Wednesday, January 24, 2007

Majalah Playboy, Julie Estelle dan Perlindungan Anak

oleh Ari Juliano Gema

Sidang kasus dugaan pelanggaran kesopanan yang dilakukan oleh pengelola Majalah Playboy Indonesia yang digelar di PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu cukup menarik perhatian saya. Bukan soal perdebatan mengenai apakah sajian dari majalah itu melanggar kesopanan yang menarik perhatian saya, tapi karena saya baru tahu bahwa Majalah Playboy Indonesia ternyata pernah menggunakan anak-anak sebagai model untuk berpose sensual pada salah satu terbitan majalah tersebut.

Tidak percaya? Silakan lihat Majalah Playboy Indonesia edisi ketiga yang terbit pada bulan Juli 2006. Salah satu model bernama Julie Estelle yang ditampilkan pada edisi tersebut ternyata baru berusia 17 tahun!

Julie Estelle Masih Anak-anak?

Kalau tidak percaya, coba buka Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Menurut undang-undang itu, yang dimaksud dengan “anak” adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Jadi, apa salah kalau saya bilang Julie Estelle masih anak-anak pada saat ia menjadi model di Majalah Playboy Indonesia?

Ini serius! Bahkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), Julie Estelle, yang lahir pada tanggal 4 Januari 1989 itu, sebenarnya belum cukup dewasa untuk mewakili dirinya sendiri dalam membuat perikatan dengan manajemen Majalah Playboy Indonesia berkenaan dengan status dirinya sebagai seorang Playmate (sebutan bagi model Majalah Playboy). Dewasa menurut KUHper adalah apabila seseorang telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah.

Kedewasaan adalah syarat agar seseorang dianggap cakap/mampu untuk membuat suatu perikatan, yang mana hal itu merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian menurut KUHPer. Dengan begitu, Julie seharusnya diwakili wali/orang tuanya untuk menandatangani perjanjian apapun berkenaan dengan penampilan dia di Majalah Playboy Indonesia.

Saya yakin, Playboy Enterprise Inc. sebagai penerbit dan pemilik lisensi Majalah Playboy pasti tidak mengijinkan ada seorang Playmate yang berusia di bawah 18 tahun, karena di Amerika Serikat sendiri seseorang dianggap dewasa secara hukum apabila ia telah berusia 18 tahun. Pernah ada seorang Playmate bernama Elizabeth Ann Roberts yang sebenarnya masih berusia 16 tahun ketika fotonya akan ditampilkan pada Majalah Playboy edisi Januari 1958. Namun, ibu dari Elizabeth Ann Roberts, yang mengantarkan sendiri anaknya untuk pemotretan di majalah itu, meyakinkan pihak manajemen Majalah Playboy bahwa anaknya telah berusia 18 tahun.

Walhasil, ketika Majalah Playboy yang memuat foto sensual Elizabeth Ann Roberts itu terbit, Hugh Hefner sebagai pemilik Majalah Playboy dan ibu dari Elizabeth Ann Roberts itu dituntut pidana penjara oleh pihak yang berwenang di Chicago dengan tuduhan kejahatan terhadap anak-anak. Namun, tuntutan tersebut kemudian dibatalkan karena terbukti Hugh Hefner tidak mengetahui usia Elizabeth Ann Roberts yang sebenarnya.

Saya koq jadi ngeri, ya, membayangkan kalau ada orang tua yang mau mengantar anaknya untuk difoto dengan gaya sensual agar dapat ditampilkan dalam majalah untuk orang dewasa. It doesn’t make sense!

Dimana Peran Negara?

Sejujurnya, saya prihatin dan cemas, sekaligus geram, melihat media hiburan yang begitu bebas mengeksploitasi anak-anak sampai pada batas-batas perilaku yang tidak wajar. Selain kasus Julie Estelle tadi, di beberapa sinetron tentang kehidupan remaja, seringkali anak-anak perempuannya ditampilkan memakai seragam sekolah yang ketat sehingga menonjolkan lekuk tubuhnya, dengan rok yang super mini.

Belum lagi, di film Indonesia yang menyasar kaum remaja, dengan alasan “tuntutan skenario”, pemain film yang belum dewasa “dipaksa” berciuman dengan lawan jenisnya. What the hell is it? Apakah media hiburan di Indonesia mau ditujukan untuk konsumsi kaum phaedofilia?

Seharusnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dibentuk atas amanat UU Perlindungan Anak lebih proaktif dalam menanggulangi fenomena eksploitasi anak-anak secara terselubung seperti itu. KPAI harus secara aktif melakukan pengawasan dan turut mendesak aparat penegak hukum agar mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh lakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara seksual terhadap anak-anak, baik yang dilakukan secara terbuka maupun terselubung. Dalam UU Perlindungan Anak telah jelas diatur bahwa setiap orang yang mengeksploitasi seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp 200 juta.

