Saturday, June 21, 2008

Perjuangan secara Kultural dan Budaya Hukum

oleh Ari Juliano Gema

Sudah beberapa malam Jum’at ini, saya dan istri mengikuti forum pengajian yang diselenggarakan di rumah seorang tokoh agama. Pengajian itu kerap juga dihadiri oleh banyak artis. Tapi bukan itu alasan utama saya ikut pengajian itu.

Sebenarnya, yang membuat saya tertarik adalah topik pengajiannya. Topik yang sering disampaikan adalah mengenai bagaimana mendidik anak dan membina keluarga secara islami. Pembicaranya pun berganti-ganti. Tidak hanya ulama-ulama kondang, namun juga tokoh pendidikan.

Awalnya, saya bertanya-tanya. Apa yang membuat pengajian ini dihadiri banyak artis? Apakah mereka juga menyukai topiknya? Akhirnya pada suatu kesempatan, tokoh agama itu menceritakan bagaimana asal muasal forum pengajian ini berdiri.

Perjuangan secara Kultural

Awalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat perkembangan dan penyebarluasan pornografi dan pornoaksi di masyarakat, baik melalui media cetak maupun media elektronik, semakin mengkhawatirkan. Untuk itu, pada tahun 2001, MUI Pusat mengeluarkan fatwa mengenai pornografi dan pornoaksi. Sebagai salah satu pengurus MUI Pusat saat itu, tokoh agama itu bersama pengurus yang lain mendesak pemerintah agar bertindak tegas terhadap segala bentuk pornografi dan pornoaksi.

Pemerintah menyarankan MUI agar mendesak DPR untuk membuat undang-undang yang mengatur tentang pornografi dan pornoaksi. Alasannya, dengan adanya undang-undang itu dasar hukum pemerintah dalam menindak segala bentuk pornografi dan pornoaksi menjadi lebih kuat.

MUI akhirnya mendesak DPR untuk membuat undang-undang tersebut. Bahkan, menurut tokoh agama itu, MUI berinisiatif mengumpulkan ahli-ahli hukum untuk membuat rancangan undang-undang (RUU) tersebut. Setelah RUU tersebut selesai, MUI mengajukannya ke DPR untuk diagendakan pembahasannya.

RUU tersebut akhirnya memang masuk agenda pembahasan. Namun, gilirannya jauh dibawah pembahasan rancangan undang-undang lain. MUI terus mengawal dan mendesak DPR agar RUU tersebut dapat segera dibahas dan disahkan. Namun kenyataannya, setelah tujuh tahun sejak fatwa MUI tersebut dikeluarkan, undang-undang yang mengatur mengenai pornografi dan pornoaksi (UU APP) belum juga disahkan.

Melihat kenyataan tersebut, tokoh agama itu merasa perlu merubah strategi perjuangan dalam memerangi pornografi dan pornoaksi tersebut. Beliau melihat bahwa, diakui atau tidak, profesi artis turut andil dalam berkembangnya pornografi dan pornoaksi di masyarakat. Tayangan sinetron yang tidak cerdas dan tidak bermoral di televisi serta atraksi erotis di panggung yang ditampilkan beberapa artis hanyalah sebagian kecil dari andil profesi artis tersebut.

Untuk itu, Beliau merasa perlu melakukan perjuangan secara kultural dengan mendirikan forum pengajian ini dan mencoba mengajak beberapa orang artis untuk bergabung didalamnya. Tujuannya sederhana. Bagi artis yang punya andil tersebut diharapkan segera menyadari kekeliruannya. Sedang bagi artis yang tidak atau belum punya andil diharapkan dapat tetap mempertahankan posisinya tersebut, serta dapat menjadi teladan bagi artis lainnya dan masyarakat sekitarnya.

Awalnya hanya sedikit artis yang bergabung. Namun lama-kelamaan jumlah artis yang bergabung semakin banyak. Malah, forum pengajian tersebut akhirnya diorganisir oleh artis-artis yang bergabung tersebut.

Terus terang, saya salut dengan strategi perjuangan Beliau. Perjuangan secara kultural tersebut social cost-nya lebih minim ketimbang secara frontal menyerang kanan-kiri untuk memerangi pornografi dan pornoaksi.

Budaya Hukum

Dalam ilmu hukum, perjuangan secara kultural yang dilakukan tokoh agama itu dapat dianggap sebagai upaya membangun budaya hukum. Menurut Friedman (1984), budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai sikap dan nilai-nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.
Apabila perjuangan secara kultural tersebut dapat dilakukan secara kontinyu dan sasarannya diperluas terhadap seluruh lapisan masyarakat, maka, dengan atau tanpa UU APP, masyarakat akan memiliki sikap yang tegas dan jelas terhadap pornografi dan pornoaksi. Penegakan hukum terhadap pornografi dan pornoaksi sendiri akan lebih efektif. Oleh karena itu, perjuangan secara kultural ini seharusnya dijadikan model dalam rangka menegakkan sistem hukum di Indonesia.

