Tuesday, February 27, 2007

Seputar Masalah Penunjukan Langsung dalam Pengadaan Barang/Jasa untuk Pemerintah

Oleh Ari Juliano Gema

Seru juga membaca berita “perseteruan” Menteri Negara/Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Taufikurrahman Ruki di beberapa media massa saat ini. Setelah Yusril diperiksa KPK sebagai saksi dalam pengadaan Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) yang dilakukan dengan penunjukan langsung, Yusril mengadukan Taufikurrahman ke KPK berkaitan dengan pengadaan peralatan sadap di KPK yang juga dilakukan dengan penunjukan langsung.

Pengadaan AFIS itu, menurut Yusril yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, dilakukan dengan penunjukan langsung karena dana untuk pengadaan alat AFIS yang dianggarkan pada Anggaran Belanja Tambahan Depkumham tahun 2004 baru cair pada Nopember 2004, sedangkan laporannya harus dilakukan minggu ketiga Desember 2004. Oleh karena itu, tidak mungkin pengadaan AFIS dilakukan melalui pelelangan umum yang mungkin memakan waktu lebih dari 50 hari. Apabila pengadaan AFIS itu dipermasalahkan oleh KPK, maka Yusril berpendapat pengadaan peralatan sadap di KPK yang dilakukan dengan penunjukan langsung juga harus turut diperiksa.

Penunjukan Langsung

Saya tidak tertarik untuk menjadi “hakim” bagi “perseteruan” antara Yusril dan Taufikkurahman. Saya lebih tertarik untuk menyoroti metode penunjukan langsung sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 80/2003) yang merupakan pokok persoalan “perseteruan” dua pejabat itu.

Menurut Keppres No. 80/2003, metode pemilihan penyedia barang/jasa untuk pemerintah itu ada 4 macam, yaitu (i) pelelangan umum; (ii) pelelangan terbatas; (iii) pemilihan langsung; dan (iv) penunjukan langsung. Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.

Apabila penyedia barang/jasa itu diyakini terbatas jumlahnya, maka dilakukan dengan metode pelelangan terbatas yaitu dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu pada pengumuman pengadaan barang/jasa tersebut. Dalam hal metode pelelangan umum atau terbatas itu dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan, maka metode pemilihan dilakukan dengan pemilihan langsung. Pemilihan langsung dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa.

Metode penunjukan langsung dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus dengan cara melakukan negosiasi, baik teknis maupun biaya, terhadap 1 penyedia barang/jasa, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Keppres No. 80/2003, yang dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu: (i) penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda, atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam; dan/atau (ii) pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamananan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau (iii) pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50 juta.

Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan khusus, yaitu: (i) pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; (ii) pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; (iii) pekerjaan yang merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau (iv) pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan/atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.

Tiga Masalah

Saya melihat setidaknya ada tiga masalah besar seputar pengaturan metode penunjukan langsung itu, yaitu, pertama, dalam Keppres No. 80/2003 itu tidak jelas apakah pejabat yang memiliki kewenangan tertinggi di suatu instansi pemerintah berwenang untuk menentukan apakah suatu pengadaan barang/jasa dapat dilakukan dengan metode penunjukan langsung. Ketidakjelasan ini menimbulkan perbedaan tindakan, seperti tindakan Yusril yang langsung memberikan ijin prinsip untuk melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan AFIS di Depkumham, dan tindakan Taufikkurahman yang meminta persetujuan terlebih dahulu dari Presiden sebelum melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan peralatan sadap di KPK.

