Monday, August 25, 2008

Apa Salahnya Perubahan Konstitusi Kita?

oleh Ari Juliano Gema

Aneh bin ajaib pernyataan beberapa tokoh senior dan politisi yang mendesak pemerintah untuk segera mengembalikan konstitusi Indonesia ke Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45) versi awal (Kompas, 23/08/08). Mereka menganggap perubahan konstitusi bertentangan dengan sumpah anggota MPR yang seharusnya setia dan mempertahankan Pancasila dan UUD ’45.

Menurut mereka, MPR tidak pernah diberi mandat untuk melakukan perubahan itu. Mereka juga menganggap bahwa proses perubahan konstitusi itu banyak diintervensi dan dipengaruhi lembaga swadaya masyarakat asing yang dibiayai Amerika Serikat.

Perubahan Konstitusi

Sebagaimana telah diketahui bersama, selama ini memang telah dilakukan perubahan terhadap UUD ’45 sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berturut-turut telah disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 10 Nopember 2001 dan 10 Agustus 2002.

Adapun perubahan yang signifikan terhadap beberapa pasal dalam UUD ’45, yaitu sebagai berikut:

  1. Presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, namun dipilih secara langsung oleh rakyat;
  2. MPR bukan lagi sebagai lembaga yang berwenang memilih/mengangkat presiden dan wakil presiden, namun hanya akan melantik presiden dan wakil presiden;
  3. Ketidakjelasan maksud syarat calon presiden adalah orang indonesia asli diperjelas menjadi harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;
  4. Ketidaktegasan berapa periode seorang presiden dapat memegang jabatan dipertegas menjadi maksimal selama dua periode;
  5. Ditambahkan aturan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, yaitu apabila terbukti presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden;
  6. Ditambahkan aturan mengenai pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang dilakukan secara demokratis;
  7. Ditambahkan aturan mengenai otonomi pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
  8. Ditambahkan aturan mengenai pembentukan Dewan Perwakilan Daerah yang berwenang mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran serta penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  9. Ditambahkan aturan mengenai pembentukan Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung;
  10. Ditambahkan aturan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
  11. Ditambahkan aturan mengenai hak-hak asasi manusia secara detail; dan
  12. Ditambahkan aturan mengenai kewajiban negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD

Pendapat mereka bahwa perubahan konstitusi itu bertentangan dengan sumpah anggota MPR jelas pendapat yang mengada-ada. Coba saja tengok Pasal 37 UUD ’45. Disana diatur dengan jelas bagaimana prosedur perubahan konstitusi kita. Yang telah dilakukan selama ini bukan mengganti UUD ’45 menjadi konstitusi baru, tapi hanya perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD ’45 yang dianggap sudah tidak relevan dengan kehidupan bernegara saat ini.

Kalau memang mereka menganggap versi awal UUD ’45 lebih baik dibandingkan dengan UUD ’45 hasil perubahan, maka apakah berarti menurut mereka pemilihan presiden oleh MPR lebih demokratis dibandingkan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat? Apakah menurut mereka ketidakjelasan berapa periode masa jabatan presiden lebih baik dibandingkan adanya kejelasan hanya dua periode? Apakah mereka pikir lebih baik tidak ada ketentuan yang detail tentang hak asasi manusia dalam konstitusi kita? Apakah mereka pikir lebih baik tidak perlu ada kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD?

Konstitusi Bukan Naskah Suci

Menurut mereka perubahan konstitusi yang ada sekarang menyimpang dari semangat konstitusi awal. Saya pikir harus diklarifikasi dulu semangat mana dalam versi awal UUD ’45 yang disimpangi itu. Bukankah yang ada justru semangat melahirkan diktator karena tidak adanya pembatasan periode masa jabatan presiden?


Berhentilah meributkan hal-hal yang tidak substantif. Terlalu naif kalau menganggap konstitusi adalah naskah suci yang menentukan maju mundurnya suatu negara. Konstitusi adalah seperangkat peraturan yang dibuat manusia. Sebaik apapun peraturan itu dibuat, tidak akan berarti apa-apa kalau manusia yang membuatnya tidak sungguh-sungguh untuk mematuhi dan menjalankan peraturan itu dengan benar.

