Seputar Masalah Penunjukan Langsung dalam Pengadaan Barang/Jasa untuk Pemerintah
Oleh Ari Juliano Gema
Seru juga membaca berita “perseteruan” Menteri Negara/Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Taufikurrahman Ruki di beberapa media massa saat ini. Setelah Yusril diperiksa KPK sebagai saksi dalam pengadaan Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) yang dilakukan dengan penunjukan langsung, Yusril mengadukan Taufikurrahman ke KPK berkaitan dengan pengadaan peralatan sadap di KPK yang juga dilakukan dengan penunjukan langsung.
Pengadaan AFIS itu, menurut Yusril yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, dilakukan dengan penunjukan langsung karena dana untuk pengadaan alat AFIS yang dianggarkan pada Anggaran Belanja Tambahan Depkumham tahun 2004 baru cair pada Nopember 2004, sedangkan laporannya harus dilakukan minggu ketiga Desember 2004. Oleh karena itu, tidak mungkin pengadaan AFIS dilakukan melalui pelelangan umum yang mungkin memakan waktu lebih dari 50 hari. Apabila pengadaan AFIS itu dipermasalahkan oleh KPK, maka Yusril berpendapat pengadaan peralatan sadap di KPK yang dilakukan dengan penunjukan langsung juga harus turut diperiksa.
Penunjukan Langsung
Saya tidak tertarik untuk menjadi “hakim” bagi “perseteruan” antara Yusril dan Taufikkurahman. Saya lebih tertarik untuk menyoroti metode penunjukan langsung sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 80/2003) yang merupakan pokok persoalan “perseteruan” dua pejabat itu.
Menurut Keppres No. 80/2003, metode pemilihan penyedia barang/jasa untuk pemerintah itu ada 4 macam, yaitu (i) pelelangan umum; (ii) pelelangan terbatas; (iii) pemilihan langsung; dan (iv) penunjukan langsung. Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.
Apabila penyedia barang/jasa itu diyakini terbatas jumlahnya, maka dilakukan dengan metode pelelangan terbatas yaitu dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu pada pengumuman pengadaan barang/jasa tersebut. Dalam hal metode pelelangan umum atau terbatas itu dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan, maka metode pemilihan dilakukan dengan pemilihan langsung. Pemilihan langsung dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa.
Metode penunjukan langsung dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus dengan cara melakukan negosiasi, baik teknis maupun biaya, terhadap 1 penyedia barang/jasa, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Keppres No. 80/2003, yang dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu: (i) penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda, atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam; dan/atau (ii) pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamananan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau (iii) pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50 juta.
Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan khusus, yaitu: (i) pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; (ii) pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; (iii) pekerjaan yang merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau (iv) pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan/atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.
Tiga Masalah
Saya melihat setidaknya ada tiga masalah besar seputar pengaturan metode penunjukan langsung itu, yaitu, pertama, dalam Keppres No. 80/2003 itu tidak jelas apakah pejabat yang memiliki kewenangan tertinggi di suatu instansi pemerintah berwenang untuk menentukan apakah suatu pengadaan barang/jasa dapat dilakukan dengan metode penunjukan langsung. Ketidakjelasan ini menimbulkan perbedaan tindakan, seperti tindakan Yusril yang langsung memberikan ijin prinsip untuk melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan AFIS di Depkumham, dan tindakan Taufikkurahman yang meminta persetujuan terlebih dahulu dari Presiden sebelum melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan peralatan sadap di KPK.
Kedua, tidak jelas kriteria keadaan tertentu yang diatur dalam Keppres No. 80/2003. Misalnya, seberapa darurat suatu keadaan sehingga dapat masuk dalam kriteria keadaan tertentu. Kemudian, apakah sudah ada daftar pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan Negara, atau apakah pekerjaan itu akan ditetapkan oleh Presiden secara kasus per-kasus. Ketiga, penunjukan langsung rentan terhadap isu mark-up harga karena tidak ada pembanding langsung terhadap penyedia barang/jasa yang ditunjuk.