Kedua, tidak jelas kriteria keadaan tertentu yang diatur dalam Keppres No. 80/2003. Misalnya, seberapa darurat suatu keadaan sehingga dapat masuk dalam kriteria keadaan tertentu. Kemudian, apakah sudah ada daftar pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan Negara, atau apakah pekerjaan itu akan ditetapkan oleh Presiden secara kasus per-kasus. Ketiga, penunjukan langsung rentan terhadap isu mark-up harga karena tidak ada pembanding langsung terhadap penyedia barang/jasa yang ditunjuk.
Apabila tiga masalah tersebut tidak dicarikan solusinya, maka saya tidak akan terkejut apabila dikemudian hari ada banyak pejabat yang terjerat masalah hukum akibat metode penunjukan langsung yang dilakukannya. Sayang sekali kalau ada pengadaan barang/jasa yang benar-benar membutuhkan metode penunjukan langsung, namun karena ketidakjelasan pengaturannya dalam Keppres No. 80/2003 itu maka pejabat yang berwenang takut untuk menggunakan metode tersebut.

Monday, February 19, 2007

Virus H5N1, MTA dan Baxter

oleh Ari Juliano Gema

Saya membaca berita diberbagai media katanya Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menolak untuk mengirimkan spesimen virus flu burung atau Virus H5N1 asal Indonesia kepada World Health Organization (WHO) ataupun negara lain yang ingin menelitinya. Alasannya, Ibu Menteri khawatir kalau dari Virus H5N1 yang dikirim kepada WHO atau negara lain itu nantinya berhasil dibuat vaksin, vaksin itu akan dijual ke Indonesia dengan harga yang tidak terjangkau oleh masyarakat Indonesia.

Untuk itu, menurut Ibu Menteri, Indonesia hanya mau mengirimkan spesimen Virus H5N1 itu apabila pengirimannya dilengkapi dengan material transfer agreement (MTA). Dengan adanya MTA itu, maka WHO ataupun negara penerima spesimen virus itu hanya akan diberikan hak menggunakannya untuk kegiatan penelitian, dan tidak untuk dikomersilkan.

Tentang MTA

Pada dasarnya, saya sependapat dengan pendirian Indonesia seperti yang disampaikan oleh Ibu Menteri. Alasan yang dikemukakan Ibu Menteri itu sudah sejalan dengan kebijakan penelitian dan pengembangan nasional sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sislitbangnas). Dalam UU itu diatur bahwa kerjasama internasional dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilaksanakan atas dasar persamaan kedudukan yang saling menguntungkan dengan tidak merugikan kepentingan nasional.

Syarat yang diajukan pemerintah Indonesia untuk menyertakan MTA apabila WHO atau negara lain ingin mendapatkan spesimen Virus H5N1 adalah hal yang wajar. Seharusnya WHO ataupun negara lain tidak perlu mempermasalahkan hal itu kalau memang penggunaan spesimen virus itu benar-benar untuk penelitian semata.

MTA sudah biasa digunakan sebagai kesepakatan antara dua organisasi yang mengatur pengalihan bahan riset (research materials), dimana organisasi penerima berniat menggunakan bahan riset itu untuk keperluan penelitiannya. MTA mengatur hak dan kewajiban dari organisasi pemberi dan organisasi penerima atas bahan riset itu.

Ada beberapa isu penting yang biasanya diatur dalam MTA, yaitu, pertama, masalah kerahasiaan (confidentiality) segala informasi berkaitan dengan bahan riset. Para pihak wajib memperhatikan ketentuan mengenai kerahasiaan ini apabila bermaksud mempublikasikan bahan riset maupun hasil penelitian atas bahan riset tersebut. Hal ini penting apabila para pihak bermaksud mendapatkan paten atas hasil penelitian tersebut. Apabila hasil penelitian itu dipublikasikan tanpa memperhatikan ketentuan tentang paten, maka bisa jadi hal itu akan mengurangi unsur kebaruan (novelty) dari hasil penelitian itu yang merupakan salah satu syarat suatu invensi dapat didaftarkan sebagai paten.