Labels: , , , , , , ,

Monday, August 18, 2008

Mengapa KPU Tidak Mengajukan Banding?

oleh Ari Juliano Gema

Saya mulai kuatir dengan penyelenggaraan Pemilu 2009. Tanpa perlawanan berarti, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan untuk melaksanakan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta No. 104G/2008/PTUNJKT pada tanggal 13 Agustus 2008 yang memerintahkan KPU menetapkan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Merdeka (PM) dan Partai Buruh (PB), sebagai partai politik peserta pemilu 2009 (Kompas, 18/08/08).

Sabtu, 16 Agustus 2008, KPU menetapkan nomor urut 4 partai susulan tersebut, yaitu nomor urut 41 - 44, berturut-turut untuk PM, PPNUI, PSI dan PB. Penyusunan nomor urut tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan penyusunan nomor urut partai politik peserta pemilu yang telah dilakukan sebelumnya oleh KPU, yaitu nomor urut partai politik nasional 1 – 34 dan nomor urut 35 – 40 untuk partai politik lokal Aceh.

Menjadi Preseden Buruk

Terus terang, keputusan KPU untuk langsung melaksanakan keputusan PTUN itu, tanpa terlebih dahulu meminta pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu, sangat saya sesali. Sedikitnya ada tiga alasan yang melatari sikap saya tersebut, yaitu, pertama¸ sikap mengalah KPU tersebut dapat dianggap sebagai sikap lemah KPU dalam menghadapi pihak-pihak yang tidak setuju dengan apa yang telah diputuskan oleh KPU.

Kedua, sikap mengalah KPU dapat dianggap sebagai bukti bahwa KPU mengakui ketidakberesannya dalam menyelenggarakan pemilu. Ketiga, sikap mengalah KPU dapat dianggap sebagai bukti bahwa KPU tidak siap untuk mempertahankan keputusannya sendiri.

Ini jelas dapat menjadi preseden buruk. Ingat, masih ada beberapa keputusan KPU untuk tahapan pemilu berikutnya yang membuka kemungkinan untuk digugat oleh pihak-pihak yang merasa tidak puas. Bayangkan, betapa kacaunya penyelenggaraan pemilu 2009 apabila setiap keputusan KPU nantinya digugat di PTUN tanpa adanya perlawanan yang berarti dari KPU.

Memang, pemeriksaan banding membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Namun, dengan adanya fakta aktual tentang jadwal penyelenggaraan Pemilu 2009 yang sedemikian ketat, KPU dapat meminta kepada Mahkamah Agung (MA) agar dibuat peraturan yang membuat proses pemeriksaan di tingkat pertama, tingkat banding ataupun tingkat kasasi atas perkara yang menyangkut keputusan KPU dapat diprioritaskan dan dipercepat.

Menurut Undang-Undang tentang MA, MA berwenang membuat Peraturan MA (Perma) sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Dengan demikian, atas permintaan KPU, seharusnya MA mau membuat Perma yang memprioritaskan dan mempercepat proses pemeriksaan perkara yang menyangkut keputusan KPU, sehingga seluruh proses pemeriksaan tersebut tidak terlalu mengganggu jadwal penyelenggaraan Pemilu 2009.

Menutup Celah

Untuk menghindari kejadian ini terulang kembali pada pemilu mendatang, seharusnya dalam UU Pemilu ditegaskan apakah terhadap keputusan KPU itu dapat diajukan upaya hukum atau sudah bersifat final. Bandingkan dengan ketentuan dalam UU Paten yang mengatur tentang pelaksanaan paten oleh pemerintah. Apabila pemerintah berpendapat bahwa suatu paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan. Menurut UU Paten, keputusan pemerintah untuk melaksanakan paten tersebut bersifat final.
Apabila memang UU Pemilu memberikan peluang dilakukannya upaya hukum terhadap keputusan KPU, maka harus ditentukan mekanisme upaya hukum yang mampu mengakomodir ketatnya jadwal penyelenggaraan pemilu. Bisa ditiru mekanisme yang diatur dalam undang-undang tentang kepailitan. Upaya hukum yang disediakan adalah mengajukan gugatan di Pengadilan Niaga, yang apabila ada pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga dapat langsung mengajukan kasasi di MA. Waktu pemeriksaannya pun telah ditentukan dengan pasti. Dengan demikian, proses pemeriksaan menjadi lebih singkat dan terukur.

