Monday, March 24, 2008

Kenapa Tidak Mau Datang, Jenderal?

oleh Ari Juliano Gema

Republik ini memang hebat. Banyak bikin lembaga-lembaga baru, tapi tidak diberikan kewenangan yang memadai. Cerita bermula dari dibentuknya Tim Ad Hoc Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Talangsari (Tim Ad Hoc) oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menyelidiki apakah terdapat pelanggaran HAM berat pada saat peristiwa Talangsari, Lampung, tahun 1989. Peristiwa Talangsari terjadi ketika kelompok pengajian yang dipimpin Warsidi diserbu oleh aparat militer karena pengajian tersebut dianggap banyak mengkritik pemerintah Orde Baru.

Untuk mengumpulkan bukti permulaan, Tim Ad Hoc memanggil beberapa perwira tinggi TNI, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif, untuk dimintai keterangan. Ada beberapa purnawirawan jenderal yang tidak datang memenuhi panggilan tersebut. Sehubungan dengan itu, seorang menteri bilang bahwa Komnas HAM tidak berwenang memaksa seorang prajurit TNI, baik yang dahulu maupun yang sekarang, untuk datang memenuhi panggilan mereka (Kompas, 06/03/08).

Kewenangan Komnas HAM

Pada awalnya, Komnas HAM didirikan dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM. Kemudian kedudukannya diperkuat dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM), yang mengatur keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotaan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.

Disamping itu, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM), Komnas HAM juga diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat meliputi setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan kelompok bangsa, ras, etnis, atau agama (genosida), dan juga perbuatan yang merupakan serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Dalam melakukan penyelidikan ini, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat.

Menurut UU Pengadilan HAM, kewenangan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan tersebut meliputi antara lain menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat, memanggil pihak pengadu/korban atau yang pihak diadukan, memanggil saksi, serta meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian. Apabila Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup menunjukkan telah terjadi pelanggaran HAM berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan itu disampaikan kepada Jaksa Agung sebagai pihak yang berwenang melakukan penyidikan.

Sialnya, dalam UU Pengadilan HAM memang tidak diatur mengenai upaya paksa yang dapat dilakukan apabila ada pihak yang tidak datang memenuhi panggilan dalam rangka penyelidikan tersebut. Ketiadaan pengaturan upaya paksa tersebut menurut saya merupakan kealpaan dari pembuat undang-undangnya, mengingat dalam UU HAM sendiri telah diatur bahwa apabila seseorang yang dipanggil Komnas HAM tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, maka Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlu Terobosan Hukum

Saya mendukung 100% kalau Komnas HAM berani melakukan terobosan hukum dengan menggunakan ketentuan dalam UU HAM tersebut untuk melakukan upaya paksa kepada pihak-pihak yang tidak mau memenuhi panggilannya. Adapun alasan pernyataan saya adalah sebagai berikut, pertama, lahirnya Pengadilan HAM adalah karena amanat dari UU HAM. Oleh karena itu, diakui atau tidak, UU Pengadilan HAM sebenarnya terbit karena amanat UU HAM juga. Sehingga apabila dalam UU Pengadilan HAM tidak tercantum ketentuan mengenai upaya paksa terhadap seseorang yang tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, seharusnya ketentuan dalam UU HAM mengenai upaya paksa tersebut dapat diterapkan untuk menutupi kekosongan hukum tersebut.

Kedua, dalam pandangan saya, Ketua Pengadilan adalah pihak yang netral. Oleh karena itu, apabila Komnas HAM meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan untuk melakukan upaya paksa tersebut tentu Ketua Pengadilan akan mempertimbangkan banyak hal, termasuk kepentingan pihak yang dipanggil, sebelum memutuskan apakah akan memenuhi permintaan Komnas HAM atau tidak.

Ketiga, apabila peristiwa dimana dugaan pelanggaran HAM berat terjadi sudah lama sekali, sehingga bukti-bukti fisik mungkin sulit ditemukan, maka yang mungkin dijadikan bukti permulaan adalah keterangan dari orang-orang yang mengetahui terjadinya peristiwa tersebut. Apabila tidak ada upaya paksa yang dapat dilakukan terhadap orang-orang yang tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, Komnas HAM tentu akan kesulitan menemukan bukti permulaan untuk menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, yang pada gilirannya akan menghalangi proses pencarian keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan dari peritiwa tersebut.

Selain alasan di atas, yang paling memprihatinkan lagi adalah akan terbuang sia-sianya dana operasional Komnas HAM yang berasal dari APBN hanya karena Komnas HAM dibuat mandul oleh UU Pengadilan HAM. Sikap kenegarawanan dari para purnawirawan jenderal tersebut sebenarnya juga diuji. Apabila mereka mau dengan sukarela memenuhi panggilan Komnas HAM, tentu sikap mereka akan menjadi contoh dan teladan dalam menghormati proses penegakan HAM di Indonesia.

Jadi, masih tidak mau datang, Jenderal?