Kedua, apakah bahan riset itu boleh diberikan juga kepada pihak lain yang terafiliasi. Biasanya, suatu lembaga penelitian berafiliasi dengan lembaga penelitian lain dalam melakukan suatu penelitian, karena mungkin adanya keterbatasan fasilitas penelitian atau sumber daya manusia. Ketiga, definisi dari bahan riset yang dialihkan itu harus jelas, apakah meliputi juga modifikasi atau pengembangan dari bahan riset itu. Apabila organisasi pemberi mengklaim kepemilikan atas modifikasi atau pengembangan dari bahan riset itu, maka organisasi pemberi dapat memiliki juga hasil penelitian yang dilakukan oleh organisasi penerima atas bahan riset itu.

Keempat, hak kekayaan intelektual (HKI) yang mungkin timbul dari hasil penelitian itu harus jelas dimiliki oleh siapa. Hal ini penting agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari berkenaan dengan kepemilikan HKI atas hasil penelitian tersebut. Kelima, biasanya suatu penelitian membutuhkan beberapa bahan riset dari beberapa organisasi pemberi berdasarkan beberapa MTA, oleh karena itu perlu berhati-hati dalam pengaturan pada masing-masing MTA agar tidak terjadi konflik antara satu MTA dengan MTA yang lain.

MoU Depkes RI - Baxter

Menurut siaran pers yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI), pada tanggal 7 Pebruari 2007 telah ditandatatangani Nota Kesepahaman (MoU) antara Depkes RI cq. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) dan Baxter Healthcare SA (afiliasi dari Baxter International Inc. USA), sebuah perusahaan dibidang penelitian, pengembangan dan pembuatan vaksin. Dalam MoU itu diatur bahwa Balitbangkes akan menyediakan spesimen Virus H5N1 dan Baxter akan melakukan alih teknologi yang meliputi formula, pengisian dan penyelesaian vaksin flu burung kepada Balitbangkes.

Dalam MoU itu juga diatur bahwa Indonesia akan mempunyai hak untuk memproduksi dan memasarkan vaksin flu burung itu di seluruh Indonesia dan mengekspornya ke negara lain. Produksi vaksin flu burung itu akan dilakukan dengan mitra produsen vaksin Indonesia yang ditunjuk oleh Depkes RI. Depkes RI memilih Baxter sebagai mitra kerjasama penelitian karena pengalaman yang dimiliki Baxter. Pada awal tahun 2006, Baxter berhasil mengembangkan vaksin flu burung dengan menggunakan virus flu burung yang berasal dari Vietnam.
Saya berharap dalam kerjasama dengan Baxter itu kepemilikan HKI atas hasil penelitian tersebut berada di tangan Pemerintah RI. Percuma saja apabila Pemerintah RI diperbolehkan untuk melakukan segala hal atas hasil penelitian itu, namun HKI-nya dimiliki oleh Baxter. Dengan HKI ditangan Baxter, Baxter akan punya kekuasaan lebih besar untuk mengeksploitasi hasil penelitian itu secara komersil. Bahkan mungkin saja suatu hari nanti Baxter akan menghentikan segala hak yang diberikan kepada Pemerintah RI berkaitan dengan hasil penelitian tersebut apabila hal ini tidak diperjanjikan dengan baik.

Sunday, February 11, 2007

Banjir, Listrik Alternatif dan Informasi Publik

oleh Ari Juliano Gema

Kata orang, Jakarta adalah kota serba ada. Bahkan empang raksasa, Jakarta juga punya. Tidak percaya? Coba lihat kota Jakarta dari udara beberapa hari yang lalu, ketika banjir besar melanda ibukota kita tercinta. Percayalah, saat itu kota Jakarta tampak seperti sebuah empang raksasa.

Saya sendiri turut merasakan dampak banjir tersebut. Meski rumah saya selamat dari genangan air, namun sebagian besar rumah di komplek perumahan saya tergenang air cukup tinggi. Saat itu, PLN pun memutuskan aliran listrik di komplek saya. Walhasil, kami sekeluarga harus tidur selama dua malam hanya dengan penerangan lilin.