Mungkin anak-anak itu sendiri tidak menyadari dirinya mengalami eksploitasi secara seksual, karena dengan janji-janji ketenaran dan kelimpahan materi di dunia entertainment, mereka pasti akan mendadak “buta dan tuli” dengan eksploitasi yang menimpa dirinya. Oleh karena itu, kitalah yang masih waras ini wajib terus menerus mengingatkan dan mendesak KPAI, pemerintah dan lembaga-lembaga yang berwenang lainnya agar memperhatikan dan bertindak tegas terhadap segala bentuk eksploitasi secara seksual terhadap anak-anak.

Pokoknya, stop segala bentuk eksploitasi secara seksual terhadap anak-anak!

Wednesday, January 17, 2007

Apakah Lembaga Sensor Film Perlu Dibubarkan?

oleh Ari Juliano Gema

Menyimak pernyataan bersama Masyarakat Film Indonesia (MFI) pada tanggal 3 Januari 2007 yang dimuat di berbagai media membuat saya berpikir keras. Dalam pernyataannya itu, MFI mendesak pemerintah untuk membubarkan lembaga-lembaga perfilman bentukan pemerintah yang ada, seperti Lembaga Sensor Film (LSF) dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), karena dinilai tidak mencerminkan semangat pembaharuan dan tidak berpihak pada kemajuan perfilman Indonesia. Untuk itu, MFI mengusulkan agar keberadaan LSF diganti menjadi sebuah Lembaga Klasifikasi Film.

LSF dan BP2N

LSF dibentuk atas amanat UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (UU No. 8/1992). Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, LSF bertugas: (i) melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum; (ii) meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan; dan (iii) menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan.

Pembentukan BP2N juga berdasarkan amanat UU No. 8/1992. Salah satu fungsi BP2N menurut UU No. 8/1992 adalah memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia terhadap film yang ditolak oleh LSF. Dengan demikian, BP2N sebenarnya berfungsi juga sebagai suatu lembaga penyelesaian perselisihan antara perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia dengan LSF.

Kebebasan Berkomunikasi?

Sejujurnya, untuk menjawab apakah LSF perlu dibubarkan atau tidak bukanlah perkara yang mudah. Di satu sisi, berkomunikasi, termasuk melalui film seperti yang dilakukan oleh insan perfilman, merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi kita. Seperti halnya dengan buku, lukisan, lagu dan puisi yang tidak memerlukan tanda lulus sensor untuk dipublikasikan, seharusnya begitu juga dengan penayangan film.

Namun, di sisi lain, film sebagai media komunikasi massa berbentuk audio-visual ternyata memiliki pengaruh yang lebih besar bagi penikmatnya ketimbang bentuk media komunikasi lainnya. Melalui berita di media massa, kita tahu bahwa banyak kasus perkosaan terjadi karena pelakunya terangsang oleh film porno yang ditontonnya. Sampai saat ini, saya belum pernah mendengar ada orang yang memperkosa karena puisi yang dibacanya atau lagu yang didengarnya.

Begitu juga dengan fenomena tindak kekerasan yang merebak di kalangan anak-anak karena terpengaruh tayangan gulat profesional di salah satu stasiun televisi. Sangat disayangkan tayangan tersebut baru dihentikan setelah jatuh korban terlebih dahulu. Itupun setelah stasiun televisi itu mendapatkan protes dari berbagai kalangan.

Pada keadaan inilah Negara dituntut mengambil peran untuk melindungi warga negaranya dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh segala karya sinematografi, termasuk film. Saat ini, peran yang diharapkan dari Negara itu telah diwujudkan dalam UU No. 8/1992 dengan membentuk LSF.

Ide Pembaharuan

Faktanya, suka tidak suka, LSF telah terbentuk karena amanat undang-undang. Konstitusi kita sendiri memberikan kewenangan kepada Negara untuk membatasi hak dan kebebasan warga negaranya, termasuk kebebasan berkomunikasi melalui film, dengan menetapkan pembatasan tersebut dalam suatu undang-undang. Pembatasan itu semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta memperhatikan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.

Secara teori, untuk membubarkan LSF bisa saja dilakukan dengan mengamandemen UU No. 8/1992 terlebih dahulu atau mengajukan uji materi UU No. 8/1992 kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghapuskan ketentuan yang mengatur keberadaan LSF. Tapi bagaimana dengan hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh film? Apakah perlu menunggu jatuh korban dahulu baru pemerintah bisa melakukan tindakan terhadap film tersebut?

