Sunday, February 14, 2010

6 Alasan Menolak RPM Konten Multimedia

oleh Ari Juliano Gema


Baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) kembali membuat heboh. Setelah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tatacara Intersepsi yang menuai kritik, saat ini muncul kehebohan baru seputar rencana penerbitan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia (RPM Konten).


Setelah membaca dan mencoba memahaminya, saya berkesimpulan untuk menolak RPM Konten setidaknya karena alasan sebagai berikut, pertama, hal-hal yang dianggap ”Konten yang Dilarang” menurut RPM Konten pada dasarnya telah diatur dalam berbagai undang-undang, yaitu antara lain UU Perfilman, UU Pornografi, UU Hak Cipta, KUHP dan UU Penyiaran. Dalam RPM Konten, beberapa konten yang termasuk dalam ”Konten yang Dilarang” tersebut tidak jelas memakai rujukan undang-undang yang mana, sehingga tidak jelas definisinya. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan perbedaan persepsi pada saat penerapannya.


Kedua, beberapa undang-undang yang dirujuk oleh RPM Konten, seperti UU Pers, UU Pornografi, UU Perfilman, UU Penyiaran dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak ada yang memberi mandat kepada Menkominfo untuk membuat peraturan menteri yang mengatur pembentukan Tim Konten Multimedia. Dengan kewenangan yang besar untuk menilai konten mana yang termasuk ”Konten yang Dilarang” dan implikasinya terhadap penyelenggara telekomunikasi, seharusnya pembentukan Tim Konten Multimedia diatur dalam undang-undang, seperti halnya Lembaga Sensor Film yang dibentuk berdasarkan UU Perfilman.


Ketiga, pada dasarnya berbagai undang-undang yang telah mengatur ”Konten yang Dilarang” tersebut telah memiliki mekanisme penegakan hukumnya masing-masing. Apabila ada pihak yang diduga mendistribusikan atau mengumumkan konten yang termasuk ”Konten yang Dilarang” tersebut, maka undang-undang yang bersangkutan telah memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum untuk langsung melakukan penyidikan. Seandainya RPM Konten jadi diterbitkan, tentu keberadaan Tim Konten Multimedia yang dibentuk Kemenkominfo berpotensi menimbulkan masalah. Bagaimana seandainya terjadi perbedaan persepsi antara Tim Konten Multimedia dan aparat penegak hukum dalam menentukan apakah suatu konten termasuk ”Konten yang Dilarang”?


Keempat, Meski beberapa undang-undang yang dirujuk RPM Konten tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai pendistribusian atau pengumuman konten secara elektronik, namun sebenarnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik dapat mengatasinya. Ketentuan mengenai keabsahan dokumen/informasi elektronik sebagai alat bukti dapat digunakan oleh undang-undang yang terkait untuk membuktikan terjadinya pelanggaran hukum. Dengan begitu, sebenarnya tidak perlu ada pengaturan khusus dalam RPM Konten.


Kelima, RPM Konten tidak mengatur upaya banding atau keberatan terhadap keputusan Tim Konten Nasional mengenai ”Konten yang Dilarang”. Padahal, keputusan Lembaga Sensor Film saja masih dapat diajukan keberatan kepada Badan Pertimbangan Perfilman Nasional. Begitu pula putusan pengadilan yang dapat diajukan banding atau kasasi. Kelihatan sekali RPM Konten mau membentuk lembaga yang sangat represif.


Keenam, RPM Konten mengatur sanksi administratif, antara lain pencabutan izin dan denda administratif, terhadap pihak-pihak yang terbukti mendistribusikan ”Konten yang Dilarang”, padahal beberapa undang-undang yang mengatur tentang konten itu juga telah mengatur sanksi berupa pidana penjara dan/atau denda. Bagaimana seandainya suatu pihak telah dikenai sanksi denda administratif oleh Kemenkominfo kemudian dikenai sanksi denda juga berdasarkan undang-undang terkait oleh pengadilan? Penerapan sanksi ganda tersebut tentu bukan hal yang tepat dalam penegakan hukum.



Monday, February 01, 2010

Perlindungan UU ITE bagi Nasabah Bank

oleh Ari Juliano Gema

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan pembobolan rekening beberapa nasabah melalui ATM 6 bank di Indonesia. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp 5 Milyar. Untungnya, beberapa pelaku dapat segera dibekuk dan Bank Indonesia (BI) memerintahkan 6 bank tersebut untuk mengganti kerugian nasabahnya.


Saya dapat memahami perintah BI yang melindungi kepentingan nasabah tersebut, karena hal itu sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di bawah ini adalah artikel mengenai perlindungan nasabah yang pernah saya tulis di Chip Magazine edisi Agustus 2009:


Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mulai berlaku pada tanggal 21 April 2008, pada pokoknya mengatur mengenai keabsahan informasi elektronik/dokumen elektronik sebagai alat bukti, aktivitas yang menggunakan sistem elektronik dan perbuatan yang dilarang. Keberadaan UU ITE ini sebenarnya dapat meningkatkan keamanan dan kenyamanan nasabah ketika melakukan kegiatan perbankan melalui sistem elektronik yang disediakan oleh bank, setidak-tidaknya karena alasan, pertama, terdapat penegasan bahwa bank, sebagai pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dalam memfasilitasi pelayanan jasa bank melalui internet (internet banking), bertanggung jawab secara hukum terhadap kerugian yang dialami nasabah berkaitan dengan pemanfaatan internet banking yang disediakannya. Namun, apabila terbukti kerugian tersebut disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur), kesalahan dan/atau kelalaian nasabah, maka bank tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.


Kedua, bank harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Selain itu, bank juga memiliki kewajiban untuk mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam UU ITE.


Ketiga, adanya pengakuan terhadap kontrak elektronik, yaitu perjanjian yang dibuat melalui sistem elektronik. Laporan transaksi perbankan melalui e-mail yang menunjukkan adanya penawaran dan persetujuan yang mana nasabah menjadi pihaknya dapat juga dianggap sebagai kontrak elektronik.


Keempat, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Apabila nasabah menggunakan internet banking untuk transaksi perbankannya, maka laporan mutasi rekening miliknya pada sistem elektronik yang disediakan bank dan hasil cetaknya dapat menjadi alat bukti yang sah.


Kelima, pengaturan mengenai kejahatan terhadap sistem informasi lebih jelas, sehingga memudahkan aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya. Selain itu, terdapat sanksi yang berat bagi orang yang mengganggu atau menerobos sistem pengamanan suatu sistem elektronik secara melawan hukum. Dengan demikian, siapapun akan berpikir panjang untuk melakukan kejahatan terhadap internet banking.


Namun demikian, beberapa ketentuan dalam UU ITE masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Salah satunya adalah mengenai persyaratan minimum yang harus dipenuhi suatu sistem elektronik. Peraturan pemerintah tersebut menjadi penting karena informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan UU ITE.

Labels: , , ,