Listrik Alternatif

Saat “menikmati” padamnya aliran listrik itu, ada pertanyaan yang mengganjal di pikiran saya. Ketika sambungan telepon dari Telkom tidak berfungsi, saya masih bisa menggunakan telepon selular. Ketika jetpump sedang tidak bisa menyedot air, saya masih bisa menggunakan pompa tangan. Kalaupun tidak ada pompa tangan, masih bisa minta air ke tetangga. Tapi kalau listrik sedang padam, apa yang bisa saya lakukan?

Mengupayakan tenaga listrik secara mandiri jelas bukan alternatif yang mudah dan murah. Seperti menggunakan genset misalnya. Disamping menimbulkan asap dan kebisingan yang mengganggu, genset juga membutuhkan bahan bakar minyak yang mungkin akan sulit didapat ketika dalam keadaan darurat. Belum lagi lamanya pasokan tenaga listrik dari genset sangat tergantung dari ketersediaan bahan bakarnya.

Kalau dalam bertelekomunikasi saja konsumen punya alternatif pilihan, bukankah dalam mendapatkan tenaga listrik seharusnya konsumen juga punya alternatif pilihan? Menurut UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan), selain PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan, pemerintah sebenarnya juga dapat memberikan kesempatan kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (IUKU) maupun Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri (IUKS).

Namun yang perlu dicatat adalah pemerintah hanya akan memberikan IUKU di suatu wilayah tertentu kepada koperasi atau badan usaha lain apabila: (i) pada wilayah tersebut belum dijangkau oleh layanan PLN atau pemegang IUKU lainnya; atau (ii) PLN atau pemegang IUKU yang telah ada tidak dapat menyediakan tenaga listrik dengan tingkat mutu dan keandalan terbaik. Sedangkan untuk IUKS, pemerintah hanya dapat memberikannya apabila: (i) PLN atau pemegang IUKU tersebut nyata-nyata belum dapat menyediakan tenaga listrik dengan mutu dan keandalan yang baik atau belum dapat menjangkau seluruh daerah usahanya; atau (ii) pemohon IUKS dapat menyediakan listrik secara lebih ekonomis. Untuk penyediaan tenaga listrik secara mandiri yang kapasitasnya tidak lebih besar dari 200 kVA, tidak memerlukan IUKS.

Pada prakteknya, PLN memang kesulitan untuk melayani kebutuhan listrik di berbagai pelosok pedesaan. Nilai investasi yang besar tanpa diimbangi pendapatan yang sesuai adalah alasan yang dikemukakan PLN dalam mengembangkan listrik di pelosok pedesaan tersebut. Sebagai contoh, menurut data tahun 2004, dari seluruh pedesaan di Kabupaten Garut terdapat sekitar 90% yang belum teraliri listrik. Oleh karena itu, didirikanlah Warung Listrik Tenaga Matahari (Warlista), suatu perusahaan di Garut yang bermitra dengan PLN, untuk memasok kebutuhan tenaga listrik di pedesaan tersebut dengan memanfaatkan tenaga matahari. Bagi perusahaan yang punya kepentingan untuk mendapatkan pasokan tenaga listrik yang stabil jelas lebih memilih untuk mengupayakan pasokan tenaga listrik secara mandiri dengan mengantongi IUKS ketimbang bergantung pada pasokan tenaga listrik dari PLN.

Dari hal di atas, telah jelas bahwa kebijakan ketenagalistrikan di Negara kita hanya memungkinkan adanya layanan listrik alternatif apabila layanan PLN belum menjangkau daerah kita. Sehingga apabila listrik padam akibat bencana, bagi kita yang punya keterbatasan ekonomi sepertinya harus bisa nrimo.

Informasi Publik

Bencana banjir beberapa waktu lalu juga menyebabkan gangguan transportasi di ibukota. Banyak cerita dari kawan-kawan yang terjebak kemacetan karena banyak ruas jalan yang tergenang air. Ada juga kawan-kawan yang berniat pergi ke kantor namun akhirnya harus kembali pulang karena banyak ruas jalan yang tidak dapat dilalui akibat genangan air yang cukup tinggi. Mereka bisa terjebak dalam keadaan tersebut jelas karena kurangnya informasi mengenai keadaan jalan pada saat itu.

