Kenapa Bekas Napi Tidak Bisa Jadi Bupati?
oleh Ari Juliano Gema
Tulisan ini sebenarnya masih berkaitan dengan tulisan saya yang lalu mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Bengkulu Selatan. Inti putusannya, MK memerintahkan Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan diulang dengan mengikutsertakan seluruh calon kepala daerah, kecuali pasangan Dirwan Mahmud – Hartawan. MK berpendapat bahwa Dirwan Mahmud terbukti pernah menjalani pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, sehingga secara administratif tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai calon kepala daerah.
Dalam tulisan yang lalu, saya mengkritik putusan MK tersebut karena dibuat di luar kewenangannya dalam menangani sengketa Pilkada. Seharusnya MK hanya mengadili hasil penghitungan suara saja, dan tidak termasuk mengadili masalah persyaratan administratif calon kepala daerah. MK seharusnya memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa bahwa masalah persyaratan administratif lebih baik diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, dan bukan malah mengadili sendiri.
Persyaratan Bermasalah
Terlepas dari putusan MK tersebut, saya mencoba menelaah persyaratan administratif calon kepala daerah yang dipermasalahkan tersebut, yaitu tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Saya merasa persyaratan itu tidak adil bagi warga negara yang ingin mengabdi sebagai kepala daerah, namun pernah menjalani pidana penjara. Kenapa?
Pertama, seseorang yang pernah dipenjara di lembaga pemasyarakatan (Lapas) tentu sudah menjalani program pembinaan yang diterapkan di Lapas dalam rangka membina narapidana tersebut agar dapat kembali menjadi warga negara yang baik. Persyaratan administratif yang melarang mantan narapidana untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah dapat diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap sistem pembinaan di Lapas. Lalu, untuk apa ada Lapas dengan program pembinaannya itu?
Kedua, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang termasuk tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun itu bukan hanya pembunuhan saja, tapi juga kejahatan terhadap keamanan negara atau sering disebut makar. Karena begitu luasnya cakupan pasal-pasal tentang makar ini, maka pasal-pasal itu bisa saja digunakan oleh pemerintah terhadap orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Dengan adanya persyaratan administratif tersebut, mudah saja bagi rezim yang berkuasa untuk membuat seseorang yang kritis terhadap pemerintahan tidak punya hak lagi untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah.
Ketiga, setiap orang seharusnya diberikan kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Apabila ada mantan narapidana yang telah membuktikan dirinya dapat kembali menjadi warga negara yang baik, mengapa tidak diberi kesempatan untuk menjadi kepala daerah? Saya pikir banyak contoh mantan narapidana yang telah terbukti dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, seperti Anton Medan misalnya, yang mendirikan Majelis Taklim Atta'ibin untuk menampung dan membina para mantan narapidana dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan yang benar. Bandingkan dengan pejabat negara yang sebelumnya tidak pernah jadi narapidana, namun setelah menjabat malah jadi narapidana.
Perlu Ditinjau Kembali
Menurut konstitusi kita, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu, seharusnya mantan narapidana juga berhak mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah.
Tulisan ini sebenarnya masih berkaitan dengan tulisan saya yang lalu mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Bengkulu Selatan. Inti putusannya, MK memerintahkan Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan diulang dengan mengikutsertakan seluruh calon kepala daerah, kecuali pasangan Dirwan Mahmud – Hartawan. MK berpendapat bahwa Dirwan Mahmud terbukti pernah menjalani pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, sehingga secara administratif tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai calon kepala daerah.
Dalam tulisan yang lalu, saya mengkritik putusan MK tersebut karena dibuat di luar kewenangannya dalam menangani sengketa Pilkada. Seharusnya MK hanya mengadili hasil penghitungan suara saja, dan tidak termasuk mengadili masalah persyaratan administratif calon kepala daerah. MK seharusnya memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa bahwa masalah persyaratan administratif lebih baik diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, dan bukan malah mengadili sendiri.
Persyaratan Bermasalah
Terlepas dari putusan MK tersebut, saya mencoba menelaah persyaratan administratif calon kepala daerah yang dipermasalahkan tersebut, yaitu tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Saya merasa persyaratan itu tidak adil bagi warga negara yang ingin mengabdi sebagai kepala daerah, namun pernah menjalani pidana penjara. Kenapa?
Pertama, seseorang yang pernah dipenjara di lembaga pemasyarakatan (Lapas) tentu sudah menjalani program pembinaan yang diterapkan di Lapas dalam rangka membina narapidana tersebut agar dapat kembali menjadi warga negara yang baik. Persyaratan administratif yang melarang mantan narapidana untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah dapat diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap sistem pembinaan di Lapas. Lalu, untuk apa ada Lapas dengan program pembinaannya itu?
Kedua, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang termasuk tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun itu bukan hanya pembunuhan saja, tapi juga kejahatan terhadap keamanan negara atau sering disebut makar. Karena begitu luasnya cakupan pasal-pasal tentang makar ini, maka pasal-pasal itu bisa saja digunakan oleh pemerintah terhadap orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Dengan adanya persyaratan administratif tersebut, mudah saja bagi rezim yang berkuasa untuk membuat seseorang yang kritis terhadap pemerintahan tidak punya hak lagi untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah.
Ketiga, setiap orang seharusnya diberikan kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Apabila ada mantan narapidana yang telah membuktikan dirinya dapat kembali menjadi warga negara yang baik, mengapa tidak diberi kesempatan untuk menjadi kepala daerah? Saya pikir banyak contoh mantan narapidana yang telah terbukti dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, seperti Anton Medan misalnya, yang mendirikan Majelis Taklim Atta'ibin untuk menampung dan membina para mantan narapidana dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan yang benar. Bandingkan dengan pejabat negara yang sebelumnya tidak pernah jadi narapidana, namun setelah menjabat malah jadi narapidana.
Perlu Ditinjau Kembali
Menurut konstitusi kita, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu, seharusnya mantan narapidana juga berhak mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah.
Saya pikir persyaratan administratif yang melarang seorang mantan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah perlu ditinjau kembali. Persyaratan itu jelas dapat menghalangi kesempatan orang-orang yang benar-benar ingin berbakti kepada daerahnya hanya karena statusnya sebagai mantan narapidana. Biarkan saja masyarakat yang menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk menjadi kepala daerah, tanpa perlu dihalangi dengan persyaratan administratif tersebut.
Labels: bupati, kepala daerah, konstitusi, lembaga pemasyarakatan, Mahkamah Konstitusi, narapidana, Pilkada, PTUN
6 Comments:
sepakat kang ajo, seharusnya setelah di"masyarakatkan" mereka berhak menduduki jabatan2 publik, biar rakyat yang menilai
yasuf faa
jaijad daa adad adada
tapi harus tetep diinget, salah satu yang "dihukum lebih dari 5 tahun" juga termasuk tahanan atas dasar ideologi (eks.PKI)..dan ideologi itu laten..gak kliatan diluaran..walopun udah melewati masa "pemasyarakatan" tetap aja tertanam dalam hati..contohnya udah banyak kok yang duduk di legislatif..
buat anonymous di atas:
Seseorang tidak boleh diadili karena ideologi yang dipercayainya.
salut buat Ajo selalu menulis tulisan yang menyetil sistem, mengenai ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan memang sangat besar, hal ini dibuktikan dengan banyaknya terpidana (contoh kasus narkoba) yang setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tetapi tetap melakukan tindak pidana dimasyarakat, karena itu perlu ada evaluasi terhadap seluruh sitem di lembaga pemasyarakatan
BTW Salam untuk keluarga
Hendra Wijaya
Post a Comment
<< Home