Labels: , , , , ,

Monday, August 11, 2008

Bagaimana Membuat Koruptor Jera?

oleh Ari Juliano Gema

Polemik mengenai perlu tidaknya baju khusus untuk para tersangka atau terdakwa kasus korupsi terpapar di berbagai media. Fasilitas bagi terdakwa kasus korupsi yang berbeda dengan terdakwa kasus lainnya juga menjadi perbincangan. Seluruhnya bermuara dari niat untuk menumbuhkan efek jera dan rasa malu bagi para koruptor.

Terus terang, saya tidak tertarik untuk turut mengambil posisi dalam polemik yang tidak substansif ini. Mengapa tidak substansif?

Pertama, selama berpraktik di pengadilan, saya tidak pernah menyaksikan terdakwa di sidang pengadilan yang menggunakan seragam tahanan. Sebagian besar mengenakan baju putih yang mereka miliki atau disewa dari penjaga penjara. Menurut saya, cara berpakaian seperti itu adalah dalam rangka menghormati persidangan. Apabila ada terdakwa yang cara berpakaiannya terlihat ’provokatif’, saya pikir itu bukan karena terdakwa tidak punya rasa malu dengan perkaranya. Itu sekedar masalah selera dan gaya berpakaian saja.

Kedua, apabila baju khusus tersebut jadi diterapkan, mungkin bisa menimbulkan rasa malu bagi para terdakwa kasus korupsi. Tapi apakah akan menimbulkan efek jera? Nanti dulu.

Penyebab Korupsi

Dari berbagai literatur yang saya baca, sedikitnya ada tiga faktor yang menjadi penyebab seseorang melakukan korupsi. Tiga faktor tersebut adalah: (i) karena sifat dasar orang tersebut yang tidak pernah puas dengan kekayaan yang dimilikinya (corrupt by greed); (ii) karena adanya kebutuhan hidup yang mendesak (corrupt by need); dan (iii) karena sistem yang korup (corrupt by system).

Bagi para koruptor yang masuk kategori corrupt by greed, pemakaian baju khusus mungkin bisa membuat mereka berpikir seribu kali untuk korupsi. Para koruptor tipe ini biasanya dari kalangan terhormat. Pemakaian baju khusus seperti itu akan menjatuhkan harga diri mereka. Namun, apakah hal tersebut berlaku bagi koruptor dari dua tipe lainnya?

Koruptor yang masuk kategori corrupt by need akan sulit menghentikan perbuatan mereka selama kebutuhan hidup masih terus mendesak. Kadang-kadang, pilihannya adalah melakukan korupsi atau mati kelaparan. Sanksi apapun yang dikenakan kepada koruptor tipe ini tidak akan membuatnya jera. Selama tidak ada solusi yang tepat untuk mengatasi desakan kebutuhan hidup tersebut, koruptor tipe ini akan terus melakukan perbuatannya.

Begitu pula halnya dengan koruptor yang masuk kategori corrupt by system. Dalam sistem yang korup, orang-orang didalamnya tidak pernah merasa bahwa dirinya koruptor. Meski melanggar hukum, namun karena pemegang kebijakan dalam sistem itu tidak melakukan perbaikan apa-apa, maka orang-orang yang terlibat dalam sistem merasa tidak ada masalah dengan sistem tersebut. Selama sistem yang korup tersebut tidak diperbaiki, orang-orang didalamnya berpotensi untuk terus diseret ke pengadilan sebagai koruptor.

Efek Jera

Menurut saya, terlepas dari apapun penyebabnya, para koruptor hanya akan jera kalau ada sanksi yang efektif. Terbukti sanksi berupa pidana penjara dan denda tidak menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Berapapun lamanya pidana penjara yang diputuskan hakim, masih ada peluang untuk diajukan banding agar lamanya pidana penjara dapat diturunkan. Adanya remisi atau pengurangan hukuman juga dapat memperingan sanksi bagi para koruptor.

Seharusnya, hakim tingkat pertama tidak ragu untuk menjatuhkan pidana mati kepada koruptor untuk suatu kasus tertentu. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan hal itu. Dalam penjelasan undang-undang tersebut, pidana mati dapat dijatuhkan dalam keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Meski sanksi pidana mati yang diputuskan hakim tersebut masih mungkin diajukan banding, namun setidak-tidaknya hal itu menjadi shock terapy bagi para koruptor.

Labels: , , ,