Labels: , , , ,

Tuesday, June 10, 2008

Apakah SKB Merupakan Solusinya?

Sikap pemerintah yang tidak jelas selama ini terhadap Ahmadiyah akhirnya terjawab sudah. Senin, 6 Juni 2008 lalu, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Isi SKB tersebut pada pokoknya tidak memerintahkan pembubaran JAI, namun memberikan peringatan kepada penganut, anggota atau pengurus JAI, sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Apabila penganut, anggota atau pengurus JAI tidak mengindahkan peringatan tersebut, mereka dapat dikenakan tuduhan penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

SKB juga memperingatkan kepada warga masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota dan/atau pengurus JAI. Untuk itu, SKB memerintahkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan SKB itu.

Ada satu hal yang mengganggu dari SKB tersebut. Kata-kata ”sepanjang mengaku beragama Islam” sepertinya kurang tepat dicantumkan pada SKB tersebut. Kalau mereka mengaku bukan beragama Islam, tapi memiliki ciri-ciri peribadatan seperti agama Islam, apakah berarti mereka dapat melakukan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam?

Terlepas dari kekurangan tersebut, saya cukup menghargai sikap yang diambil pemerintah tersebut. Ketimbang tidak ada sikap sama sekali. Ketimbang membiarkan opini yang berkembang tentang JAI semakin blunder.

SKB tidak akan berguna tanpa tindakan yang jelas dan tegas pemerintah untuk mengimplementasikannya. Pemerintah harus tegas dalam mengambil tindakan terhadap penganut, anggota atau pengurus JAI yang terbukti melakukan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Kalau mereka tidak terbukti melakukan hal itu, pemerintah harus konsisten untuk tetap membiarkan JAI hidup dan berkembang di Indonesia.

Pemerintah juga harus tegas dalam menindak masyarakat dari kelompok manapun yang melakukan tindakan melawan hukum atau main hakim sendiri terhadap JAI. Salah satu tugas pemerintah adalah melindungi warga negaranya. Kalau pemerintah dan aparatnya tidak mampu memberikan rasa aman kepada warga negaranya, silakan meletakkan jabatan saja. Tidak ada gunanya memiliki pemerintah yang tidak punya sikap dan tindakan yang jelas dan tegas dalam melindungi warga negaranya.


Labels: , , , ,

Tuesday, June 03, 2008

Mengapa FPI Harus Dibubarkan?

oleh Ari Juliano Gema

Insiden di Monas pada tanggal 1 Juni 2008 lalu, menyita perhatian publik. Menurut berita yang beredar di koran maupun televisi, beberapa anggota Front Penyelamat Islam (FPI) menyerang massa dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB). Penyerangan itu terjadi pada saat AKK-BB sedang melakukan aksi dalam rangka memperingati Hari Pancasila.

Koran dan televisi bersahut-sahutan memberitakan insiden tersebut. Publik serempak menyalahkan FPI. Tuntutan pembubaran FPI pun bergema di mana-mana. Bahkan beberapa cabang FPI di daerah menjadi sasaran intimidasi dan amuk dari beberapa kelompok massa.

Pertanyaan saya, apakah koran dan televisi juga meliput pernyataan dari pihak FPI mengenai penyebab terjadinya insiden tersebut? Kalaupun ada, apakah porsinya sama dengan pemberitaan mengenai pernyataan dari pihak AKK-BB dan pihak-pihak yang mengutuk insiden tersebut?

Saya merasa opini publik telah digiring oleh media. Dari situ kemudian muncul tuntutan pembubaran FPI dan aksi-aksi balasan terhadap anggota FPI di daerah yang tidak tahu menahu duduk persoalannya.

Apakah memang karena perilaku beberapa anggota FPI tersebut kemudian FPI secara organisasi harus dibubarkan? Saya pikir tidak serta merta seperti itu. Harus dibuktikan dulu apakah insiden itu merupakan kebijakan resmi dari FPI atau memang hanya tindakan emosional beberapa anggotanya.

Pada prinsipnya, kalau memang harus ada yang dihukum dari insiden tersebut, maka yang harus dihukum adalah para pelaku penyerangan tersebut sebagai pribadi dan orang yang menyuruh atau memerintahkan penyerangan tersebut.

Polisi harus bertindak cepat dan tegas menangkap siapapun pihak yang terlibat dalam insiden tersebut. Hukum seberat-beratnya para pelaku tersebut kalau memang mereka terbukti bersalah. Ini akan jadi shock therapy bagi siapapun yang menjadi anggota organisasi manapun.

Kekerasan tidak perlu dibalas dengan kekerasan. Perilaku seseorang tidak boleh langsung dikaitkan dengan organisasi yang diikutinya. Tanggapi insiden secara obyektif. Jangan karena ingin membunuh tikus di dalam rumah, maka kita harus sampai membakar rumah beserta segala isinya.


Labels: , , , , , ,