Labels: , ,

Monday, March 10, 2008

Futsal, Advokat dan Penegak Hukum

oleh Ari Juliano Gema

Setelah beberapa kali gagal, akhirnya hari Sabtu kemarin saya berhasil memenuhi janji saya untuk hadir pada pertemuan dengan teman-teman kuliah saya dulu. Uniknya, pertemuan ini diadakan dalam bentuk latihan futsal bersama di sebuah gelanggang futsal di sekitar Jalan Gatot Subroto. Meski ukuran lapangan futsalnya tidak terlalu besar, namun karena kondisi tubuh sedang tidak prima, hanya bermain beberapa menit saja saya sudah berteriak: time out! Padahal saya sendiri tidak yakin apakah di futsal ada ketentuan time out.

Meski badan terasa pegal-pegal, namun senang rasanya bisa bertemu dengan teman-teman kuliah dulu yang sekarang memiliki berbagai latar belakang profesi hukum, mulai dari in-house counsel, advokat, jaksa sampai hakim. Karena sangat berkesan dan semua setuju akan perlunya olahraga untuk menjaga stamina tubuh yang mulai mengendur, rencananya latihan bersama ini akan rutin dilakukan setiap hari Sabtu pagi.

Advokat sebagai Penegak Hukum

Saat berbicara dengan mereka, saya berpikir mengenai perbandingan profesi saya sebagai advokat dengan profesi teman-teman saya yang lain itu. Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), advokat sebagai salah satu profesi hukum ditegaskan statusnya sebagai penegak hukum. Penegasan tersebut memiliki arti bahwa advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dengan begitu, seharusnya kedudukan advokat dalam ”Catur Wangsa Penegak Hukum” bersama hakim, jaksa dan polisi, menjadi lebih jelas.

Menyimak penuturan Daniel S. Lev dalam kata pengantarnya di buku ”Advokat Indonesia Mencari Legitimasi” (Binziad Kadafi et al, 2001), profesi advokat Indonesia mengalami perubahan yang membingungkan akibat ombang-ambing politik. Para advokat biasa aktif dalam politik pada jaman Demokrasi Parlementer, dan dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai salah satu unsur dalam sistim peradilan. Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin, para advokat mulai dijauhkan dari lembaga formal. Bahkan sering diperlakukan sebagai musuh hakim dan jaksa.

Pada masa awal Orde Baru, advokat yang berkumpul dalam Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), organisasi advokat nasional yang pertama, menyatakan diri sebagai organisasi perjuangan yang bermaksud untuk menciptakan kembali Indonesia sebagai suatu negara hukum. Namun, kritik advokat pada masa itu terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan instansi lainnya dibalas pemerintah dengan upaya memecah belah organisasi advokat agar menjadi lemah dan lebih mudah dikontrol.

Sebelum UU Advokat diundangkan, keberadaan advokat sebenarnya telah disebut dalam berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum dan UU Hukum Acara Pidana. Namun, belum pernah ada ketentuan yang menegaskan status profesi advokat. Hal ini membuat seolah-olah advokat adalah “anak tiri” dalam Catur Wangsa Penegak Hukum.

Setelah UU Advokat diundangkan, meski status, hak dan kewajiban profesi advokat telah diatur dengan jelas dan tegas, namun dalam prakteknya tidaklah seindah yang dibayangkan. Sebagai contoh, dalam UU Advokat diatur bahwa dalam menjalankan profesinya advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya dari pihak manapun dalam rangka pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, UU Advokat tidak memberikan sanksi bagi pihak yang tidak mau memberikan informasi, data atau dokumen yang diperlukan advokat tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan penegak hukum lainnya yang dipersenjatai dengan pasal-pasal ampuh dalam berbagai peraturan perundang-undangan untuk “melibas” pihak-pihak yang menghalangi tugas dan kewenangan mereka.

Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-II/2004 yang menyatakan tidak berlakunya Pasal 31 UU Advokat yang mengatur sanksi bagi orang yang bukan advokat namun dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat. Padahal pasal tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kerugian yang mungkin diderita akibat ulah mereka yang mengaku-aku sebagai advokat. Bayangkan saja para debt collector yang bukan advokat namun bertindak seolah-olah sebagai advokat yang akan semakin bebas berkeliaran dengan tingkah lakunya yang kadang melewati batas-batas norma kesopanan karena ketiadaan sanksi yang jelas dan tegas sebagaimana dimaksud Pasal 31 tersebut.

Forum Tukar Pikiran

Terus terang, saya menikmati obrolan dengan teman-teman pada saat itu. Sangat menyenangkan apabila bisa terus memiliki kesempatan ngobrol dalam suasana santai dengan teman-teman dari profesi penegak hukum lainnya. Namun, jangan pernah berpikir bahwa ini akan menjadi ajang kolusi di antara penegak hukum, karena bagaimanapun juga dalam berinteraksi tersebut kami terikat pada kode etik profesi masing-masing. Ini mungkin lebih kepada ajang untuk bertukar pikiran mengenai hal-hal yang ingin diketahui oleh profesi penegak hukum pada umumnya.
Dalam sejarahnya, advokat tidak pernah diikutsertakan dalam forum-forum koordinasi antar penegak hukum. Lihat saja keberadaan forum antara Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian (Mahkejapol) atau forum antara Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian (Diljapol). Oleh karena itu, bisa bertemu dan ngobrol santai dengan teman-teman dari profesi penegak hukum yang lain sedikit banyak bisa mengobati perasaan ”dianaktirikan” dari Catur Wangsa Penegak Hukum.

Labels: ,