Menyoal Sifat Darurat Perpu No. 4 Tahun 2009
oleh Ari Juliano Gema
Pada saat Presiden SBY menetapkan Perpu No. 4 Tahun 2009 tanggal 21 September 2009 untuk mengisi kekosongan jabatan Pimpinan KPK yang tinggal 2 orang, alasan konstitusionalnya adalah "kegentingan memaksa". Secara umum, siapapun akan dapat memahami bahwa ketika ada ”kegentingan memaksa”, maka seharusnya tercermin dari tindakan yang cepat untuk mengatasi "kegentingan memaksa" tersebut.
Namun, sepertinya penetapan Perpu tersebut sudah kehilangan alasan konstitusionalnya karena alasan sebagai berikut, pertama, menurut Perpu, apabila keanggotaan Pimpinan KPK kurang dari 3 (tiga) orang, maka Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan KPK sejumlah jabatan kosong. Dalam keadaan darurat ini, seharusnya Presiden sesegera mungkin mengangkat 3 orang Plt Pimpinan KPK, tanpa harus membentuk "Tim 5". Dalam Perpu tidak ada ketentuan yang mengharuskan Presiden membentuk "Tim 5" yang bertugas merekomendasikan 3 nama Plt Pimpinan KPK. Waktu yang dibutuhkan "Tim 5" bekerja tentu mengurangi sifat "kegentingan memaksa" tersebut.
Apabila Presiden memang menginginkan proses yang prudent dalam mengangkat Plt Pimpinan KPK, seharusnya proses seleksi dalam UU KPK bisa diterapkan, dimana ada tahap nama-nama calon diumumkan kepada publik untuk menerima masukan sebelum ditetapkan. Pembentukan "Tim 5" menunjukan proses setengah hati Presiden dalam memilih Plt Pimpinan KPK dalam keadaan yang (katanya) genting.
Kedua, seusai "Tim 5" mendapatkan 3 nama calon Plt Pimpinan KPK pada tanggal 1 Oktober 2009, Presiden SBY tidak langsung menetapkan mereka sebagai Plt Pimpinan KPK. Baru pada tanggal 6 Oktober 2009, 3 nama tersebut dilantik oleh Presiden.
Alasannya adalah karena Presiden sedang fokus pemantauan gempa Sumatera. Padahal, Wapres Jusuf Kalla telah turun ke lapangan untuk mengkoordinasikan penanganan bencana gempa Sumatera. Untuk memantaunya, sebenarnya Presiden tinggal menghubungi Wapres, sehingga tidak ada alasan untuk menunda penetapan Plt Pimpinan KPK yang (katanya) genting.
Ketiga, sejak DPR Periode 2009-2014 dilantik pada tanggal 1 Oktober 2009, seharusnya Presiden dapat segera mengajukan Perpu tersebut kepada DPR untuk ditentukan nasibnya. Dengan aturan internal DPR lalu, DPR yang baru dapat segera bersidang untuk menyetujui atau menolak keberlakukan Perpu tersebut.
Apabila memang sifatnya genting atau darurat, maka tidak ada alasan bagi Presiden untuk menunda-nunda pembahasan Perpu dengan DPR yang baru untuk memastikan keberlakuan Perpu tersebut. Semakin lama pembahasan Perpu tersebut ditunda, semakin terang bahwa sifat darurat atau kegentingan memaksa tersebut hanya isapan jempol semata.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home