonomian Peru adalah sektor informal. Dengan dukungan pemerintah Peru saat itu dan bantuan dana dari USAID, de Soto bersama rekan-rekannya mulai memfasilitasi perolehan status kepemilikan yang sah atas 300.000 usaha sektor informal di Peru, termasuk kepemilikan atas lahan dan rumah mereka. Kemudian, difasilitasi juga perolehan pinjaman dari lembaga pemberi kredit untuk usaha mereka, dengan jaminan kepemilikan mereka yang telah sah itu. Hasilnya, usaha yang tadinya berstatus sebagai sektor informal itu mampu meningkatkan penerimaan pajak oleh pemerintah sebesar 300 juta dollar AS per tahun.

Implementasi di Indonesia

Apabila pemikiran de Soto akan diterapkan di Indonesia, maka prasyarat utamanya adalah pelaku usaha di sektor informal itu harus telah memiliki lahan, rumah ataupun harta benda lainnya yang akan difasilitasi pengurusan keabsahan dokumen kepemilikannya untuk kemudian dijadikan jaminan dalam rangka memperoleh kredit dari bank. Masalahnya, belum tentu semua pelaku usaha sektor informal di Indonesia memiliki lahan dan rumah sendiri, ataupun harta benda lain yang bernilai signifikan. Banyak di antara mereka mungkin hanya menyewa rumah atau lahan untuk usahanya, atau bahkan tinggal di rumah yang tidak permanen di atas tanah milik pihak lain tanpa ijin. Bagaimana de Soto menyikapi hal itu?

Sayang, de Soto kurang mengupas lebih jauh mengenai masalah itu. Untuk itu, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk menyikapi masalah di atas, pertama, pemerintah dapat menerapkan model pembiayaan seperti yang dilakukan oleh Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya di Bangladesh yang memberikan kredit tanpa jaminan untuk orang miskin namun memiliki kemauan untuk memperbaiki nasibnya. Dengan demikian, seorang pelaku usaha di sektor informal tidak harus memiliki lahan dan rumah untuk dijadikan jaminan kredit dari bank.

Kedua, karena secara faktual ada sektor informal di Indonesia yang hanya mengandalkan pengetahuan dan ketrampilan, seperti misalnya pembuat sepatu atau barang kerajinan skala kecil, pembuat perkakas ringan, perancang busana, dan pengembang software individual, pemerintah dapat mensosialisasikan pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) atas hasil karya pelaku usaha tersebut, serta memberikan kemudahan dalam mengurus sertifikat HKI yang relevan untuk hasil karya mereka sebagai bukti kepemilikan yang sah. Hal ini penting, agar pelaku usaha mendapatkan perlindungan Negara dari tindakan pihak lain yang mencoba meniru dan memanfaatkan secara komersil hasil karyanya itu tanpa ijin pelaku usaha yang bersangkutan.

Setelah mendapatkan sertifikat HKI itu, pemerintah harus membantu menjembatani pelaku usaha itu dengan pelaku usaha besar atau investor yang berminat memproduksi hasil karya itu secara massal, agar pelaku usaha itu bisa mendapatkan royalti dari produksi hasil karyanya tersebut. Bukti kepemilikan HKI atas hasil karya pelaku usaha tersebut akan memperkuat posisi tawarnya terhadap pelaku usaha besar atau investor tersebut.

Wednesday, November 15, 2006

Mencermati Pro-Kontra Fatwa MA tentang Kekayaan Negara yang Dipisahkan*

oleh Ari Juliano Gema

Pada tanggal 16 Agustus 2006 lalu, MA menerbitkan surat untuk Menteri Keuangan RI yang salah satu isinya menegaskan bahwa pembinaan dan pengelolaan modal BUMN yang berasal dari kekayaan Negara tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Surat yang dianggap sebagai fatwa MA tersebut diterbitkan atas permintaan Menteri Keuangan RI sehubungan dengan adanya ketidaksesuaian pengaturan mengenai penyertaan kekayaan Negara pada BUMN dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17/2003) dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU No. 19/2003).

Dalam UU No. 17/2003 diatur bahwa keuangan Negara meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN/BUMD, sehingga pengelolaannya didasarkan pada sistem APBN. Namun, dalam UU No. 19/2003 pengelolaan penyertaan Negara pada BUMN didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Menurut fatwa MA itu, ketentuan dalam UU No. 17/2003 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya UU No. 19/2003 yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari UU No. 17/2003.

