6 Alasan Menolak RPM Konten Multimedia
oleh Ari Juliano Gema
Baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) kembali membuat heboh. Setelah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tatacara Intersepsi yang menuai kritik, saat ini muncul kehebohan baru seputar rencana penerbitan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia (RPM Konten).
Setelah membaca dan mencoba memahaminya, saya berkesimpulan untuk menolak RPM Konten setidaknya karena alasan sebagai berikut, pertama, hal-hal yang dianggap ”Konten yang Dilarang” menurut RPM Konten pada dasarnya telah diatur dalam berbagai undang-undang, yaitu antara lain UU Perfilman, UU Pornografi, UU Hak Cipta, KUHP dan UU Penyiaran. Dalam RPM Konten, beberapa konten yang termasuk dalam ”Konten yang Dilarang” tersebut tidak jelas memakai rujukan undang-undang yang mana, sehingga tidak jelas definisinya. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan perbedaan persepsi pada saat penerapannya.
Kedua, beberapa undang-undang yang dirujuk oleh RPM Konten, seperti UU Pers, UU Pornografi, UU Perfilman, UU Penyiaran dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak ada yang memberi mandat kepada Menkominfo untuk membuat peraturan menteri yang mengatur pembentukan Tim Konten Multimedia. Dengan kewenangan yang besar untuk menilai konten mana yang termasuk ”Konten yang Dilarang” dan implikasinya terhadap penyelenggara telekomunikasi, seharusnya pembentukan Tim Konten Multimedia diatur dalam undang-undang, seperti halnya Lembaga Sensor Film yang dibentuk berdasarkan UU Perfilman.
Ketiga, pada dasarnya berbagai undang-undang yang telah mengatur ”Konten yang Dilarang” tersebut telah memiliki mekanisme penegakan hukumnya masing-masing. Apabila ada pihak yang diduga mendistribusikan atau mengumumkan konten yang termasuk ”Konten yang Dilarang” tersebut, maka undang-undang yang bersangkutan telah memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum untuk langsung melakukan penyidikan. Seandainya RPM Konten jadi diterbitkan, tentu keberadaan Tim Konten Multimedia yang dibentuk Kemenkominfo berpotensi menimbulkan masalah. Bagaimana seandainya terjadi perbedaan persepsi antara Tim Konten Multimedia dan aparat penegak hukum dalam menentukan apakah suatu konten termasuk ”Konten yang Dilarang”?
Keempat, Meski beberapa undang-undang yang dirujuk RPM Konten tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai pendistribusian atau pengumuman konten secara elektronik, namun sebenarnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik dapat mengatasinya. Ketentuan mengenai keabsahan dokumen/informasi elektronik sebagai alat bukti dapat digunakan oleh undang-undang yang terkait untuk membuktikan terjadinya pelanggaran hukum. Dengan begitu, sebenarnya tidak perlu ada pengaturan khusus dalam RPM Konten.
Kelima, RPM Konten tidak mengatur upaya banding atau keberatan terhadap keputusan Tim Konten Nasional mengenai ”Konten yang Dilarang”. Padahal, keputusan Lembaga Sensor Film saja masih dapat diajukan keberatan kepada Badan Pertimbangan Perfilman Nasional. Begitu pula putusan pengadilan yang dapat diajukan banding atau kasasi. Kelihatan sekali RPM Konten mau membentuk lembaga yang sangat represif.
Keenam, RPM Konten mengatur sanksi administratif, antara lain pencabutan izin dan denda administratif, terhadap pihak-pihak yang terbukti mendistribusikan ”Konten yang Dilarang”, padahal beberapa undang-undang yang mengatur tentang konten itu juga telah mengatur sanksi berupa pidana penjara dan/atau denda. Bagaimana seandainya suatu pihak telah dikenai sanksi denda administratif oleh Kemenkominfo kemudian dikenai sanksi denda juga berdasarkan undang-undang terkait oleh pengadilan? Penerapan sanksi ganda tersebut tentu bukan hal yang tepat dalam penegakan hukum.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home