Mungkin MFI harus berhati-hati dalam melontarkan ide pembubaran LSF. Jangan sampai ide ini semata-mata dilandasi emosi karena LSF sering tidak meloloskan film-film yang diproduksi oleh anggota MFI.

Saya setuju dengan ide pembaharuan di bidang perfilman yang dilontarkan oleh MFI. Mungkin lebih baik kalau ide pembaharuan itu diarahkan pada pembaharuan secara substansil ketimbang melakukan “politik bumi hangus”. Saya pikir MFI dapat mengusulkan agar keanggotaan LSF ke depan bisa mengakomodir sineas-sineas berpikiran maju di dalamnya, sehingga ide pembaharuan dapat lebih merasuk ke dalam tubuh LSF. Dengan kekuatan lobinya, MFI juga dapat mendesak agar parameter yang digunakan oleh LSF dalam menilai suatu film dapat ditinjau ulang agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Ide pembaharuan juga perlu diarahkan kepada BP2N agar lebih berdaya dan dapat dipercaya oleh insan perfilman untuk menyelesaikan perselisihan sehubungan dengan keberatan yang diajukan oleh perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia terhadap film yang ditolak oleh LSF. Saya yakin tidak semua orang, termasuk insan perfilman, tahu bahwa keputusan penolakan suatu film oleh LSF itu ternyata tidak final karena masih bisa dilakukan upaya banding ke BP2N.

Kalaupun pada akhirnya LSF dan BP2N berhasil dibubarkan, saya titip pesan kepada MFI untuk melakukan self regulatory di industri perfilman dengan membuat semacam tata krama dalam membuat film yang akan ditayangkan di tanah air. Saya pikir hal ini tidaklah berlebihan, mengingat masyarakat periklanan Indonesia telah berhasil membuat Tata Krama Periklanan Indonesia untuk melindungi kepentingan konsumen.
Maju Terus Perfilman Indonesia!

Wednesday, January 10, 2007

MoU Microsoft dan Pengkhianatan Pemerintah

oleh Ari Juliano Gema

Komunitas Teknologi Informasi (TI) Indonesia meradang. Pasalnya, Pemerintah RI, yang diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Microsoft Asia Tenggara pada tanggal 14 Nopember 2006 lalu, yang terkesan dilakukan secara diam-diam.

Keberlakuan MoU

Berdasarkan isi MoU yang dikutip oleh Hukumonline (03/01/07), diketahui bahwa Pemerintah berniat memberikan contoh pada dunia usaha akan pentingnya menggunakan software berlisensi/legal. Untuk itu, Pemerintah berniat membeli lisensi 35.496 unit Microsoft Windows dan 117.480 unit Microsoft Office, yang total keseluruhannya bernilai Rp 377,6 miliar.

Sebenarnya apa yang disepakati dalam MoU itu sendiri belum mengikat, karena dalam MoU tersebut Pemerintah menyatakan bahwa kemampuan Pemerintah dalam membuat perjanjian lanjutan yang mengikat kedua belah pihak bergantung pada: (i) anggaran yang mencukupi dari APBN untuk membayar biaya lisensi; dan (ii) ketentuan dalam peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Masa berlaku MoU ini pun dibatasi, yaitu: (i) sampai dengan tanggal ditandatanganinya perjanjian yang mengikat; atau (ii) tanggal 31 Maret 2007, mana yang terjadi terlebih dahulu.

“Pengkhianatan” Pemerintah

Meski memang MoU itu belum mengikat, sehingga tidak ada kewajiban pembayaran apapun yang harus dilakukan oleh Pemerintah kepada Microsoft, namun Pemerintah telah melakukan “pengkhianatan” atas komitmen yang telah dibuatnya kepada rakyat Indonesia. Ya, “pengkhianatan” atas komitmennya dalam program Indonesia Go Open Sources (IGOS) yang dideklarasikan pada tanggal 30 Juni 2004 oleh Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu.

Dalam Deklarasi IGOS itu dinyatakan bahwa Pemerintah bersama masyarakat sepakat untuk melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam pengembangan dan pemanfaatan open source software sebagai salah satu langkah strategis dalam mempercepat penguasaan teknologi informasi di Indonesia. Langkah-langkah yang disepakati untuk mengimplementasikan program IGOS ini, yaitu: (i) menyebarluaskan pemanfaatan open source software di Indonesia; (ii) menyiapkan panduan dalam pengembangan dan pemanfaatan open source software; (iii) mendorong terbentuknya pusat-pusat pelatihan, competency center dan pusat-pusat inkubator open source di Indonesia; dan (iv) mendorong dan meningkatkan koordinasi, kemampuan, kreatifitas, kemauan dan partisipasi pemerintah dan masyarakat dalam pemanfaatan open source software secara maksimal.