Pro dan Kontra

Sampai saat ini, fatwa MA tersebut terus menuai polemik. Sebagian kalangan menilai bahwa fatwa MA tersebut dapat menyulitkan upaya pemberantasan korupsi karena aparat penegak hukum tidak dapat lagi memberlakukan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pengurus BUMN yang diduga menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini terjadi karena apabila kekayaan Negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat. Namun, sebagian kalangan yang lain menilai positif fatwa MA ini karena memberikan kepastian hukum dalam pembinaan dan pengelolaan kekayaan Negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN.

Apabila kita coba menarik akar perbedaan pendapat tersebut, sebenarnya perbedaan itu muncul dari perbedaan pandangan dalam memperlakukan kekayaan Negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN. Sebagian kalangan memandang pentingnya pemerintah melakukan upaya semaksimal mungkin untuk melindungi kekayaan Negara yang disertakan pada BUMN itu agar dapat digunakan secara optimal dalam melayani kepentingan masyarakat umum. UU Tindak Pidana Korupsi dianggap efektif untuk melindungi kekayaan Negara, sehingga terbitnya fatwa MA itu dianggap dapat menghambat upaya pemerintah untuk melindungi kekayaan Negara yang ditempatkan di BUMN, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pelayanan BUMN kepada masyarakat umum dan konstribusinya pada APBN.

Sedangkan bagi kalangan yang lain, terbitnya fatwa MA itu dianggap memberikan dukungan positif bagi pengurus BUMN untuk lebih berani mengambil keputusan strategis dalam membuat terobosan dan inovasi pengembangan BUMN, sehingga kekayaan Negara yang disertakan sebagai modal BUMN itu dapat diberdayakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, yang pada gilirannya akan memberikan pemasukan yang signifikan bagi Negara. Sebelum fatwa MA itu terbit, dapat dimengerti apabila pengurus BUMN seringkali ragu-ragu dalam mengambil keputusan strategis karena kuatir mereka akan dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila keputusannya itu membawa kerugian bagi perusahaan.

Upaya Pemerintah

Sebenarnya, pemerintah harus menyadari sepenuhnya bahwa BUMN adalah juga entitas bisnis yang tidak bisa lepas dari pengaruh pasar yang dinamis. Oleh karena itu, kerugian yang dialami BUMN haruslah dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sepanjang pengurus BUMN telah melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik dalam mengurus BUMN itu.

Terhadap pengurus BUMN yang tidak melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik sehingga menimbulkan kerugian bagi BUMN tersebut, sebenarnya ada beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasinya, pertama, pemerintah sebagai pemegang saham dapat menggugat direksi atau komisaris BUMN secara perdata apabila keputusan yang diambil oleh mereka dianggap merugikan pemegang saham, sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kedua, pemerintah juga dapat melaporkan pengurus BUMN kepada aparat penegak hukum apabila diduga terjadi pemalsuan data dan laporan keuangan, penggelapan uang perusahaan, pelanggaran Undang-Undang Perbankan, serta pelanggaran atas peraturan perundang-undangan lain yang memuat ketentuan pidana. Bahkan sebenarnya dapat juga digunakan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi apabila pengurus BUMN terbukti memberikan uang suap kepada otoritas yang berwenang sehubungan dengan kegiatan bisnisnya.

Intinya, fatwa MA itu janganlah dipandang sebagai suatu mimpi buruk dalam penegakan hukum di lingkungan BUMN. Yang terpenting adalah komitmen pemerintah untuk memberdayakan BUMN agar dapat menunjukkan kinerja optimal sehingga dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi perkembangan perekonomian nasional.


*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Ekonomi Neraca pada tanggal 20 Oktober 2006

Tuesday, November 07, 2006

UKP3R dan Eksistensi “Pembisik” Presiden*

oleh Ari Juliano Gema

Dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2006 tentang Pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R), maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menambah lagi pihak yang akan membantu tugas kepresidenannya. Tugas UKP3R yang masa kerjanya hanya tiga tahun itu secara umum ada lima, yaitu mewujudkan perbaikan iklim investasi, perbaikan administrasi pemerintahan, peningkatan usaha kecil dan menengah, peningkatan kinerja BUMN, dan perbaikan penegakan hukum. Beban pembiayaan UKP3R ini akan diambil dari APBN serta sumber-sumber lain yang sah.

