Tuesday, January 27, 2009

Fatwa MUI, Hak Pilih dan Informasi Caleg

oleh Ari Juliano Gema

Pada tanggal 25 Januari 2009 lalu, Sidang Pleno Ijtima Ulama se-Indonesia III menetapkan sebuah fatwa mengenai penggunaan hak pilih dalam pemilu. Pada pokoknya, fatwa tersebut menetapkan bahwa memilih calon wakil rakyat yang memenuhi syarat ideal adalah wajib hukumnya. Menurut H. Sholahuddin al-Aiyub, ulama yang menyampaikan hasil sidang komisi yang membahas fatwa itu, syarat ideal yang harus dipenuhi seorang wakil rakyat adalah beriman, bertaqwa, jujur terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan dan memperjuangkan kepentingan umat Islam (Inilah.com, 26/01/09).

Fatwa tersebut juga menentukan bahwa haram hukumnya apabila memilih calon wakil rakyat yang tidak memenuhi syarat ideal tersebut. Haram juga hukumnya apabila pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu padahal ada calon wakil rakyat yang memenuhi syarat ideal tersebut.

Peran MUI

Saat tulisan ini dibuat, saya belum membaca isi keseluruhan fatwa tersebut karena belum mendapatkan salinan lengkapnya. Namun, saya dapat memahami mengapa fatwa itu diterbitkan dalam Sidang Pleno Ijtima Ulama se-Indonesia III yang digagas Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu. Ada indikasi meningkatnya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti alias ”golput”.

Dalam ”PIAGAM BERDIRINYA MUI” yang ditandatangani pada tanggal 26 Juli 1975 oleh 26 orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI, serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan, telah dirumuskan juga fungsi dan peran utama MUI. Salah satu peran utama MUI adalah menerbitkan fatwa dalam rangka memberikan bimbingan dan tuntunan umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.

Oleh karena itu, tidak salah apabila MUI merasa perlu memberikan bimbingan kepada umat dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti melalui fatwa tersebut. Namun, perlu diingat bahwa fatwa MUI bukanlah salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia yang dapat memberikan sanksi langsung kepada pelanggarnya. Oleh karena itu, dipatuhi atau tidaknya fatwa tersebut tergantung pada keyakinan dari masing-masing pribadi.

Meski tidak ada fatwa tersebut, saya pribadi akan tetap menggunakan hak pilih saya dalam pemilu nanti. Alasannya sederhana. Pertama, meski tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menggunakan hak pilihnya, namun hak pilih yang kita miliki sebagai warga negara wajib kita syukuri. Bandingkan dengan kesulitan warga negara di beberapa negara benua Afrika dalam menggunakan hak pilihnya. Karena alasan ekonomi dan politik, sulit sekali menyelenggarakan pemilu di sana. Kalaupun pemilu berhasil diselenggarakan, dalam waktu yang tidak terlalu lama biasanya akan ada pemberontakan atau huru hara yang dilancarkan pihak yang kalah dalam pemilu.

Kedua, pemilu adalah saat yang tepat untuk ”menghukum” atau memberikan ”penghargaan” kepada partai politik yang berkuasa. Perhatikan saja hasil perolehan kursi DPR partai politik peserta pemilu pada Pemilu 1999 dan 2004. Bagi partai politik yang kinerjanya dianggap mengecewakan, terjadi penurunan jumlah perolehan kursi DPR. Sedangkan partai politik yang kinerjanya dianggap baik, terjadi kenaikan jumlah perolehan kursi DPR. Ini menunjukkan sistem ”reward and punishment” dapat diterapkan apabila hak pilih dipergunakan secara rasional.

Informasi Caleg

Sayangnya, UU Pemilu tidak mewajibkan caleg atau partai politiknya mengumumkan informasi lengkap mengenai caleg yang bersangkutan, yang setidak-tidaknya meliputi latar belakang pendidikan, pekerjaan dan pengalaman organisasi serta aktifitas sosial yang relevan lainnya. Hal ini tentu akan menyulitkan para pemilih yang mematuhi fatwa MUI itu untuk mengetahui apakah seorang caleg telah memenuhi syarat ideal yang ditentukan fatwa MUI tersebut.
Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum seharusnya berani membuat peraturan yang mewajibkan partai politik mengumumkan secara terbuka informasi lengkap mengenai calegnya tersebut. Hal ini penting bagi pemilih, baik terkait dengan adanya fatwa MUI itu atau tidak, agar memperoleh informasi yang memadai sebelum menggunakan hak pilihnya.