Apabila pemerintahan Presiden SBY menganggap bahwa program IGOS itu bukan komitmen pemerintahannya karena komitmen itu dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Megawati, jelas hal itu adalah alasan yang mengada-ada. Menteri-menteri yang mendeklarasikan program IGOS itu hadir dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara, bukan dalam kapasitas pribadi. Rakyat tidak peduli siapa yang menjadi presidennya. Yang penting bagi rakyat adalah hasil dari implementasi komitmen Pemerintah dalam Deklarasi IGOS, kecuali kalau pemerintahan Presiden SBY telah menganulir Deklarasi IGOS dengan membuat “Deklarasi Nasional Penggunaan Software Buatan Microsoft”.

Pemerintahan Presiden SBY juga tidak bisa beralasan bahwa tidak ada orang di pemerintahannya yang mengerti mengenai program IGOS itu, karena salah seorang menterinya, yaitu Menteri Perhubungan Hatta Radjasa, adalah salah seorang menteri yang turut mendeklarasikan program IGOS itu, ketika Hatta Radjasa menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Jadi, seharusnya Hatta Radjasa punya tanggung jawab untuk mengingatkan Presiden SBY dan rekan-rekan sesama menteri untuk menjaga komitmen yang telah dinyatakan dalam Deklarasi IGOS itu.

Perlindungan HKI?

Apabila penandatanganan MoU itu dimaksudkan untuk memberikan contoh bagi dunia usaha mengenai pentingnya penggunaan software berlisensi/legal sebagai komitmen Pemerintah untuk melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia, jelas hal itu bukan langkah yang tepat mengingat harga lisensi software buatan Microsoft tidak murah, sehingga tidak semua kalangan dunia usaha mampu membelinya. Kalaupun mampu membeli lisensi software dengan versi tertentu, belum tentu mampu juga membeli versi selanjutnya, sehingga software yang telah dibeli menjadi tidak up date lagi.

Kalau Pemerintah memang punya komitmen untuk melindungi HKI khususnya mengenai penggunaan dan pemanfaatan software legal, maka yang harus dilakukan, pertama, menjalankan secara penuh komitmen Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi IGOS. Apabila implementasi program IGOS itu dapat berjalan baik, maka masyarakat Indonesia dapat menikmati penggunaan software berbasis open source yang lebih terjangkau dibandingkan dengan software yang tidak berbasis open source, seperti software buatan Microsoft.

Kedua, kalaupun dunia usaha masih menghendaki penggunaan software yang tidak berbasis open source, Pemerintah wajib memfasilitasi pembelian lisensi software tersebut sehingga dunia usaha mendapatkan harga lisensi dan skema pembayaran yang lebih terjangkau sesuai dengan daya beli dari masing-masing tingkatan dunia usaha di Indonesia. Kesepakatan mengenai harga pembelian dan skema pembayaran yang difasilitasi Pemerintah itu harus juga menjamin pembelian software untuk versi selanjutnya dengan skema yang sama, sehingga software yang telah dibeli terjamin untuk tetap up date.

Apabila dua hal di atas telah dilakukan Pemerintah, maka setiap komitmen yang diucapkan Pemerintah dalam rangka melindungi HKI baru dapat dipercaya. Bukan sekedar komitmen hampa yang kemudian akan dikhianati juga.

Tuesday, January 02, 2007

Selamat Datang Tahun 2007!

Seperti biasa, tahun kembali berganti. Yang tidak biasa mungkin bagaimana kita menyikapi tahun yang baru ini.

Meski negeri ini bertambah tua. Meski warganya belum juga bertambah dewasa. Meski pelecehan hukum, korupsi dan penindasan atas kaum yang lemah masih akan terus berlangsung. Meski yang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin masih diharapkan ikhlas untuk tetap miskin. Meski orang miskin masih “dilarang” untuk sakit dan sekolah (karena pasti tidak mampu membayar biaya pengobatan dan pendidikan). Tapi mudah-mudahan kita tidak pernah lelah berharap. There’s always a hope!
Pergantian tahun selalu memunculkan harapan baru. Harapan untuk masa depan yang lebih baik. Masa depan untuk bumi, negeri ini dan diri sendiri.

Seperti kata orang bijak, the best way to predict your future is to create it. Oleh karena itu, hanya menunggu terjadinya masa depan yang kita harapkan mungkin hanya akan jadi angan-angan belaka. Mungkin akan berbeda hasilnya apabila kita berjuang untuk “menciptakan” masa depan yang kita idam-idamkan itu.

Selamat tinggal tahun 2006! Selamat datang tahun 2007!
Semoga tahun ini mendatangkan kebaikan bagi seluruh umat manusia di dunia. Amiin.


Ciputat, 1 Januari 2007
Ari Juliano Gema