Namun, UKP3R yang dipimpin oleh Marsilam Simandjuntak itu tidak bekerja langsung untuk mewujudkan lima tugas itu. Menurut Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, UKP3R hanya akan mengawasi kinerja pemerintah sehari-hari dan memberikan laporan secara langsung dari lapangan kepada presiden. UKP3R juga akan memberikan masukan, solusi dan rekomendasi yang tepat jika ada kebuntuan dalam pelaksanaan kebijakan Presiden. Sehingga jika dianalogikan, UKP3R dapat dianggap sebagai pemantau dan pembisik untuk Presiden.

Lembaga “Pembisik” Presiden

Mendengar istilah “pembisik” presiden, ingatan kita kembali pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, atau biasa disapa Gus Dur. Ketika itu, Gus Dur kerap mengeluarkan pernyataan yang kontroversial atas suatu masalah berdasarkan laporan dari orang-orang kepercayaannya yang sering disebut sebagai para “pembisik” Presiden.

Apabila dicermati, fungsi “pembisik” Presiden itu adalah memberikan masukan, pendapat, nasehat atau pertimbangan atas suatu masalah tertentu kepada Presiden. Selama ini, fungsi “pembisik” Presiden itu sebenarnya sudah banyak yang dilembagakan. Komisi Hukum Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2000 dapat diambil sebagai contoh. Komisi ini bertugas memberikan pendapat atas permintaan Presiden tentang berbagai kebijakan hukum yang dibuat atau direncanakan oleh pemerintah.

Ada juga Komisi Kepolisian Nasional yang dibentuk berdasarkan amanat UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Komisi ini bertugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara RI dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala kepolisian Negara RI. Selain itu, ada pula Komisi Kejaksaan RI yang dibentuk berdasarkan amanat UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dengan salah satu tugasnya adalah membuat laporan, rekomendasi, atau saran yang berkaitan dengan perbaikan dan penyempurnaan organisasi serta kondisi lingkungan kejaksaan, atau penilaian terhadap kinerja dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan kepada Jaksa Agung dan Presiden.

Masih ada lagi lembaga-lembaga seperti Dewan Maritim Indonesia, Dewan Ketahanan Pangan dan Dewan Ketahanan Nasional yang bertugas memberikan masukan dan pertimbangan kepada Presiden berkenaan dengan masalah-masalah yang menjadi lingkup tugas masing-masing lembaga tersebut. Tiga lembaga yang disebut di atas itu langsung diketuai oleh Presiden, meski untuk pelaksanaan sehari-harinya diketuai oleh menteri yang tugas dan wewenangnya meliputi bidang yang bersangkutan.

Deretan panjang lembaga “pembisik” Presiden itu masih ditambah dengan adanya staf khusus Presiden yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2005 tentang Staf Khusus Presiden. Menurut Peraturan Presiden itu, jumlah staf khusus Presiden adalah sembilan orang yang masing-masing membidangi tugas yaitu: sekretaris pribadi; hubungan internasional; informasi/public relation; komunikasi politik; hukum dan pemberantasan KKN; ekonomi dan keuangan; pertahanan dan keamanan; pembangunan daerah dan otonomi daerah; serta teknik dan industri. Jumlah staf khusus itu masih dapat bertambah lagi karena Presiden masih dapat mengangkat staf khusus lainnya dengan sebutan Penasehat Khusus Presiden atau Utusan Khusus Presiden.

Jangan kaget kalau nanti mungkin akan muncul lagi suatu lembaga “pembisik” Presiden. Untuk memenuhi amanat Pasal 16 UUD 1945, saat ini DPR sedang menyusun RUU mengenai pembentukan suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden. Apabila dewan ini jadi dibentuk, dan Presiden tetap mempertahankan keberadaan lembaga-lembaga “pembisik” yang telah ada, maka akan semakin panjang daftar pihak-pihak yang akan “membisiki” Presiden.