Labels: , , , , , ,

Monday, January 19, 2009

Kenapa Bekas Napi Tidak Bisa Jadi Bupati?

oleh Ari Juliano Gema

Tulisan ini sebenarnya masih berkaitan dengan tulisan saya yang lalu mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Bengkulu Selatan. Inti putusannya, MK memerintahkan Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan diulang dengan mengikutsertakan seluruh calon kepala daerah, kecuali pasangan Dirwan Mahmud – Hartawan. MK berpendapat bahwa Dirwan Mahmud terbukti pernah menjalani pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, sehingga secara administratif tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai calon kepala daerah.

Dalam tulisan yang lalu, saya mengkritik putusan MK tersebut karena dibuat di luar kewenangannya dalam menangani sengketa Pilkada. Seharusnya MK hanya mengadili hasil penghitungan suara saja, dan tidak termasuk mengadili masalah persyaratan administratif calon kepala daerah. MK seharusnya memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa bahwa masalah persyaratan administratif lebih baik diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, dan bukan malah mengadili sendiri.

Persyaratan Bermasalah

Terlepas dari putusan MK tersebut, saya mencoba menelaah persyaratan administratif calon kepala daerah yang dipermasalahkan tersebut, yaitu tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Saya merasa persyaratan itu tidak adil bagi warga negara yang ingin mengabdi sebagai kepala daerah, namun pernah menjalani pidana penjara. Kenapa?

Pertama, seseorang yang pernah dipenjara di lembaga pemasyarakatan (Lapas) tentu sudah menjalani program pembinaan yang diterapkan di Lapas dalam rangka membina narapidana tersebut agar dapat kembali menjadi warga negara yang baik. Persyaratan administratif yang melarang mantan narapidana untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah dapat diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap sistem pembinaan di Lapas. Lalu, untuk apa ada Lapas dengan program pembinaannya itu?

Kedua, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang termasuk tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun itu bukan hanya pembunuhan saja, tapi juga kejahatan terhadap keamanan negara atau sering disebut makar. Karena begitu luasnya cakupan pasal-pasal tentang makar ini, maka pasal-pasal itu bisa saja digunakan oleh pemerintah terhadap orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Dengan adanya persyaratan administratif tersebut, mudah saja bagi rezim yang berkuasa untuk membuat seseorang yang kritis terhadap pemerintahan tidak punya hak lagi untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah.

Ketiga, setiap orang seharusnya diberikan kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Apabila ada mantan narapidana yang telah membuktikan dirinya dapat kembali menjadi warga negara yang baik, mengapa tidak diberi kesempatan untuk menjadi kepala daerah? Saya pikir banyak contoh mantan narapidana yang telah terbukti dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, seperti Anton Medan misalnya, yang mendirikan Majelis Taklim Atta'ibin untuk menampung dan membina para mantan narapidana dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan yang benar. Bandingkan dengan pejabat negara yang sebelumnya tidak pernah jadi narapidana, namun setelah menjabat malah jadi narapidana.

Perlu Ditinjau Kembali

Menurut konstitusi kita, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu, seharusnya mantan narapidana juga berhak mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah.

Saya pikir persyaratan administratif yang melarang seorang mantan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah perlu ditinjau kembali. Persyaratan itu jelas dapat menghalangi kesempatan orang-orang yang benar-benar ingin berbakti kepada daerahnya hanya karena statusnya sebagai mantan narapidana. Biarkan saja masyarakat yang menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk menjadi kepala daerah, tanpa perlu dihalangi dengan persyaratan administratif tersebut.

Labels: , , , , , , ,

Sunday, January 11, 2009

Putusan ‘Blunder’ MK Soal Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan

oleh Ari Juliano Gema

Sebuah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengusik nalar hukum saya. Putusan MK No. 57/PHPU.D-VI/2008 dalam perkara Perselisihan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Bengkulu Selatan, yang dibacakan pada tanggal 8 Januari 2008 lalu, ’berhasil’ membuat saya jengkel setengah mati, meski saya tidak terlibat dalam perkara tersebut.