Gemas rasanya membaca suatu artikel di harian Kompas (05/02/07) yang menyampaikan fakta bahwa saat ini telah ada kamera video yang jumlahnya hampir 200 unit, termasuk yang berbasis jaringan internet protocol, yang terpasang di beberapa ruas jalan di Jakarta. Ironisnya, hasil pantauan kamera video milik instansi pemerintah tersebut tidak dapat diakses dengan mudah oleh publik. Padahal pengadaan infrastrukturnya jelas dibiayai dari pajak masyarakat. Bahkan secara terang-terangan hasil pantauan kamera video itu dikomersilkan sebagai bagian dari layanan operator telekomunikasi dan lembaga penyiaran swasta.
Seandainya saja RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) telah disahkan, mungkin keadaan menjadi lain. Padahal RUU itu sudah sejak tahun 2000 dibahas di DPR namun sampai saat ini belum ketahuan hasilnya. RUU KMIP penting karena memberikan jaminan atas hak setiap orang untuk memperoleh informasi yang dihasilkan, disimpan atau dikelola oleh penyelenggara negara. Dengan begitu, penyelenggara negara tidak bisa lagi sewenang-wenang mengkomersilkan informasi publik yang seharusnya dapat diakses dengan mudah dan gratis oleh masyarakat luas.

Thursday, February 01, 2007

Stiglitz, Politik HKI Amerika Serikat dan Posisi Indonesia

oleh Ari Juliano Gema

Menarik apabila menyimak pemikiran Joseph E. Stiglitz dalam bukunya yang berjudul The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade. Buku ini pada pokoknya berisi kritik terhadap cara kerja ekonomi pasar/kapitalis melalui peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Amerika Serikat (AS) pada tahun ‘90-an.

Pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001 yang pernah menjadi anggota Dewan Penasehat Ekonomi pada pemerintahan Presiden Bill Clinton (1995-1997) serta pernah menjabat sebagai Senior Vice President dan Chief Economist di World Bank (1997-2000) ini tanpa tedeng aling-aling membongkar borok-borok kebijakan kapitalis ala AS, yang tidak hanya berdampak pada AS tapi juga pada negara-negara berkembang, berdasarkan pengamatan dan pengalamannya. Dengan memaparkan visinya mengenai perimbangan peran antara pasar dan pemerintah, Stiglitz menunjukkan bahwa dengan tidak mencontoh apa yang sudah terjadi di AS, negara-negara lain bisa mencapai perekonomian yang lebih sehat serta tata masyarakat yang lebih adil dan berdaulat, sehingga warganya tidak menjadi bulan-bulanan belaka dalam persekongkolan antara dunia bisnis dan politik.

Politik HKI Amerika Serikat

Saya tertarik pada bagian buku yang membahas tentang upaya pemerintah AS dalam memperjuangkan hak kekayaan intelektual (HKI) pada setiap kesepakatan dagang internasional. Pada perundingan multilateral General Agreement on Tariffs and Trade, misalnya, atas desakan perusahaan-perusahaan farmasi di AS, pemerintah AS bersikeras agar perlindungan HKI diterapkan seketat mungkin. Perusahaan-perusahaan farmasi itu percaya bahwa makin ketat perlindungan HKI atas produk mereka, makin tinggi laba mereka, yang pada gilirannya akan memberikan pemasukan yang tinggi pula bagi pemerintah AS.

Stiglitz menentang langkah pemerintah AS itu karena kuatir bahwa perlindungan HKI yang ketat itu bisa mengakibatkan mahalnya harga obat di negara-negara berkembang, yang akan merugikan warga miskin yang jatuh sakit. Dia menganggap bahwa apabila kesepakatan mengenai perlindungan HKI yang diusulkan AS itu ditandatangani, maka sesungguhnya yang sedang ditandatangani adalah akta kematian ribuan orang di negara-negara berkembang yang akan kehilangan obat-obatan penyambung nyawa.