Efektivitas UKP3R

Mencermati peta lembaga-lembaga “pembisik” di sekitar Presiden, UKP3R sebagai lembaga “pembisik” paling bungsu jelas harus menyadari benar posisinya. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan oleh UKP3R agar dapat bekerja lebih efektif dan efisien, yaitu pertama, UKP3R harus melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga “pembisik” lainnya untuk menghimpun masukan, nasehat atau pertimbangan yang pernah disampaikan lembaga-lembaga tersebut kepada Presiden. Hal ini perlu dilakukan agar UKP3R tidak memberikan masukan, nasehat atau pertimbangan yang sama dengan yang pernah disampaikan lembaga-lembaga itu kepada Presiden sebelumnya. Semua masukan, nasehat dan pertimbangan yang pernah dibuat oleh lembaga-lembaga tersebut dapat dianalisa kembali dengan tetap memperhatikan dinamika saat ini untuk dijadikan bahan dasar dalam membuat masukan, nasehat atau pertimbangan yang lebih up date kepada Presiden. Koordinasi ini juga untuk menghindari kesan adanya rivalitas dengan lembaga-lembaga “pembisik” lainnya, yang pada akhirnya dapat menghambat kerja UKP3R.

Kedua, UKP3R harus proaktif dalam menangkap aspirasi dan masukan dari masyarakat, khususnya organisasi non-pemerintah (ornop) yang kompeten dibidangnya. Ornop ini dapat berupa organisasi profesi, organisasi pengusaha, oganisasi buruh/pekerja, lembaga advokasi masyarakat atau lembaga riset independen. Banyak ornop yang telah sarat pengalaman atau memiliki kajian yang mendalam atas suatu masalah tertentu. Dari pengalaman dan kajian yang telah dilakukan ornop tersebut, UKP3R bisa segera mendapatkan informasi yang dibutuhkannya untuk dianalisa kembali sebelum dijadikan masukan bagi Presiden.

Ketiga, UKP3R tidak boleh terjebak untuk berusaha menyelesaikan semua masalah. Dalam masa kerjanya yang hanya tiga tahun itu, prioritas pekerjaan mutlak ditentukan oleh UKP3R. Tanpa prioritas pekerjaan, penyelesaian suatu masalah tidak akan dapat dilakukan secara optimal. Jangan sampai setelah berakhirnya masa kerja UKP3R masih terdapat sisa-sisa masalah yang mengganjal akibat tidak optimalnya penanganan masalah tersebut.

Meski kinerja UKP3R tidak mudah untuk dievaluasi oleh publik, pihak-pihak yang dipercaya memimpin UKP3R tetap harus membuktikan ketidakbenaran pandangan negatif sebagian masyarakat terhadap pembentukan UKP3R. UKP3R harus membuktikan bahwa lembaga ini bukan sekedar bentuk politik akomodasi terhadap kelompok kepentingan tertentu. Bukan pula lembaga yang hanya akan menghabiskan uang rakyat tanpa ada aksi yang bermanfaat.

Presiden Yudhoyono diharapkan juga dapat bersikap obyektif dalam menilai lembaga-lembaga “pembisik” disekitarnya. Apabila pada pelaksanaannya keberadaan UKP3R dinilai tidak efektif atau tugasnya tumpang tindih dengan lembaga “pembisik” yang lain, maka Presiden Yudhoyono harus berani mengambil sikap untuk membubarkan UKP3R atau lembaga “pembisik” yang tugasnya sama dengan UKP3R, sebelum lebih banyak lagi uang rakyat yang terbuang sia-sia.
* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Neraca Ekonomi pada tanggal 7 Nopember 2006

Thursday, November 02, 2006

Lumpuhnya Peran Negara?

oleh Ari Juliano Gema

Pada hari raya Idul Fitri kemarin, kita disuguhkan beberapa peristiwa dari berbagai daerah seputar kegiatan warga menyambut hari raya Idul Fitri tersebut. Dua peristiwa yang cukup menarik untuk dicermati adalah dua acara open house yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Pada acara open house yang diselenggarakan di kediaman pribadi Presiden SBY di Cikeas, Bogor, Presiden SBY kedatangan tamu seorang penyandang cacat dari Kendal, Jawa Tengah. Bapak tua yang datang jauh-jauh seorang diri itu, mengajukan permohonan kepada Presiden SBY agar dirinya diberikan sebuah kursi roda yang sangat dibutuhkannya. Menurut bapak tua itu, ia tak mampu membeli kursi roda sendiri karena kemiskinan yang dideritanya. Tidak beberapa lama kemudian, datanglah sebuah kursi roda yang diminta bapak tua itu. Presiden SBY juga memberikan uang saku kepada bapak tua itu untuk digunakan sebagai ongkos pulang ke tempat asalnya.