Seru juga membaca berita “perseteruan” Menteri Negara/Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Taufikurrahman Ruki di beberapa media massa saat ini. Setelah Yusril diperiksa KPK sebagai saksi dalam pengadaan Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) yang dilakukan dengan penunjukan langsung, Yusril mengadukan Taufikurrahman ke KPK berkaitan dengan pengadaan peralatan sadap di KPK yang juga dilakukan dengan penunjukan langsung.
Pengadaan AFIS itu, menurut Yusril yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, dilakukan dengan penunjukan langsung karena dana untuk pengadaan alat AFIS yang dianggarkan pada Anggaran Belanja Tambahan Depkumham tahun 2004 baru cair pada Nopember 2004, sedangkan laporannya harus dilakukan minggu ketiga Desember 2004. Oleh karena itu, tidak mungkin pengadaan AFIS dilakukan melalui pelelangan umum yang mungkin memakan waktu lebih dari 50 hari. Apabila pengadaan AFIS itu dipermasalahkan oleh KPK, maka Yusril berpendapat pengadaan peralatan sadap di KPK yang dilakukan dengan penunjukan langsung juga harus turut diperiksa.
Penunjukan Langsung
Saya tidak tertarik untuk menjadi “hakim” bagi “perseteruan” antara Yusril dan Taufikkurahman. Saya lebih tertarik untuk menyoroti metode penunjukan langsung sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 80/2003) yang merupakan pokok persoalan “perseteruan” dua pejabat itu.
Menurut Keppres No. 80/2003, metode pemilihan penyedia barang/jasa untuk pemerintah itu ada 4 macam, yaitu (i) pelelangan umum; (ii) pelelangan terbatas; (iii) pemilihan langsung; dan (iv) penunjukan langsung. Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.
Apabila penyedia barang/jasa itu diyakini terbatas jumlahnya, maka dilakukan dengan metode pelelangan terbatas yaitu dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu pada pengumuman pengadaan barang/jasa tersebut. Dalam hal metode pelelangan umum atau terbatas itu dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan, maka metode pemilihan dilakukan dengan pemilihan langsung. Pemilihan langsung dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa.
Metode penunjukan langsung dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus dengan cara melakukan negosiasi, baik teknis maupun biaya, terhadap 1 penyedia barang/jasa, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Keppres No. 80/2003, yang dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu: (i) penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda, atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam; dan/atau (ii) pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamananan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau (iii) pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50 juta.
Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan khusus, yaitu: (i) pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; (ii) pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; (iii) pekerjaan yang merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau (iv) pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan/atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.
Tiga Masalah
Saya melihat setidaknya ada tiga masalah besar seputar pengaturan metode penunjukan langsung itu, yaitu, pertama, dalam Keppres No. 80/2003 itu tidak jelas apakah pejabat yang memiliki kewenangan tertinggi di suatu instansi pemerintah berwenang untuk menentukan apakah suatu pengadaan barang/jasa dapat dilakukan dengan metode penunjukan langsung. Ketidakjelasan ini menimbulkan perbedaan tindakan, seperti tindakan Yusril yang langsung memberikan ijin prinsip untuk melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan AFIS di Depkumham, dan tindakan Taufikkurahman yang meminta persetujuan terlebih dahulu dari Presiden sebelum melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan peralatan sadap di KPK.
Kedua, tidak jelas kriteria keadaan tertentu yang diatur dalam Keppres No. 80/2003. Misalnya, seberapa darurat suatu keadaan sehingga dapat masuk dalam kriteria keadaan tertentu. Kemudian, apakah sudah ada daftar pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan Negara, atau apakah pekerjaan itu akan ditetapkan oleh Presiden secara kasus per-kasus. Ketiga, penunjukan langsung rentan terhadap isu mark-up harga karena tidak ada pembanding langsung terhadap penyedia barang/jasa yang ditunjuk.
Apabila tiga masalah tersebut tidak dicarikan solusinya, maka saya tidak akan terkejut apabila dikemudian hari ada banyak pejabat yang terjerat masalah hukum akibat metode penunjukan langsung yang dilakukannya. Sayang sekali kalau ada pengadaan barang/jasa yang benar-benar membutuhkan metode penunjukan langsung, namun karena ketidakjelasan pengaturannya dalam Keppres No. 80/2003 itu maka pejabat yang berwenang takut untuk menggunakan metode tersebut.