Dalam buku ini juga diungkapkan bahwa banyak pihak telah mengemukakan ironi bahwa selama pertumbuhan pesat ekonomi dan industrialisasi di AS pada abad ke-19, AS sendiri justru banyak digugat karena telah mencuri HKI dari Eropa. Stiglitz mengemukakan fakta bahwa warga non-AS tidak diberi perlindungan paten sampai tahun 1836. Setelah AS berhasil mencapai kemajuan dari pemanfaatan paten milik warga non-AS yang tidak terlindungi itu, sekarang malah AS berupaya sekeras mungkin melindungi paten milik warganya agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain.

Pada tahun ’90-an banyak muncul gugatan terhadap perusahaan-perusahaan AS atas dugaan pembajakan hayati (biopiracy) berkenaan dengan pendaftaran paten obat dan makanan tradisional dari negara-negara berkembang. Dengan paten ini, mereka mengenakan biaya kepada negara-negara berkembang atas pemanfaatan obat dan makanan tradisional yang sesungguhnya sudah dikenal dan dimanfaatkan di negara-negara berkembang itu sejak zaman dahulu kala.

Kasus yang paling terkenal berkaitan dengan biopiracy itu adalah kasus yang melibatkan Texas RiceTec, Inc., yang menerima paten atas galur dan biji padi basmati, yang selama berabad-abad telah ditanam oleh petani Punjab di wilayah India dan Pakistan. Dalam kasus ini, karena protes internasional, termasuk tekanan dari pemerintah India, akhirnya membuat perusahaan itu mencabut seluruh klaimnya atas paten yang diterimanya tersebut. Namun demikian, pertarungan hukum ini membutuhkan biaya besar, dan otomatis merugikan negara berkembang.

Posisi Indonesia

Pemerintah RI sebenarnya sudah punya seperangkat peraturan yang baik untuk melindungi kepentingan warga negara dari pelaksanaan paten yang lebih berpihak pada perusahaan-perusahaan farmasi. Salah satu ketentuan dalam UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten) menjelaskan bahwa apabila pemerintah berpendapat suatu paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan. Ketentuan UU Paten itu kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah (PP No. 27/2004).

Berdasarkan ketentuan UU Paten dan PP No. 27/2004 itu, pemerintah RI pernah melaksanakan sendiri paten atas obat-obatan anti retroviral yang sangat berguna dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS. Hal ini memberikan hak kepada pemerintah RI untuk memproduksi atau memberikan lisensi kepada pihak lain untuk memproduksi obat-obatan dengan jenis Nevirapin selama 7 tahun dan Lamivudin selama 8 tahun terhitung sejak 5 Oktober 2004. Boehringer Ingelheim dan Biochem Pharma Inc. sebagai pemegang paten obat-obatan itu diberikan imbalan sebesar 0,5% dari nilai jual netto-nya.

Dengan demikian, dalam menerapkan sistem HKI di Indonesia, pemerintah RI tidak perlu takut untuk bertindak pro-rakyat apabila memang terdapat kebutuhan yang mendesak untuk kepentingan masyarakat. Dengan adanya ketentuan UU Paten itu, pemerintah RI seharusnya dapat berbuat lebih banyak untuk menangani masalah langkanya obat-obatan bagi para pengungsi di daerah bencana akibat tingginya harga obat di sana, serta penyediaan obat-obatan untuk menanggulangi epidemi flu burung.

Disamping itu, pemerintah juga harus serius dalam melindungi keanekaragaman hayati (biodiversity) di tanah air. Pemerintah perlu berhati-hati dan secara cermat mengawasi setiap bentuk kerjasama pengelolaan dan pengembangan biodiversity dengan pihak asing, sehingga hasil pengembangan biodiversity itu tidak hanya dinikmati pihak asing tapi juga dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.