Perkara ini berawal dari permohonan Reskan Effendi dan Rohidin Mersyah, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bengkulu Selatan (Pemohon), terhadap KPU Kab. Bengkulu Selatan di MK. Pemohon pada pokoknya mempermasalahkan keputusan KPU Kab. Bengkulu Selatan mengenai: (i) penetapan Dirwan Mahmud dan Hartawan sebagai pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan; (ii) penetapan hasil penghitungan suara Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan Tahun 2008; dan (iii) penetapan Dirwan Mahmud dan Hartawan sebagai pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan terpilih.

Pemohon menyampaikan berbagai bukti yang menunjukkan bahwa terdapat berbagai pelanggaran di lapangan yang dilakukan oleh pasangan Dirwan Mahmud dan Hartawan, atau tim suksesnya, sehingga mempengaruhi hasil penghitungan suara pada Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan. Pemohon juga menyampaikan berbagai bukti yang menunjukkan bahwa Dirwan Mahmud pernah menjalani pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun di LP Cipinang karena kasus penganiayaan dan pembunuhan.

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), salah satu persyaratan menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah adalah tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih. Dengan demikian, menurut Pemohon, KPU Kabupaten Bengkulu Selatan secara sengaja dan melawan hukum telah membiarkan seseorang yang pernah di penjara selama 7 (tujuh) tahun menjadi calon Kepala Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan.

Wewenang MK

Sebelum lebih jauh membahas perkara tersebut, ada baiknya kita mengetahui wewenang MK berkaitan dengan perselisihan dalam Pilkada. Menurut UU Pemda, apabila terdapat keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada MK. Keberatan tersebut hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

Bahkan, MK sendiri menegaskan dalam Peraturan MK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pilkada (PMK No. 15/2008) bahwa obyek perselisihan hasil Pilkada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU di daerah yang bersangkutan. Dengan begitu, jelas sudah batas dari kewenangan MK dalam menangani perkara yang berkaitan dengan Pilkada.

Putusan ’Blunder’

Singkatnya, berdasarkan pertimbangan terhadap bukti-bukti yang diajukan di persidangan, dalam putusannya, MK memerintahkan kepada KPU Kabupaten Bengkulu Selatan untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang yang diikuti oleh seluruh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kecuali pasangan Dirwan Mahmud dan Hartawan. Alasan MK mengecualikan pasangan Dirwan Mahmud dan Hartawan adalah karena Dirwan Mahmud terbukti pernah menjalani pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, sehingga secara administratif tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai calon kepala daerah.

Putusan terhadap Dirwan Mahmud ini jelas-jelas di luar kewenangan MK sebagaimana diatur dalam UU Pemda dan PMK No. 15/2008 yang merupakan aturan internalnya sendiri. Tidak ada kewenangan MK untuk memeriksa apakah keputusan KPU Kabupaten Bengkulu Selatan yang meloloskan Dirwan Mahmud itu sah atau tidak.

Dalam pertimbangannya, MK dengan ’pongah’ mengatakan bahwa sebagai pengawal konstitusi maka acuan utama penegakan hukum di MK adalah tegaknya prinsip kehidupan bernegara berdasarkan UUD 1945. Dalam mengawal konstitusi itu, MK tidak dapat membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural (procedural justice) semata-mata, melainkan juga keadilan substansial. Dengan begitu, MK dapat memutuskan suatu perkara meski diluar kewenangannya.

Saya jengkel luar biasa dengan ’kepongahan’ MK tersebut. Kalau MK membiarkan dirinya mengadili perkara di luar kewenangannya, maka ini akan menjadi preseden buruk. Berbagai pihak akan mengajukan perkara-perkara yang tidak berhubungan dengan kewenangan MK untuk dimintakan putusan di MK.

Bisa jadi seseorang yang merasa tidak adil dengan putusan pidana penjara yang dijatuhkan pengadilan meminta kepada MK untuk mencabut putusan pengadilan tersebut dengan dasar tidak terpenuhinya keadilan substansial. Bisa jadi seorang perempuan yang tidak puas dengan putusan pengadilan agama mengenai masalah pembagian warisan meminta MK untuk mencabut putusan pengadilan agama tersebut dengan dasar pelanggaran HAM yang diatur dalam konstitusi.

Kalau sudah begitu, untuk apa ada pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara, dengan batas kewenangan masing-masing? Apakah MK menganggap hakim-hakim di pengadilan tersebut tidak mampu menangani perkara? Apakah dengan kekuasaan yang diberikan konstitusi membuat MK sedemikian sombongnya?

Wahai hakim-hakim konstitusi, berikanlah kami contoh yang benar dalam menegakkan sistem hukum!

Labels: , , , , , ,