Di rumah jabatan Gubernur Sutiyoso digelar juga open house yang dihadiri berbagai kalangan warga DKI Jakarta dan sekitarnya, termasuk fakir miskin. Menurut beberapa orang fakir miskin yang datang saat itu inilah saat yang tepat untuk mendapatkan santunan dari Gubernur Sutiyoso. Namun, beberapa orang dari mereka secara terang-terangan menyatakan kekecewaannya kepada media massa yang meliput acara open house tersebut karena ternyata “santunan” yang didapat dari Gubernur Sutiyoso jumlahnya tidak sebanding dengan ongkos transportasi yang dikeluarkannya untuk datang pada acara open house tersebut.

Peran Negara

Konstitusi kita memerintahkan Negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak yang terlantar. Konstitusi juga menegaskan bahwa Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak bagi seluruh warga negara. Untuk memenuhi amanat konstitusi itu, maka Negara, melalui perangkat-perangkatnya, baik di pusat maupun di daerah, seharusnya mengerahkan segala daya upaya agar fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dapat terpelihara dengan baik, termasuk juga penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak untuk mereka.

Menjadi pertanyaan bagi kita, dimanakah keberadaan dan peran dinas sosial, baik di tingkat kabupaten atau propinsi, serta Departemen Sosial RI, ketika seorang penyandang cacat harus datang langsung kepada Presiden SBY untuk meminta kursi roda karena dirinya tidak memiliki kemampuan materi untuk membeli sendiri kursi roda itu. Apakah seorang Presiden SBY akan sanggup memenuhi apabila kemudian puluhan atau bahkan ribuan orang tidak mampu datang berbondong-bondong menemuinya pada acara open house tahun depan untuk meminta dipenuhi berbagai kebutuhan hidupnya?

Begitu pula pertanyaan yang sama dapat ditujukan untuk perangkat pemerintah DKI Jakarta yang perlu dipertanyakan keberadaan dan peranannya ketika masih ada warga DKI Jakarta yang termasuk golongan fakir miskin masih berharap mendapatkan santunan langsung dari gubernurnya. Apakah tidak ada instansi di lingkungan pemerintah DKI Jakarta yang bertanggung jawab memberikan santunan kepada fakir miskin?

Bahan Introspeksi

Meski niat baik dari Presiden SBY dan Gubernur Sutiyoso tidak perlu diragukan lagi, namun sepertinya dua peristiwa di atas harus menjadi bahan introspeksi bagi Presiden SBY sebagai Kepala Negara serta gubernur/kepala daerah lainnya. Kinerja perangkat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya fakir miskin, jelas harus dievaluasi.

Tidaklah mungkin cara-cara pemberian bantuan atau santunan secara langsung seperti dua peristiwa di atas dapat dianggap sebagai cara yang paling efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, apalagi jika hal itu dianggap telah sesuai dengan amanat konstitusi. Selain terkesan bersifat seremonial semata, bantuan atau santunan yang diberikan itu belum tentu sampai kepada pihak yang benar-benar membutuhkannya.

Sudah waktunya pemerintah pusat dan daerah memikirkan mekanisme yang ideal dalam memberikan pelayanan kepada fakir miskin dan anak-anak yang terlantar, termasuk penyandang cacat, agar mereka terpelihara dengan baik sesuai dengan amanat konstitusi. Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum bagi fakir miskin dan anak terlantar, termasuk penyandang cacat, jelas harus menjadi perhatian.
Apabila pada acara open house tahun depan ternyata masih ada fakir miskin yang datang untuk meminta bantuan atau santunan langsung kepada Presiden SBY atau gubernur/kepala daerah lainnya, maka peran perangkat Negara akan kembali menjadi pertanyaan. Jangan-jangan peran Negara dalam memberikan pelayanan kepada fakir miskin dan anak terlantar, termasuk penyandang cacat, memang benar-benar sudah lumpuh tak berdaya.